Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah Antiklimaks bagi Srebrenica

Mahkamah Internasional memutuskan Serbia tidak bertanggung jawab dalam pembantaian warga muslim Bosnia. Rekonsiliasi Bosnia-Serbia makin kabur.

5 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAKIRA Hasecic menjerit sekuat-kuatnya, ”Saya diperkosa tentara Serbia. Anak perempuanku juga diperkosa polisi Serbia.” Nazija Beganovic meraung tak kalah kerasnya, ”Di mana keadilan bagi enam anakku yang dibunuh tentara Serbia di depan mataku!” Teriakan dua perempuan Srebrenica itu berbaur dengan gemuruh demonstrasi ribuan warga muslim Bosnia di depan gedung parlemen Bosnia di Sarajevo, Selasa pekan lalu.

Mereka memprotes keputusan Mahkamah Internasional di Hague, Belanda, yang sehari sebelumnya memutuskan, Serbia tak bertanggung jawab atas pembunuhan massal selama perang Bosnia, sejak Maret 1992 hingga November 1995. Pengadilan yang bekerja berdasar Pakta Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 1946 ini juga menolak tuntutan Bosnia agar Serbia membayar kompensasi finansial yang bisa mencapai miliaran dolar Amerika Serikat. Putusan ini menjawab petisi yang diajukan Bosnia dan Herzegovina setahun lalu, petisi yang menuduh negara Serbia bertanggung jawab atas pembunuhan massal dalam teritorial Bosnia dan Herzegovina.

”Keputusan ini adalah bencana. Katanya kami bisa mencari keadilan di The Hague. Mana buktinya?” sergah Hasecic yang kini menjadi Presiden Asosiasi Wanita Korban Perkosaan di negaranya. Memorinya kembali pada tragedi 1992 di Hotel Vilina Vlas di Visegrad, Bosnia. Ketika itu, puluhan perempuan dicabuli beramai-ramai secara bergiliran oleh tentara Serbia. Separuh korban langsung menemui ajal di tempat yang kemudian dikenal sebagai ”kamp pemerkosaan”.

Menurut pemerintah Bosnia, sedikitnya 200 ribu warga muslim dibunuh tentara Serbia secara sistematis selama periode tiga tahun perang. Selain korban mati, pemerintah Bosnia juga mendata hampir satu setengah juta korban, termasuk mereka yang disiksa dan diperkosa, mengungsi dan lari ke negara lain.

Memang, dalam keputusan akhir, Mahkamah Internasional tak sepenuhnya membebaskan Serbia dari semua tuduhan. Mahkamah membenarkan telah terjadi aksi genosida di Srebrenica, kawasan Timur Bosnia, pada 1995. Serbia dinilai Mahkamah ”gagal mencegah terjadinya pembantaian” dalam genosida yang menewaskan tidak kurang dari 8.000 jiwa itu. Ketika itu, sebelum dibantai, warga muslim Srebenica, daerah yang semula masuk sebagai ”kawasan aman”, atau area yang dilindungi pasukan perdamaian PBB, anak-anak dan remaja laki-laki dan perempuan dihapuskan identitas pribadinya yang bisa digunakan untuk mengenali mereka, seperti kartu pengenal dan perhiasan atau tanda lainnya. Tragedi Srebenica dianggap sebagai pembunuhan massal terbesar di Eropa setelah Perang Dunia II.

Selama 61 tahun mengadili berbagai kasus pertikaian antarnegara, Mahkamah Internasional memang belum pernah sekalipun memutus sebuah negara sebagai bersalah atas pembunuhan massal. Pengadilan yang sebenarnya juga tidak terlalu banyak melahirkan keputusan kebanyakan mengurus perkara yang berkaitan dengan batas wilayah dua negara atau pelanggaran hukum internasional, seperti ketika Iran menahan beberapa diplomat Amerika Serikat di Teheran pada 1980.

Namun, wajar jika warga Bosnia kecewa dengan keputusan The Hague. Mereka adalah korban: ada dari keluarga mereka yang dibunuh, dianiaya, diperkosa. Dan mereka merasa, para pelaku utama belum mendapat balasan setimpal.

Bayangkan, orang yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan massal Srebenica, yaitu Ratko Mladic, belum juga bisa diadili di Mahkamah Kriminal Internasional untuk negara-negara bekas Yugoslavia (ICTY) hingga saat ini. Pemerintah Serbia dianggap PBB tidak terlalu berniat mengupayakan pencarian dan penangkapan Mladic, yang pada saat Perang Bosnia menjadi komandan paramiliter Tentara Republika Srpska (VRS), pelaku utama genosida di Srebrenica. Sedangkan Slobodan Milosevic, mantan Presiden Yugoslavia, yang juga menjadi tersangka sebagai penjahat perang dalam perang Bosnia, juga perang-perang lain di negara-negara bekas Yugoslavia, seperti Kosovo, keburu meninggal dunia (11 Maret 2006) ketika masih diadili ICTY.

Keterlibatan publik internasional, termasuk melalui jalur pengadilan, tampaknya tak mudah mendorong rekonsiliasi di Balkan. Sejak tentara yang tergabung dalam NATO terjun untuk menghentikan perang Bosnia pada 1995 dan perjanjian damai, Kesepakatan Dayton, ditandatangani, termasuk oleh Milosevic, pada akhir 1995, hingga kini konflik tetap bergejolak di bawah permukaan. Beberapa hari sebelum peringatan 10 tahun pembantaian Srebenica pada 2005, misalnya, ditemukan dua bom berkekuatan besar di Memorial Genosida Srebenica, monumen kenangan korban Srebenica, yang dibangun dengan biaya US$ 6 juta (sekitar Rp 55 miliar) dengan bantuan beberapa negara termasuk AS pada 2003. Ini tanda bahwa perdamaian di wilayah Balkan masih sangat labil.

Lalu, seberapa besar efek keputusan Mahkamah Internasional? Yang paling konkret, Serbia terselamatkan dari kebangkrutan karena harus membayar kompensasi miliaran dolar AS. Sedangkan Bosnia dan Herzegovina gagal memperoleh uang ganti rugi.

Yang lebih mengkhawatirkan, kepu-tusan ini makin menjauhkan kemungkinan terjadinya rekonsiliasi dan perdamaian sebenarnya, karena rakyat Bosnia yakin benar Serbia bersalah dalam pembunuhan massal. Banyak bukti sudah terungkap. Salah satunya adalah rekaman video yang ditayangkan pada persidangan Milosevic pada Juni 2005.

Pada tayangan itu tampak seorang pendeta Serbia Ortodoks memberi pemberkatan kepada anggota paramiliter Serbia sebelum menyerang Srebenica. Gambar-gambar yang menunjukkan kebrutalan pembantaian di Srebenica juga tampak jelas. Dalam tayangan sekitar 2,5 jam itu terlihat beberapa tentara Serbia terlibat secara langsung dalam aksi kejahatan terhadap kemanusiaan di Bosnia. Rekaman yang kemudian beredar luas itu disaksikan juga oleh warga Bosnia. Media massa di Bosnia melaporkan seorang ibu yang melihat tayangan anaknya yang dibunuh kemudian tubuhnya dibakar oleh milisi Serbia.

”Jurang” yang memisahkan Bosnia dengan Serbia makin dalam karena kini Serbia kembali dikuasai kekuatan sayap kanan. Sepertiga dari anggota parlemen dikuasai partai ultra-nasionalis, Partai Radikal Serbia. Mereka menolak keras ajakan Presiden Serbia Boris Tadic untuk mengutuk pembantaian Srebrenica. Perdana Menteri Vojislav Kostunica yang nasionalis juga tidak terlalu menggubris seruan Presiden Tadic, yang dimaksudkan sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi.

Mendengarkan kembali kemarahan Hasecic, Beganovic dan banyak rakyat Bosnia lainnya, ada atau tidak ada keputusan Mahkamah Internasional, penyelesaian masalah Bosnia dan Serbia masih jauh panggang dari api. Satu-satunya cara adalah melanjutkan proses pengadilan ICTY sampai Mladic dan para tersangka lainnya diadili hingga tuntas.

Andari Karina Anom (BBC, International Herald Tribune, The Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus