DI kota suci Qom, bukan perempuan dewasa saJa yang memakai
cadar tapi juga anak-anak. Mungkin inilah yang membedakan Qom
dengan kota lainnya di Iran. Namun ia bukan kota suci nomor
satu. Menurut ajaran Syiah, kota suci pertama adalah Neejef yang
terletak di Irak. Di situ ada makam Imam Ali. Kalangan Sunni
lebih mengenalnya dengan nama Saidina Ali--sahabat, sepupu dan
menantu Nabi Muharnmad.
Sedang kota suci kedua bagi mereka adalah Mashhad, tak jauh
dari perbatasan Iran-Soviet. Di tempat ini dimakamkan Imam Ali
Reza, imam ke-8 kaum Syiah. Menurut silsilah, ia masih turunan
ke-8 Nabi Muhammad. Dan yang ketiga baru Qom, tempat
dimakamkannya Fatimah Massoumeh, saudara perempuan Imam Reza.
Makam Fatimah--terletak di bagian depan Masjid
Azam--merupakan tempat ziarah kaum Syiah. Pintu masuk ke
ruangannya berlapiskan emas. Makamnya berbentuk empat persegi
dengan luas lebih kurang 9 meter persegi dan tinggi 2 meter. Ia
dipagari dengan besi sepuhan perak. Dan pada bagian atas ruangan
depan yang berlapiskan kaca tergantung potret Ayatullah
Khomeini. Sebelum Revolusi Iran pada tempat yang sama tergantung
potret Syah Mohammad Reza Pahlavi.
Qom juga merupakan pusat pendidikan agarna yang terbesar
dalam dunia Syiah. Lebih dikenal dengan nama Haozellmiyah yang
didirikan oleh almarhum Ayatullah Shaik Abdul Kareem Haeri
Yazdi. Dari situlah para ayatullah terkemuka--seperti Khomeini,
Shariatmadari, Gulfaigani, Talegani dan Montaziri-menyelesaikan
studi.
Memang dalam ajaran Syiah proses belajar berlangsung seumur
hidup. Hanya mereka yang mendapat gelar Ayatullah Uzma yang
berhenti berguru. Maka Qom (berpenduduk 250 ribu) diramaikan
oleh orang berjubah dan bersorban. Merekalah yang disebut para
mullah. Di jalan, di pasar dan di stasiun bis, orang akan selalu
berpapasan dengan mullah. Kalau, menurut perkiraan, di seluruh
Iran terdapat sekitar 600 ribu mullah, di Qom saja sedikitnya
60.000.
Dari cara mereka berpakaian memang sulit membedakan mana
mullah biasa (yang masih belajar), mana yang hajatoleslam dan
mana yang ayatullah. Tapi adalah mudah untuk membedakan mana
yang dianggap keturunan nabi yang biasa disebut Sayeed. Yang
bersorban hitam--seperti Khomeini, Shariatmadari dan almarhum
Talegani -- dianggap keturunan Nabi Muhammad. Ini tentu saja
dari garis perkawinan putri nabi, Fatimah dengan Saidina Ali.
Orang kebanyakan, alias bukan keturunan nabi, bersorban putih.
Misalnya, Hajatoleslam Heshmi Rafsanjani, Ketua Majlis (parlemen
Iran).
Revolusi Iran tidak bisa dilepaskan dari peran para mullah.
Kerusuhan di Qom tahun 1978 tak salah kalau disebut sebagai
sulutan pertama meletusnya revolusi itu. Hari itu, Januari,
rakyat berbondong-bondong ke rumah beberapa ayatullah terkemuka
untuk menanyakan pendapat mereka tentang sebuah tulisan yang
dimuat koran Teheran Tulisan itu rupanya menyakitkan hati rakyat
karena isinya mencaci maki Ayatullah Khomemi.
Bentrokan berdarah antara massa dan polisi tak bisa
dihindarkan. Ratusan orang mati pada hari itu. Dan, sesuai
dengan ajaran Syiah, selama 40 hari para keluarga mengadakan
upacara berkabung. Dan kesempatan ini seterusnya menggelorakan
demonstrasi besar-besaran Tapi aksi ini mengundang tindakan
rezim Syah yang lebih keras. Dua mullah yang dituduh mendalangi
aksi demonstrasi itu dibawa ke rumah Ayatullah Shariatmadari.
Dan keduanya dibunuh oleh Savak. Melihat kejadian itu, sang
ayatullah langsung sakit. Tak kuat ia melihat kekejaman yang
luar biasa itu.
Sejak itu aksi demonstrasi berkobar di seluruh Iran. Para
mullah, yang selama ini merupakan tempat mengadu, tak bisa
berdiam diri. Mereka langsung mengobarkan semangat juang melawan
penindasan rezim Syah.
Syah waktu itu menuduh gerakan ini ditunggangi elemen
subversif yang tak beriman dan tak mengenal hukum. Bahkan dalam
otobiografinya--ditulis semasa dalam pengasingan, Syah menuduh
para mullah mengeksploitir ajaran Syiah untuk kepentingan
politik.
Salah satu fakta yang dikemukakan Syah ialah sering mayat
orang yang mati karena sakit diarak secara besar-besaran ke
pekuburan. Selama di jalan raya para pengantar meneriakkan,
"Ini korban Savak yang lain." Dalam momen serupa itu, demikian
Syah, mudah untuk memanipulir massa dengan menggerakkannya setiap
hari ke40 masa berkabung. "Kesalahan yang saya lakukan adalah
tidak menggunakan media massa untuli melawan peracunan yang terus
menerus terhadap jalan pikiran kalangan anak muda dan wanita. "
Sementara bercita-cita membangun suatu negara modern yang
mirip Eropa, Syah memang mengabaikan peranan penting para mullah
dalam masyarakat tradisional Iran. Kenyataan ini mematangkan
revolusi para mullah.
Menurut ajaran Syiah, Imam memimpin suatu masyarakat baik
dalam gerakan sosial, ideologi politik maupun keagamaan. Dan
masyarakat Syiah sangat terikat oleh putusan Imam, baik itu
berupa fatwa ayatullah maupun perintah lisan yang disampaikannya
pada seseorang. Hubungan yang begitu dekat dan penuh hormat
terlihat sepanjang hari di Qom.
Di setiap rumah ayatullah selalu ada ruangan besar untuk
menerima para pengikutnya, Biasanya pada pagi hari ayatullah
pergi ke Masjid Azam untuk mengajar. Sekembalinya dari sana ia
beristirahat sebentar, kemudian menemui ratusan orang yang sudah
menunggu.
Di rumah Shariatmadari, misalnya, begitu ia memasuki ruangan
menerima tamu --terletak di bagian belakang, salam pujian kepada
nabi (salawat) dibacakan secara beramai-ramai. Dari mulai pintu
masuk sampai ke ruangan tamu mereka menyongsongnya sambil
berusaha mencium tangan sang ayatullah. Bila tak kebagian tangan,
mereka mencium atau memegang jubahnya suatu suasana pengkultusan.
Ia duduk bersila. Satu persatu tamu menemuinya. Ada yang
menanyakan sesuatu, ada pula yang sckedar mencium tangan.
Seorang staf ayatullah selalu berdiri di depan untuk menarik
tamu yang terlalu lama mencium tangan.
Sebagian tamu datang dengan membawa selembar bukti
pembayaran khumus yang sudah diselesaikannya dengan sekretaris
ayatullah. Setelah mencium tangan, si pembawa surat langsung
minta agar surat itu diberi cap tanda tangan ayatullah .
Dengan stempel yang terbuat dari emas, Shariatmadari mengecap
bukti pembayaran khumus itu. Dari wajah si peminta terbayang
suatu kepuasan la telah menyelesaikan salah satu ajaran Syiah
untuk membersihkan hartanya. Dan dari khumus inilah ayatullah
secara ekonomis kuat. Ia mampu membiayai rumah sakit, sekolah,
asrama pelajar dan berbagai kegiatan lainnya. Dan dengan uang
ini para mullah tak perlu lagi bekerja di luar kegiatan agama.
Seorang mullah akan pasti mendapat bagian dari khumus ini apakah
ia sedang belajar atau mengajar. Begitu pula keturunan nabi
berhak mendapat bagian dari khuIU2/5 meskipun mereka bukan
mullah.
Dalam hal khumus ini kaum Sunni dan Syiah berbeda pendapat.
Disebut dalam AlQuran, "Ketahuilah, apa yang kau dapatkan dari
perang, maka bagi Allah dan Rasulnya seperlima dari hasil itu."
Bagi Syiah, ayat ini tidak hanya berlaku di masa perang tapi
juga di masa damai. Maka setiap penganut Syiah diwajibkan
membayar khumus (yang berasal dari kata khoms yang berarti
seperlima).
Ini dibayar dari keuntungan yang dinikmati seseorang selama
setahun setelah dikurangi biaya hidup. Dari keuntungan bersih
itu seperlimanya wajib diserahkan kepada ayatullah atau pembantu
yang ditunjuknya. Dan kemudian ayatullah yang membagikannya
kepada yang berhak. Dalam buku Hidayatul lbaad (Petunjuk untuk
para kawula) disebutkan bahwa yang berhak mendapat khumus adalah
Allah, Rasul Allah dan para Imam Syiah.
Karena yang ada sekarang hanya Allah dan Imam, bagian untuk
Allah berupa biaya pengembangan Islam langsung dikelola Imam.
Juga berhak mendapat golongan fakir miskin, yatim piatu,
pelancong dari keluarga Bani Hasyim (turunan Nabi). Semua ini
juga dikelola oleh Imam--yang dalam pelaksanaan nya oleh para
ayatullah . Antara lain pelancong dari keluarga Bani Hasyim
adalah seorang habib dari Jakarta yang hampir setiap tahun pergi
ke Iran hanya untuk mengambil khumus.
KEWAJIBAN membayar itu tim—bul dalam ajaran Syiah karena ada
pendapat yang mengatakan bahwa haram bagi Nabi dan keluarganya
untuk menerima zakat atau sedekah dari umatnya. Imam Ja'far
Assadiq, imam Syiah ke-6, mengatakan: "Ketika Allah mengharamkan
sedekah Allah menetapkan bagi kami (keluarga Nabi) khumus. Dan
bagi kami khumus merupakan penerimaan wajib dan penghormatan
dari Allah." Imam Ja'far, menurut silsilah, adalah keturunan
ke-5 dari Nabi Muhammad. Dan kewajiban membayar ini dipertegas
lagi oleh Imam Al Baqir, Imam ke-5: "Haram membelanjakan harta
sebelum memberikan khumus sebagai hak kami."
Memang di sinilah letak kekuatan ekonomi para mullah. Dalam
keuangan, para mullah tidak perlu lagi mengharapkan dana
pemerintah. Maka mereka menjadi potensi politik yang tangguh.
Kekuatan politik para mullah inilah yang melahirkan Revolusi
Iran, meskipun orang masih mencatat andil kelompok sayap kiri,
seperti Partai Tudeh (Partai Komunis Iran), juga tidak sedikit.
Tapi sampai seberapa jauh para mullah bisa mewujudkan
impiannya--suatu negara Islam Iran--menjadi kenyataan? Tetap ini
merupakan pertanyaan besar. "Ini masih tahap permulaan dalam
menuju terciptanya suatu masyarakat Islam," kata Ayatullah Uzma
Mohammad Mahdi Syirazi kepada TEMPO la mengambil contoh
perjuangan Nabi Muhammad yang memakan waktu 23 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini