TELEPON berdering di perpustakaan Departemen Luar Negeri
Australia di Canberra siang hari tanggal 5 November. Seorang
wanita penjual buku menanyakan apakah perpustakaan itu mau
memesan sebuah buku baru, berjudul Documents on Australian
Defence and Foreign Policy 1968-1975.
Sang pustakawan bertanya bagaimana kira-kira isi buku itu.
Penjual yang menawarkan buku menyebut, bahwa buku itu berisi
kumpulan dokumen yang belum diterbitkan di sekitar hubungan luar
negeri dan pertahanan Australia. Dikatakan juga bahwa dokumen
u akan dimuat secara bersambung dalam harian The Age yang
terbit di kota Melbourne Sabtu, 8 November.
Tak disangka-sangka, percakapan yang biasa itulah kemudian
yang jadi awal peristiwa penyensuran terheboh di Australia sejak
lebih seperempat abad ini--dan menyangkut nama Indonesia.
Sebab Jumat 7 November, pukul 3 sore, di perpustakaan di
Canberra itu datang fotokopi kulit muka dan kulit belakang buku
yang ditawarkan. Dan ketika Sekretaris Departemen Luar Negeri
Peter Henderson serta Sekretaris Departemen Pertahanan William
Pritchett membacanya, mereka segera bertindak.
Komite 18
Pritchett menelepon harian Tbe Age, salah satu koran
terkemuka (sekitar 200.000 eksemplar) di Australia. Ia bertanya
benarkah koran itu esok akan memuat sebuah artikel yang
menyangkut dokumen pemerintah. Seorang anggota redaksi
mengiyakan. Pritchett kemudian berbicara tentang D-notice
Arrangements, suatu ketentuan sukarela yang dipegang oleh para
wartawan untuk tak menerbitkan soal-soal yang peka bagi keamanan
nasional.
Di Australia memang ada jenis penyensuran diri secara
sukarela ini, diketahui berlaku sejak 1952. Sebuah komite
bertugas mengaturnya. Komite itu terdiri dari 13 wakil
organisasi media Australia dan 5 pejabat pemerintah. Yang
memimpinnya adalah Menteri Pertahanan.
Tapi sejauh ini baru ada lima hal yang disepakati untuk
tidak disiarkan. Empat di antaranya menyangkut rahasia militer,
termasuk peralatan perang, komunikasi dinas intelijen Australia.
Satu hal lain yang tak akan disiarkan: alamat Vladimir Petrov,
mata-mata Uni Soviet yang di awal 1950-an membelot dan minta
suaka kepada pemerintah Australia.
Aturan D-notice sepenuhnya bersifat sukarela. Tak ada
hukuman dijatuhkan bila dilanggar, kecuali hukuman moral. Adakah
rencana penerbitan dokumen itu melanggar D-notice? Pihak The Age
menyatakan tegas tidak. Juga wartawan terkenal Peter Hastings
dari harian The Sydney Morning Herald -- yang akan pula
menerbitkan dokumen itu--menyatakan tidak.
Maka ketika Pritchett meminta bisakah seorang petugas Deplu
mengecek isi dokumen yang mau diterbitkan, editor The Age
menolak.
Toh pihak pemerintah tak habis langkah. Dengan cepat
Kejaksaan Agung meminta Mahkamah Tinggi untuk memberi perintah
menyetop penerbitan yang direncanakan The Age maupun The Sydney
Morning Herald. Penyetopan ini berlaku 2 pekan, sampai keputusan
mahkamah keluar untuk meneruskan atau tidak. Jam 12.45 malam,
setelah tukar pikiran selama satu tiga perempat jam, plhak
Mahkamah Tinggi setuju.
Sementara itu di gedung The Age mesin cetak sejak setengah
jam lewat tengah malam berputar dengan kecepatan 1.000 kopi tiap
menit. Beberapa puluh ribu eksemplar edisi Sabtu yang berisi
152 halaman telah mulai berbaris keluar. Pada halaman 21,
dokumen pemerintah yang bikin orang berdebar-debar itu terpampang
dengan judul The Anzus Papers (Anzus: singkatan pakta militer
Australia, Selandia Baru dan AS).
Tapi Editor The Age, Michael Davie, pukul 01.16 itu terima
telepon yang mengagetkan--ketika ia sedang hendak gosok gigi
sebelum tidur. Segera datang ke kantor. Sepuluh menit sebelum
pukul 2 pagi, karena tak ada pilihan lain, ia memerintahkan
mesin cetak berhenti. Isi halaman 21 diganti, tapi disertai
penjelasan kepada pembaca, mengapa isi di bawah judul itu tidak
dapat dimuat.
Hal yang sama terjadi pula di Sydney Morning Herald, yang
dicetak di kota Sydney. Tapi kedua koran itu tak menyerah begitu
saja. Sesuai dengan prosedur hukum yang ada, di Mahkamah Tinggi
di Canberra, para pengacara mereka datang menghadapi tindakan
pemerintah. Kemungkinan mereka akan menang bukan kecil.
Tokoh Indonesia
Pihak pemerintah menganggap pemuatan dokumen rahasia itu
bukan saja bisa melanggar kerahasiaan, tapi juga melanggar hak
cipta. Bahkan kasus ini bisa didekati sebagai perbuatan yang
melanggar Undang-Undang Kriminal.
Sekretaris Departemen Pertahanan Pritchett memang menyatakan
bahwa ia menduga dokumen-dokumen itu telah dicuri.
Tapi bisakah alasan pemerintah dibenarkan Mahkamah Tinggi
nanti, banyak yang meragukan. Dokumen yang hendak disiarkan oleh
The Age dan The Sydney Morning Herald jelas dikutip dari buku
yang ditulis oleh Richard Walsh dan George Muster--yang telah
ditawarkan ke perpustakaan Deplu Australia di awal cerita ini.
Buku itu sendiri kemudian memang dicoba dicegah beredar oleh
Kejaksaan Agung, dengan restu Mahkamah Tinggi. Beberapa toko
buku didatangi oleh petugas dengan fotokopi surat perintah
Mahkamah Tinggi. Tapi pembantu TEMPO di Sydney menyebut bahwa
buku yang sudah dicetak 1.200 kopi di Hongkong itu--yang
mula-mula kurang laku, karena harganya $ 25--jadi laris setelah
tindakan pemerintah. Cepat habis 800 kopi dalam dua hari. Kata
penerbitnya: "Saya ingin menawarkan kepada Jaksa Agung, Senator
Durrack, jabatan di bidang promosi. "
Memang ini kasus jarang terjadi di Australia. Biasanya,
sampai tahun 1960an, hanya buku porno yang kena tindak. Alasan
politik untuk melarang sebuah penerbitan baru terjadi di tahun
1944-di masa perang. Itu pun dilakukan tanpa sepengetahuan
Menteri Penerangan. Sebab itulah pernerintah Australia nam
paknya akan kalah dalam melawan alasan The Age, The Sydney
Morning lllrald dan penerbit Documents--yang beberapa bagiannya
sudah dipetik oleh radio swasta.
Tapi ada kemungkinan bahwa pemerintah Australia bertindak
sejauh itu dengan harapan hubungan Indonesia-Australia tak akan
jadi buruk sekali. Seperti kata Sekretaris Deplu Henderson di
dalam sidang Mahkamah Tinggi: "Penerbitan bahan ini akan punya
akibat merusak yang langsung dan terus-menerus bagi hubungan
Australia dengan Indonesia. "
Yang paling peka dalam dokumen rahasia itu, menurut
Henderson, adalah hab tentang Timor. Di sana disebutkan nama
tokoh-tokoh penting Indonesia, sejak Presiden ke bawah. Mereka
ini, selain sekedar disebut, juga dinilai dengan kritis oleh
para pejabat Deplu Australia. Dan dengan tindakan terhadap dua
koran serta sebuah penerbit buku, kini pemerintah Australia
ingin memperlihatkan bahwa mereka toh serius untuk melanjutkan
hubungan baik dengan tokohtokoh Indonesia itu (lihat
Nasional).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini