Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sensor Pers, Gaya Australia

Pemerintah Australia melarang harian the age & the sydney morning herald menyiarkan dokumen tentang hubuangan luar negeri & pertahanan australia, dokumen-dokumen tersebut di kutip dari buku 'dokuments on australian'. (md)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON berdering di perpustakaan Departemen Luar Negeri Australia di Canberra siang hari tanggal 5 November. Seorang wanita penjual buku menanyakan apakah perpustakaan itu mau memesan sebuah buku baru, berjudul Documents on Australian Defence and Foreign Policy 1968-1975. Sang pustakawan bertanya bagaimana kira-kira isi buku itu. Penjual yang menawarkan buku menyebut, bahwa buku itu berisi kumpulan dokumen yang belum diterbitkan di sekitar hubungan luar negeri dan pertahanan Australia. Dikatakan juga bahwa dokumen u akan dimuat secara bersambung dalam harian The Age yang terbit di kota Melbourne Sabtu, 8 November. Tak disangka-sangka, percakapan yang biasa itulah kemudian yang jadi awal peristiwa penyensuran terheboh di Australia sejak lebih seperempat abad ini--dan menyangkut nama Indonesia. Sebab Jumat 7 November, pukul 3 sore, di perpustakaan di Canberra itu datang fotokopi kulit muka dan kulit belakang buku yang ditawarkan. Dan ketika Sekretaris Departemen Luar Negeri Peter Henderson serta Sekretaris Departemen Pertahanan William Pritchett membacanya, mereka segera bertindak. Komite 18 Pritchett menelepon harian Tbe Age, salah satu koran terkemuka (sekitar 200.000 eksemplar) di Australia. Ia bertanya benarkah koran itu esok akan memuat sebuah artikel yang menyangkut dokumen pemerintah. Seorang anggota redaksi mengiyakan. Pritchett kemudian berbicara tentang D-notice Arrangements, suatu ketentuan sukarela yang dipegang oleh para wartawan untuk tak menerbitkan soal-soal yang peka bagi keamanan nasional. Di Australia memang ada jenis penyensuran diri secara sukarela ini, diketahui berlaku sejak 1952. Sebuah komite bertugas mengaturnya. Komite itu terdiri dari 13 wakil organisasi media Australia dan 5 pejabat pemerintah. Yang memimpinnya adalah Menteri Pertahanan. Tapi sejauh ini baru ada lima hal yang disepakati untuk tidak disiarkan. Empat di antaranya menyangkut rahasia militer, termasuk peralatan perang, komunikasi dinas intelijen Australia. Satu hal lain yang tak akan disiarkan: alamat Vladimir Petrov, mata-mata Uni Soviet yang di awal 1950-an membelot dan minta suaka kepada pemerintah Australia. Aturan D-notice sepenuhnya bersifat sukarela. Tak ada hukuman dijatuhkan bila dilanggar, kecuali hukuman moral. Adakah rencana penerbitan dokumen itu melanggar D-notice? Pihak The Age menyatakan tegas tidak. Juga wartawan terkenal Peter Hastings dari harian The Sydney Morning Herald -- yang akan pula menerbitkan dokumen itu--menyatakan tidak. Maka ketika Pritchett meminta bisakah seorang petugas Deplu mengecek isi dokumen yang mau diterbitkan, editor The Age menolak. Toh pihak pemerintah tak habis langkah. Dengan cepat Kejaksaan Agung meminta Mahkamah Tinggi untuk memberi perintah menyetop penerbitan yang direncanakan The Age maupun The Sydney Morning Herald. Penyetopan ini berlaku 2 pekan, sampai keputusan mahkamah keluar untuk meneruskan atau tidak. Jam 12.45 malam, setelah tukar pikiran selama satu tiga perempat jam, plhak Mahkamah Tinggi setuju. Sementara itu di gedung The Age mesin cetak sejak setengah jam lewat tengah malam berputar dengan kecepatan 1.000 kopi tiap menit. Beberapa puluh ribu eksemplar edisi Sabtu yang berisi 152 halaman telah mulai berbaris keluar. Pada halaman 21, dokumen pemerintah yang bikin orang berdebar-debar itu terpampang dengan judul The Anzus Papers (Anzus: singkatan pakta militer Australia, Selandia Baru dan AS). Tapi Editor The Age, Michael Davie, pukul 01.16 itu terima telepon yang mengagetkan--ketika ia sedang hendak gosok gigi sebelum tidur. Segera datang ke kantor. Sepuluh menit sebelum pukul 2 pagi, karena tak ada pilihan lain, ia memerintahkan mesin cetak berhenti. Isi halaman 21 diganti, tapi disertai penjelasan kepada pembaca, mengapa isi di bawah judul itu tidak dapat dimuat. Hal yang sama terjadi pula di Sydney Morning Herald, yang dicetak di kota Sydney. Tapi kedua koran itu tak menyerah begitu saja. Sesuai dengan prosedur hukum yang ada, di Mahkamah Tinggi di Canberra, para pengacara mereka datang menghadapi tindakan pemerintah. Kemungkinan mereka akan menang bukan kecil. Tokoh Indonesia Pihak pemerintah menganggap pemuatan dokumen rahasia itu bukan saja bisa melanggar kerahasiaan, tapi juga melanggar hak cipta. Bahkan kasus ini bisa didekati sebagai perbuatan yang melanggar Undang-Undang Kriminal. Sekretaris Departemen Pertahanan Pritchett memang menyatakan bahwa ia menduga dokumen-dokumen itu telah dicuri. Tapi bisakah alasan pemerintah dibenarkan Mahkamah Tinggi nanti, banyak yang meragukan. Dokumen yang hendak disiarkan oleh The Age dan The Sydney Morning Herald jelas dikutip dari buku yang ditulis oleh Richard Walsh dan George Muster--yang telah ditawarkan ke perpustakaan Deplu Australia di awal cerita ini. Buku itu sendiri kemudian memang dicoba dicegah beredar oleh Kejaksaan Agung, dengan restu Mahkamah Tinggi. Beberapa toko buku didatangi oleh petugas dengan fotokopi surat perintah Mahkamah Tinggi. Tapi pembantu TEMPO di Sydney menyebut bahwa buku yang sudah dicetak 1.200 kopi di Hongkong itu--yang mula-mula kurang laku, karena harganya $ 25--jadi laris setelah tindakan pemerintah. Cepat habis 800 kopi dalam dua hari. Kata penerbitnya: "Saya ingin menawarkan kepada Jaksa Agung, Senator Durrack, jabatan di bidang promosi. " Memang ini kasus jarang terjadi di Australia. Biasanya, sampai tahun 1960an, hanya buku porno yang kena tindak. Alasan politik untuk melarang sebuah penerbitan baru terjadi di tahun 1944-di masa perang. Itu pun dilakukan tanpa sepengetahuan Menteri Penerangan. Sebab itulah pernerintah Australia nam paknya akan kalah dalam melawan alasan The Age, The Sydney Morning lllrald dan penerbit Documents--yang beberapa bagiannya sudah dipetik oleh radio swasta. Tapi ada kemungkinan bahwa pemerintah Australia bertindak sejauh itu dengan harapan hubungan Indonesia-Australia tak akan jadi buruk sekali. Seperti kata Sekretaris Deplu Henderson di dalam sidang Mahkamah Tinggi: "Penerbitan bahan ini akan punya akibat merusak yang langsung dan terus-menerus bagi hubungan Australia dengan Indonesia. " Yang paling peka dalam dokumen rahasia itu, menurut Henderson, adalah hab tentang Timor. Di sana disebutkan nama tokoh-tokoh penting Indonesia, sejak Presiden ke bawah. Mereka ini, selain sekedar disebut, juga dinilai dengan kritis oleh para pejabat Deplu Australia. Dan dengan tindakan terhadap dua koran serta sebuah penerbit buku, kini pemerintah Australia ingin memperlihatkan bahwa mereka toh serius untuk melanjutkan hubungan baik dengan tokohtokoh Indonesia itu (lihat Nasional).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus