Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Yang Membosankan Di Iran

Bekas menlu sadeq ghotbzadeh dilepaskan dari tahanan, pertentangan antara mullah dengann kaum nasionalis (bani sadr-bahesti). bekas pm. shapur bakhtiar dalam pengasingannya di paris menbentuk organisasi.(ln)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 20.000 orang sudah menunggunya di suatu lapangan dekat Bazaar, Teheran. Bekas Menlu Sadeq Ghotbzadeh yang baru saja keluar dari tahanan, menurut rencana, akan berpidato. Para pendukungnya mempersiapkan rapat umum itu akhir yekan lalu. Ghotbzadeh, seperti biasa berpakaian rapi, muncul di podium. Tapi ia tidak banyak bicara. Sesudah mengucapkan terimakasih atas besarnya perhatian terhadap dirinya, ia mengumumkan bahwa ia dilarang berpidato. Para hadirin langsung berteriak, mencela Partai Republik Islam (PRI) --partai para mullah. "Hancurkan partai monopoli," teriak mereka. Ghotbzadeh ditahan selama tiga hari setelah ia terlibat dalam suatu perdebatan televisi. Kritik yang dilancarkannya ternyata menyakitkan hati kaum mullah (TEMPO, 15 November). Ayatullah Khomeini konon menggunakan pengaruhnya supaya bekas menlu itu segera dilepaskan. Tapi sang ayatullah rupanya ingin supaya kontroversi mengenai Ghotbzadeh ini segera diredakan, demi persatuan Iran menghadapi perang dengan Irak. Maka Ghotbzadeh langsung dilarangnya berpidato. Banyak orang di lapangan itu meng anggap larangan ini keluar karena hasutan para mullah. Teriakan mereka semula keras sekali terdengar lewat sistempengeras suara. Tiba-tiba alat itu dimatikan--mungkin oleh golongan PRI yang juga hadir di situ. Insiden itu suatu contoh betapa tidak ada kebebasan berbicara di Iran sekarang. Umumnya orang takut mengeluarkan pendapat yang berbeda secara terbuka. Seorang pengusaha angkutan, misalnya ketika diinterpiu wartawan TEMPO Zulkifly Lubis, hanya mau bercerita setelah ia yakin namanya tak akan disebut. "Nanti leher saya bisa dipenggal," ujarnya. Tapi keadaannya tidak terlalu jelek dalam suasana revolusi Iran. Setidaknya pengusaha tadi masih berani mengecam revolusi ini dalam percakapan pribadi, dan dengan orang asing pula. "Dulu, walaupun dengan saudara sendiri, saya takut membicarakan hal politik. Siapa tahu, kalau dia agen Savak (dinas rahasia zaman Syah)," ucap Akbar, seorang manajer hotel di Teheran. Menyaksikan dominasi para mullah dalam percaturan politik sekarang ini, banyak orang memang kecewa. Terutama kaum nasionalis yang dulu bersekutu dengan mullah dalam menggulingkan rezim Syah Mohammad Reza Pahlavi. Di Majlis (parlemen) misalnya, PRI hanya menduduki 70 dari 228 kursi, namun ia merupakan faktor dominan. Apalagi sebagian anggota Majlis--di luar PRI-- berhasil terpilih karena dukungan para mullah. Sebenarnya serangan ke arah mullah ini tidak hanya dikumandangkan oleh Ghotbzadeh dan pengikutnya. Ketika memperingati hari 'Jumat Hitam', pertengahan September lalu, Presiden Abolhassan Bani Sadr mensinyalir adanya 'kelompok minoritas' yang ingin memaksa kehendaknya. Tuduhan ini tentu saja.membuat berang para mullah. Ayatullah Sayeed Mohammad Hossein Behesti, Ketua PRI yang juga Ketua Mahkamah Agung, langsung menantang Bani Sadr agar membuktikan ucapannya dan menjelaskan siapa yang dimaksudnya dengan 'kelompok minoritas'. Behesti juga meminta agar Majlis segera memanggil Bani Sadr untuk mempertanggungjawabkan ucapannya itu. Tapi perang Iran-Irak tiba-tiba meletus, 22 September. Perang kata antara Behesti dan Bani Sadr seperb yang dimuat koran-koran Teheran pun terhenti sebentar. Untuk sementara Uani Sadr tak jadi dipanggil ke Majlis. Itu bukan berarti pertentangan antara mereka selesai. "Siapa Behesti?" begitu selalu ejekan orang Iran kalau membicarakan tentang dia, yang tidak dikenal dalam masa perjuangan melawan Syah. Ia lahir tahun 1928 di Isfahan dari keluarga mullah. Kakeknya, almarhum Ayatullah Sadeq Modaress Khatoonabadi adalah ulama terkemuka pada zamannya. Yang agak membedakan Behesti dengan ayatullah lainnya ialah kemampuannya dalam menggunakan bahasa asing. Di samping bahasa Arab yang umumnya dikuasai para ayatullah, Behesb juga mahir berbahasa Inggris, Jerman dan Prancis. Ia tidak hanya bersekolah di Qompusat pendidikan kaum Syiah (lihat Syiah: Kibaskan Jubah Mullah). Ia juga menyelesaikan studi di Universitas Teheran, tahun 1958, dengan gelar Doktor dalam Filsafat Islam. Tulisannya yang diterbitkan antara lain menyangkut masalah keuangan dan perbankan dalam Islam Pernah ramai beredar tuduhan bahwa ia memiliki saham sebesar 200 juta rial (US$ 2,86 juta) di Islamic Bank. "Saya ditunjuk sebagai salah seorang pendiri di Islamic Bank karena adanya tulisan saya tentang Hukum Perbankan dan Keuangan dalam Islam, bukan karena saya punya saham," kata Behesti yang dikutip oleh Iran Political Digest, Agustus lalu. Kehadiran Behesti dalam puncak kekuasaan memang mengejutkan. Maklum, sebelum mendiang Syah meninggalkan Teheran, Behesti masih terdaftar sebagai pegawai tinggi Kementerian Pendidikan. Bahkan ada dugaan bahwa ia berada di Jerman Barat, 1965-1971, karena ditugaskan Savak. Dan desas-desus serupa ini muncul karena Behesti, dalam pengalaman melawan Syah, tak pernah ditahan ataupun diusir ke luar negeri. Tapi Behesti mampu membuktikan bahwa ia bukan tokoh yang berdiam diri semasa Syah berkuasa. Bersama almarhum Ayatullah Motahari, yang terkenal gigih menentang rezim Syah, Behesb mendirikan Kelompok Mullah Berjuang, di Teheran, November 1978. Organisasi inilah kemudian menjadi akalbakal Dewan Revolusi setelah meletusnya Revolusi Iran. Ia juga pernah menemui Khomeini di pengasingannya di Paris. Sebagian pengamat di Teheran percaya bahwa suatu waktu Behesti akan menggantikan Bani Sadr. "Pertentangan antara Behesti dan Bani Sadr harus menemui titik akhir," kata seorang direktur perusahaan kimia, yang juga tak mau namanya disebut, karena "tak baik buat keturunan saya di masa datang." Sang direktur telah meninggalkan Iran untuk selama-lamanya. "Siapa yang akan mau kembali ke negeri serupa ini," ucapnya lagi ketika ia dijumpai wartawan TEMPO sedang menuju ke perbatasan Turki. Keluhan seperti ini banyak diutarakan golongan menengah-atas, terutama mereka yang pada masa Syah ikut kecipratan petro-dollar. Keluhan yang cukup manusiawi juga terdengar. "Saya bosan menonton teve yang isinya hanya pldato para mullah," keluh Anita, anak perempuan belasan tahun. Sejak Khomeini berkuasa, radio dan televisi tidak menyiarkan lagi lagu-lagu pop baik yang berbahasa Parsi maupun asing. Kalau bukan pidato, lagu revolusioner memenuhi acara teve Iran. Tak cuma sampai di situ. Biduaniu pop terkemuka di Iran, Googoosh, sekarang sama sekali tidak menyanyi lagi. Karirnya sebagai penyanyi berakhir dengan meletusnya revolusi Iran. Googoosh, sekarang berumur 32, mulai tenar sejak berusia 16 tahun. Kaset lagunya sekarang betul-betul sulit diperoleh. Secara resmi kaset dilarang diperjualbelikan, dan biasanya disita oleh petugas Bea Cukai. Di perbatasan IranTurki, hampir semua orang mengeluh karena kaset yang mereka bawa disita. Ayatullah Khomeini tampaknya ingin mengadakan Suatu perubahan yang radikal. Dan ini tentu saja mengejutkan, terutama bagi mereka yang dulu mendukung Khomeini karena anti-Syah. "Sebagian besar orang Iran suka minuman keras. Sekarang mereka harus mengharamkannya -- bagaimana bisa," kata pengusaha yang kecewa tadi. Walaupun begitu, banyak peninjau tidak melihat ada kekuatan lain yang mampu menumbangkan Khomeini. Tidak juga bekas PM Shahpur Bakhtiar. Tapi Shahpur diduga menunggu saamya untuk kembali ke Iran. "Saya menunggu lampu hijau dari Amerika Serikat," katanya kepada simpatisan yang menemuinya di Paris 3 bulan lalu. Sementara itu Admiral Madani yang juga melarikan diri ke Paris dispekulasikan pula akan berusaha melawan rezim para mullah. Bakhtiar jelas tidak berpangku tangan. Di Paris ia membentuk Organisasi Perlawanan Nasionalis Iran (OPNI). Seperti Khomeini yang menyebarkan kaset pidatonya untuk melawan rezim Syah, Bakhtiar juga melakukan hal yang sama. "Dari sini kami menyebarkan kaset dan selebaran yang berisi buah pikir an Shahpur Bakhtiar untuk diselundupkan ke Iran," kata Ny. Chachi Amir, Sekretaris Pers OPNI kepada koresponden TEMPO, Noorca M. Massardi, di Paris. Di Iran, perjuangan Shahpur Bakhtiar ini ditertawakan sebagai mimpi di siang bolong. Namun dalam wawancara TEMPO, Bakhtiar secara tegas mengatakan, "saya yakin rezim Khomeini tidak akan bertahan lama." Dan ia pun mempertanyakan arti revolusi yang selalu disebut Khomeini. "Saya tak mengerti bagaimana orang bisa menggunakan kata revolusi atas apa yang terjadi di Iran sejak Februari 1979," katanya. "Revolusi Khomeini ini tidak dilandasi suatu ideologi apapun." Sejak terjadi percobaan pembunuhan terhadap dirinya, September lalu, Bakhtiar pindah dari apartemennya di Boulevard Bineau Neuilly, Paris. Soalnya ialah tetangganya di situ mengirim protes. Mereka khawatir kalau keselamatan mereka juga ikut terancam. Dan sejak itu pula ia sering meninggalkan Paris. Menurut orang yang dekat dengan dia, Bakhtiar sering pergi ke London atau Irak, untuk mengkonsolidasikan kekuatan yang mendukungnya. Mungkinkah Bakhtiar bisa kembali ke Iran tanpa bantuan kekuatan asing? Tetap ini merupakan pertanyaan. Meskipun dalam keadaan perang melawan Irak, Iran tampaknya belum goyah betul. Pemerintah kelihatannya masih bisa mempertahankan stabilitas harga, terutama harga bahan makanan. Namun tingkat pengangguran Iran cukup tinggi, sekitar 30%. Keadaan ekonomi, betapapun sulitnya, tampak tidak mengurangi kesetiaan rakyat Iran pada Imam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus