SEKITAR 20.000 orang sudah menunggunya di suatu lapangan
dekat Bazaar, Teheran. Bekas Menlu Sadeq Ghotbzadeh yang baru
saja keluar dari tahanan, menurut rencana, akan berpidato. Para
pendukungnya mempersiapkan rapat umum itu akhir yekan lalu.
Ghotbzadeh, seperti biasa berpakaian rapi, muncul di podium.
Tapi ia tidak banyak bicara. Sesudah mengucapkan terimakasih
atas besarnya perhatian terhadap dirinya, ia mengumumkan bahwa
ia dilarang berpidato. Para hadirin langsung berteriak, mencela
Partai Republik Islam (PRI) --partai para mullah. "Hancurkan
partai monopoli," teriak mereka.
Ghotbzadeh ditahan selama tiga hari setelah ia terlibat
dalam suatu perdebatan televisi. Kritik yang dilancarkannya
ternyata menyakitkan hati kaum mullah (TEMPO, 15 November).
Ayatullah Khomeini konon menggunakan pengaruhnya supaya bekas
menlu itu segera dilepaskan. Tapi sang ayatullah rupanya ingin
supaya kontroversi mengenai Ghotbzadeh ini segera diredakan,
demi persatuan Iran menghadapi perang dengan Irak. Maka
Ghotbzadeh langsung dilarangnya berpidato.
Banyak orang di lapangan itu meng anggap larangan ini keluar
karena hasutan para mullah. Teriakan mereka semula keras sekali
terdengar lewat sistempengeras suara. Tiba-tiba alat itu
dimatikan--mungkin oleh golongan PRI yang juga hadir di situ.
Insiden itu suatu contoh betapa tidak ada kebebasan
berbicara di Iran sekarang. Umumnya orang takut mengeluarkan
pendapat yang berbeda secara terbuka. Seorang pengusaha
angkutan, misalnya ketika diinterpiu wartawan TEMPO Zulkifly
Lubis, hanya mau bercerita setelah ia yakin namanya tak akan
disebut. "Nanti leher saya bisa dipenggal," ujarnya.
Tapi keadaannya tidak terlalu jelek dalam suasana revolusi
Iran. Setidaknya pengusaha tadi masih berani mengecam revolusi
ini dalam percakapan pribadi, dan dengan orang asing pula.
"Dulu, walaupun dengan saudara sendiri, saya takut membicarakan
hal politik. Siapa tahu, kalau dia agen Savak (dinas rahasia
zaman Syah)," ucap Akbar, seorang manajer hotel di Teheran.
Menyaksikan dominasi para mullah dalam percaturan politik
sekarang ini, banyak orang memang kecewa. Terutama kaum
nasionalis yang dulu bersekutu dengan mullah dalam menggulingkan
rezim Syah Mohammad Reza Pahlavi. Di Majlis (parlemen) misalnya,
PRI hanya menduduki 70 dari 228 kursi, namun ia merupakan faktor
dominan. Apalagi sebagian anggota Majlis--di luar PRI--
berhasil terpilih karena dukungan para mullah.
Sebenarnya serangan ke arah mullah ini tidak hanya
dikumandangkan oleh Ghotbzadeh dan pengikutnya. Ketika
memperingati hari 'Jumat Hitam', pertengahan September lalu,
Presiden Abolhassan Bani Sadr mensinyalir adanya 'kelompok
minoritas' yang ingin memaksa kehendaknya. Tuduhan ini tentu
saja.membuat berang para mullah. Ayatullah Sayeed Mohammad
Hossein Behesti, Ketua PRI yang juga Ketua Mahkamah Agung,
langsung menantang Bani Sadr agar membuktikan ucapannya dan
menjelaskan siapa yang dimaksudnya dengan 'kelompok minoritas'.
Behesti juga meminta agar Majlis segera memanggil Bani Sadr
untuk mempertanggungjawabkan ucapannya itu. Tapi perang
Iran-Irak tiba-tiba meletus, 22 September. Perang kata antara
Behesti dan Bani Sadr seperb yang dimuat koran-koran Teheran pun
terhenti sebentar. Untuk sementara Uani Sadr tak jadi dipanggil
ke Majlis. Itu bukan berarti pertentangan antara mereka selesai.
"Siapa Behesti?" begitu selalu ejekan orang Iran kalau
membicarakan tentang dia, yang tidak dikenal dalam masa
perjuangan melawan Syah. Ia lahir tahun 1928 di Isfahan dari
keluarga mullah. Kakeknya, almarhum Ayatullah Sadeq Modaress
Khatoonabadi adalah ulama terkemuka pada zamannya. Yang agak
membedakan Behesti dengan ayatullah lainnya ialah kemampuannya
dalam menggunakan bahasa asing. Di samping bahasa Arab yang
umumnya dikuasai para ayatullah, Behesb juga mahir berbahasa
Inggris, Jerman dan Prancis.
Ia tidak hanya bersekolah di Qompusat pendidikan kaum Syiah
(lihat Syiah: Kibaskan Jubah Mullah). Ia juga menyelesaikan
studi di Universitas Teheran, tahun 1958, dengan gelar Doktor
dalam Filsafat Islam. Tulisannya yang diterbitkan antara lain
menyangkut masalah keuangan dan perbankan dalam Islam
Pernah ramai beredar tuduhan bahwa ia memiliki saham sebesar
200 juta rial (US$ 2,86 juta) di Islamic Bank. "Saya ditunjuk
sebagai salah seorang pendiri di Islamic Bank karena adanya
tulisan saya tentang Hukum Perbankan dan Keuangan dalam Islam,
bukan karena saya punya saham," kata Behesti yang dikutip oleh
Iran Political Digest, Agustus lalu.
Kehadiran Behesti dalam puncak kekuasaan memang mengejutkan.
Maklum, sebelum mendiang Syah meninggalkan Teheran, Behesti
masih terdaftar sebagai pegawai tinggi Kementerian Pendidikan.
Bahkan ada dugaan bahwa ia berada di Jerman Barat, 1965-1971,
karena ditugaskan Savak. Dan desas-desus serupa ini muncul
karena Behesti, dalam pengalaman melawan Syah, tak pernah
ditahan ataupun diusir ke luar negeri.
Tapi Behesti mampu membuktikan bahwa ia bukan tokoh yang
berdiam diri semasa Syah berkuasa. Bersama almarhum Ayatullah
Motahari, yang terkenal gigih menentang rezim Syah, Behesb
mendirikan Kelompok Mullah Berjuang, di Teheran, November 1978.
Organisasi inilah kemudian menjadi akalbakal Dewan Revolusi
setelah meletusnya Revolusi Iran. Ia juga pernah menemui
Khomeini di pengasingannya di Paris.
Sebagian pengamat di Teheran percaya bahwa suatu waktu
Behesti akan menggantikan Bani Sadr. "Pertentangan antara
Behesti dan Bani Sadr harus menemui titik akhir," kata seorang
direktur perusahaan kimia, yang juga tak mau namanya disebut,
karena "tak baik buat keturunan saya di masa datang." Sang
direktur telah meninggalkan Iran untuk selama-lamanya. "Siapa
yang akan mau kembali ke negeri serupa ini," ucapnya lagi ketika
ia dijumpai wartawan TEMPO sedang menuju ke perbatasan Turki.
Keluhan seperti ini banyak diutarakan golongan
menengah-atas, terutama mereka yang pada masa Syah ikut
kecipratan petro-dollar.
Keluhan yang cukup manusiawi juga terdengar. "Saya bosan
menonton teve yang isinya hanya pldato para mullah," keluh
Anita, anak perempuan belasan tahun. Sejak Khomeini berkuasa,
radio dan televisi tidak menyiarkan lagi lagu-lagu pop baik yang
berbahasa Parsi maupun asing. Kalau bukan pidato, lagu
revolusioner memenuhi acara teve Iran.
Tak cuma sampai di situ. Biduaniu pop terkemuka di Iran,
Googoosh, sekarang sama sekali tidak menyanyi lagi. Karirnya
sebagai penyanyi berakhir dengan meletusnya revolusi Iran.
Googoosh, sekarang berumur 32, mulai tenar sejak berusia 16
tahun. Kaset lagunya sekarang betul-betul sulit diperoleh.
Secara resmi kaset dilarang diperjualbelikan, dan biasanya
disita oleh petugas Bea Cukai. Di perbatasan IranTurki, hampir
semua orang mengeluh karena kaset yang mereka bawa disita.
Ayatullah Khomeini tampaknya ingin mengadakan Suatu
perubahan yang radikal. Dan ini tentu saja mengejutkan, terutama
bagi mereka yang dulu mendukung Khomeini karena anti-Syah.
"Sebagian besar orang Iran suka minuman keras. Sekarang mereka
harus mengharamkannya -- bagaimana bisa," kata pengusaha yang
kecewa tadi.
Walaupun begitu, banyak peninjau tidak melihat ada kekuatan
lain yang mampu menumbangkan Khomeini. Tidak juga bekas PM
Shahpur Bakhtiar. Tapi Shahpur diduga menunggu saamya untuk
kembali ke Iran. "Saya menunggu lampu hijau dari Amerika
Serikat," katanya kepada simpatisan yang menemuinya di Paris 3
bulan lalu. Sementara itu Admiral Madani yang juga melarikan
diri ke Paris dispekulasikan pula akan berusaha melawan rezim
para mullah.
Bakhtiar jelas tidak berpangku tangan. Di Paris ia membentuk
Organisasi Perlawanan Nasionalis Iran (OPNI). Seperti Khomeini
yang menyebarkan kaset pidatonya untuk melawan rezim Syah,
Bakhtiar juga melakukan hal yang sama. "Dari sini kami
menyebarkan kaset dan selebaran yang berisi buah pikir
an Shahpur Bakhtiar untuk diselundupkan ke Iran," kata Ny.
Chachi Amir, Sekretaris Pers OPNI kepada koresponden TEMPO,
Noorca M. Massardi, di Paris.
Di Iran, perjuangan Shahpur Bakhtiar ini ditertawakan
sebagai mimpi di siang bolong. Namun dalam wawancara TEMPO,
Bakhtiar secara tegas mengatakan, "saya yakin rezim Khomeini
tidak akan bertahan lama." Dan ia pun mempertanyakan arti
revolusi yang selalu disebut Khomeini. "Saya tak mengerti
bagaimana orang bisa menggunakan kata revolusi atas apa yang
terjadi di Iran sejak Februari 1979," katanya. "Revolusi
Khomeini ini tidak dilandasi suatu ideologi apapun."
Sejak terjadi percobaan pembunuhan terhadap dirinya,
September lalu, Bakhtiar pindah dari apartemennya di Boulevard
Bineau Neuilly, Paris. Soalnya ialah tetangganya di situ
mengirim protes. Mereka khawatir kalau keselamatan mereka juga
ikut terancam. Dan sejak itu pula ia sering meninggalkan Paris.
Menurut orang yang dekat dengan dia, Bakhtiar sering pergi ke
London atau Irak, untuk mengkonsolidasikan kekuatan yang
mendukungnya.
Mungkinkah Bakhtiar bisa kembali ke Iran tanpa bantuan
kekuatan asing? Tetap ini merupakan pertanyaan. Meskipun dalam
keadaan perang melawan Irak, Iran tampaknya belum goyah betul.
Pemerintah kelihatannya masih bisa mempertahankan stabilitas
harga, terutama harga bahan makanan. Namun tingkat pengangguran
Iran cukup tinggi, sekitar 30%. Keadaan ekonomi, betapapun
sulitnya, tampak tidak mengurangi kesetiaan rakyat Iran pada
Imam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini