SUDAH hampir dua bulan berlalu. Ikan air tawar di Jawa Barat terkena wabah. "Sampai sekarang belum diketahui penyebab penyakit ikan itu," ujar Prof. Sumardi Sastrakusumah pekan lalu. Ahli zoofisiologi dari IPB ini bertindak selaku koordinator Tim Penanggulangan Wabah Ikan yang dibentuk Menteri Negara Ristek atas instruksi Presiden Soeharto. Ir. Sri Lestari Angka dari Departemen Perikanan IPB menyatakan sebab utama penyakit ikan itu baru bisa diketahui bila semua sample dari seluruhdaerah yang terkena wabah diteliti. Soalnya ialah pada beberapa ikan yang terkena penyakit ditemukan bakteri, tapi ada pula ikan yang mati tanpa mengandung bakteri itu. Namun Ir. Rukyani M.Sc. dari Lembaga Penelitian Perikanan Darat lebih dini menyatakan dengan tegas bahwa penyakit itu disebabkan kuman Aeromonas SP, Pseudomonas dan Staphilococcus. Seperti juga bekan Departemen Perikanan IPB, Dr. Muhamad Eidman, Sri Lestari berpendapat bahwa sebabnya pasti bukan karena polusi air sebagaimana diduga oleh beberapa peternak ikan di daerah Bogor. "Penyakit akibat polusi tidak dapat ditularkan," tegas Sri Lestari. Sementara para ahli bersantai meneliti, para pejabat pun cukup repot. Berbagai instruksi melayang dari atas ke bawah. Sarana bantuan disiapkan, Satuan Tugas dibentuk dan Posko didirikan di mana-mana. Bahkan semua cuti pegawai Dinas Perikanan Ja-Bar dibatalkan. "Kami menyiagakan petugas 24 jam," ujar Ir. Damanhuri, kepala Dinas itu. Rapat pun berlangsung siang-malam. Kisah wabah itu bermula di Desa Cibening, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Ada 18 pemilik kolam air deras di desa itu, termasuk E. Kushada Wiriadinata dan adiknya, Atep S.W. Keduanya menemukan (27 September) sejumlah ikan di kolam mereka dalam keadaan mabuk ringan. Kolam yang berisikan hampir 3000 ekorikan jenis F1 (hasil persilangan antara ikan Taiwan--yang diimpor--dan Majalaya), mendapatkan airnya dari Sungai Cisarua. Sementara sejumlah ikan keturunan Taiwan itu mati, Atep membuka textbook of Fish Culture karangan Marcel Huet. Ia menemukan petunjuk untuk menggunakan Streptomycin. Apotik tak bersedia menjualnya tanpa resep. "Dari toko penjual makanan ternak akhirnya saya mendapat Streptomyein untuk ternak," tutur Atep. Ia memilih dosis yang dianjurkan untuk ayam, kemudian menyuntikkannya pada 22 ekor ikan Taiwan yang masih hidup dan di antaranya 20 dapat diselamatkan. "Dalam tempo 2 minggu semuanya segar bugar," tuturnya. Atep berhasil mengawinkan ikan Taiwan itu dengan ikan Majalaya. Hanya 400 m dari kolam Atep terdapat kolam ikan Haji Aden, yang juga mendapatkan airnya dari Sungai Cisarua. Ikan mabuk juga ditemukan Aden di kolamnya. Malah dalam 10 hari 2 ton ikannya mati. Lembaga Penelitian Perikanan Darat kemudian menganjurkan agar sisa ikannya direndam larutan Kalium Permanganate. "Alhamdulillah, baru ketemu antinya," tutur Aden. "Sekarang dalam tiga hari hanya seekor ikan yang mati." Akibat musibah itu ia menderita kerugian sebesar Rp 2,4 juta. Tapi kejadian itu tidak terlalu merisaukan pak haji. "Kerugian itu dalam 3 bulan akan kembali," katanya tersenyum. "Tadi saja saya baru menjual 418 kg. Bahkan sudah ada yang pesan untuk hari Natal sebanyak 3 ton." Percobaan Atep, yang berhasil dengan Streptomycin, sangat menarik perhatian Dr. Muhamad F.idman. 'Wah. Kami baru tahu dari TEMPO, ujarnya ketika wartawan majalah ini menemuinya pekan lalu. "Banyak yang datang meminta keterangan tapi jarang yang me nberi keterangan untuk membantu kami," ucapnya sementara musibah ini tampaknya meluas. Di seluruh Jawa Barat sampai pekan lalu sudah 45 ton ikan air tawar mati akibat penyakit itu dan lebih 230 ton lainnya terserang. Di Cianjur saja, menurut Kepala Sub Dinas Perikanan Kabupaten, Tatang Sutardi B.Sc., dari 500 ha kolam ikan di kabupaten itu, sudah 100 ha terkena wabah penyakit. Lebih 10 ton ikan di situ mati. Tapi Djumadi, peternak ikan di Desa Bumi Sari, Cianjur, menganggap penyakit ikan itu biasa. "Setiap hari memang ada saja beberapa ekor yang mati," ucapnya. Masih di daerah Cianjur, H. Momon, peternak ikan dari Desa Warung Kondang, juga menganggap kematian ikan itu biasa. "Kami memakannya atau dibuatkan pindang," tuturnya. "Akibatnya tidak ada apa-apa." Seperti Djumadi, H. Momon juga tidak melakukan pengobatan. "Kami tidak tahu obat apa yang harus dipakai dan bagaimana caranya," ujarnya sambil menerangkan bahwa petugas Dinas Penkanan paling banyak datang dua kali setahun. Kedua peternak ikan itu sependapat bahwa harga ikan merosot dan pasaran menciut. Berita wabah itu juga memukul pedagang ikan. "Harganya yang biasa mencapai Rp 2.500 per kg, sekarang terpaksa saya jual Rp 800," ujar seorang pedagang di Jakarta yang membeli ikan dari Sukabumi. Agaknya banyak ikan dari Sukabumi itu mati. Sebaliknya di Bandung, Enceng Muhsin, pedagang ikan dari Pasar Cigereleng tidak mengeluh. Ketika diternui TEMPO pekan lalu ia baru saja membeli 500 kg ikan dari berbagai kolam ikan di Kodya Bandung. "Tak seekorpun yang sakit atau mati," ujarnya. Suasana tenang di Pasar Cigereleng itu agaknya juga tercermin dari sikap Kepala Dinas Perikanan Kodya Bandung, Priatna Sastrawidjaja. "Tidak ada peternak ikan di Kodya Bandung yang mengalami musibah seperti di daerah lain," ucapnya. Namun dinasnya belum melakukan penelitian di kolam para peternak. Tenaganya terbatas (hanya 5 orang). Pencegahan memang dilakukannya. Misalnya ikan bibit yang dijual ke daerah lain direndam dulu dalam larutan KP selama 20 menit. Bibit ikan dari Bandung banyak dibawa ke daerah seperti Majalaya, Garut dan Tasik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini