DARI Beirut ke Tyre dari Kuwait ke Gedung Putih. Bagaikan arus listrik, keresahan itu menjalar dengan cepat. Washington, setelah pemboman kedutaan besar AS di Kuwait, Desember silam, tak lagi tinggal diam. Ada seribu teroris, menurut Presiden Ronald Reagan, disiagakan di Libanon, dan sebagian besar orang Iran. Setengah mengancam ia berucap, "Jika benar Iran terlibat, saya minta aksi teror itu dihentikan secepatnya. Amerika tidak akan terpancing dalam suatu perang terbuka." Benarkah? Marinir AS bcrada dalam posisi yang mudah untuk terpancing. Mereka masih tetap bertahan dekat bandar udara Beirut - daerah rawan yang dihancurkan pengemudi dua truk kamikaze, 23 Oktober lalu. Hanya dalam tempo beberapa menit, 241 marinir Amerika dan 58 tentara Prancis tewas. Inilah angka (sementara) paling gemilang dalam perjuangan Jihad al-Islami, organisasi yang mengaku bertanggung jawab mengirim pengemudi berani mati itu. Menlu AS George Shultz secara tak langsung menuding Iran terlibat tragedi berdarah itu. "Terorisme bukan lagi kerja gila-gilaan. Terorisme itu kerja terencana dan sistematis. Untuk itu, orang-orang dilatih, satu kegiatan yang disinyalir sangat meningkat di Iran belakangan ini." Ia menegaskan untuk melindungi tentara AS dari serangan bunuh diri, satuan militernya sewaktu-waktu bisa saja melakukan tindakan pengamanan. Sementara itu, Pentagon memperingatkan supaya kapal atau pesawat terbang asing mengambil jarak sedikitnya 8 km dari kapal-kapal AS yang berjaga-jaga di Laut Tengah atau di perairan Teluk. Gayung AS itu langsung disambut Iran. Presiden Iran Ali Khamenei berkata, "Kami siap untuk adu kekuatan lagi . . . Selama musuh-musuh revolusi Islam memaksa agar satu bangsa tunduk pada tekanan-tekanan penuh hina, selama itu kami siap berjuang. Kami yakin perlawanan ini akan membawa kami ke kemenangan yang sempurna." Bagi pengemudi truk kamikaze, yang sedia mati tanpa pamrih, kemenangan sempurna itu sesungguhnya hanya bisa dicapai di SISI Allah. Bagi mereka, seperti halnya penerbang kamikaze Jepang yang tersohor itu (lihat: Angin Dewata dari Mabalacat), mati syahid agaknya cuma sarana -- jalan pintas. Betulkah Iran jadi dalang teroris maut itu? Surat kabar Kuwait, Ar-Rai al-Aam, yang memberitakan akan dimulainya proses pengadilan terhadap 23 tersangka pelaku peledakan kedutaan AS di sana menulis: dua orang dari Kuwait, sisanya kebanyakan imigran Irak. Kalau begitu, mengapa Shultz menuding Iran? Riwayatnya sedikit panjang. Majalah The Sunday Times, terbitan Januari silam, melaporkan adanya jaringan teroris Iran yang mengorganisasikan semua aksi bunuh dln truk kamikaze. Organisasi yang bernama Ensan Entehari itu, bcrpusat di London dan Roma, melatih kadernya yang berusia 16 sampai 30 tahun di tiga kamp latihan di Iran. Penulis laporan itu, Amir Taheri, menyebut dua kamp diperuntukkan bagi pria (Manzarie dan Salchabad), dan satu lagi untuk wanita (Beheshtein). Di ketiga kamp itulah berbulan-bulan calon syuhada hidup terpencil. Hubungan mereka dengan duma luar putus sama sekali. Pengucilan ini, konon, mutlak untuk proscs penyucian diri. Baru sesudah itu para kader dianggap slap untuk dipompa semangatnya agar berperang di jalan Allah dan mati demi pemimpin spiritual Ayatullah Rohullah Khomeini . Seorang pejabat CIA, yang namanya tidak disebutkan, menurut Taheri, menyatakan bahwa sebelum pengemudi kamikaze dikirim ke sasaran, mereka mesti minum obat yang bisa membuat orang kesurupan. Lebih terperinci Taheri menyebut nama Ayatullah Azari Komi sebagai pemimpin Ensan Entehari cabang London, dan duta besar Iran di Vatikan, Ayatullah Nadi Khosrow-Shahi, sebagai komandan di Roma. Surat kabar Tehran Times terbitan 21 Januari 1983 membantah laporan itu. Taheri dikatakannya sebagai wartawan antek Syah Iran, dan seluruh cerita tentang jaringan teroris itu tak lain dari upaya mendiskreditkan revolusi Islam di matadunia. Bunuh diri, demikian Tehran Times sepenuhnya anti-Islam, dan Quran jelas melarang seorang umat mencabut nyawa sendiri dalam kondisi apa pun. Lain lagi cerita David B. Ottoway yang disebarluaskan oleh Washington Post Service. Pada awal laporannya, ia sudah menguraikan banyaknya ciri-ciri Iran yang kelihatan olehnya di markas organisasi militan Syiah Amal di Baalbeck. Ada gambar Khomeini sepenuh dinding, ada beberapa slogan khas, seperti "Mampus Amerika", "Israel mesti disapu bersih di bawah panji-panji Islam", "Mati syahid adalah tujuan dan harapan abdi Tuhan", dan "Revolusi kita pertama-tama berjiwa Islam, bukan Iran dan itulah revolusi orang tertindas di selurul muka bumi". Adalah Hassan Mussawi, yang kurus da bermata cekung, tampil sebagai pemimpin Syiah militan itu. Bekas guru itu pada mulanya memperjuangkan hak-hak kaum Syiah Libanon, tapi kemudian terlibat dalam kerja sama dengan Syria dan Iran. Dikabarkan bahwa Mussawi memang seorang pengagum Khomeini. Adapun kehadiran Syria di Lembah Bekaa, mulanya dianggap sah, karena diundang pemerintah Libanon yang terancam perang saudara. Tapi kemelut yang berlarut-larut di negeri itu kemudian dimanfaatkan Hafez Assad untuk memantapkan pengaruhnya di sana. Sedangkan Iran, kata Ottoway bertujuan menyebarkan militansi Islam ke seluruh dunia Arab. Ottoway sampai pada kesimpulan bahwa tiga pihak (Syria, Iran, dan Libanon) punya tujuan berbeda, tapi sementara ini blsa seiring sejalan. Kerja sama Syria-Iran, misalnya, bisa terjalin selagi ada sasaran bersama: kehadiran pasukan AS di Libanon. Kerja sama itu bermula pada serangan Israel ke Libanon, 1982. Dalam tempo satu minggu, Iran mengirimkan 100 pengawal revolusi (Pasdaran) ke Baalbeck. Tidak lama kemudian organisasi Amal pecah: kelompok Baalbeck di bawah Hussein Mussawi dan kelompok Beirut dipimpin tokoh moderat Nabih Berri yang berorientasi pada cita-cita persatuan Libanon. Dalam waktu singkat, Mussawi terikat dalam jalinan kerja sama Syria-Iran. Penculikan David Dodge, rektor Universitas Amerika di Beirut (19 Juli 1982), dikemukakan sebagai bukti pertama kerja sama itu. Diperkirakan 300-350 kader Syiah Amal yang sudah digembleng di Qom, Iran. Mereka itulah, yang diam-diam menyelinap kembali ke Beirut, yang diduga sangat berperan dalam penerobosan markas marinir AS, Oktober lalu. Mingguan Jeune Afrique (Afrika Muda) terbitan Paris, 25 Januari 1984, menulis laporan yang lebih lengkap. Mereka juga menyebutkan adanya hubungan Amal militan dengan pusat-pusat latihan pejuang kamikaze Iran. Lebih dari itu, wartawannya, Mohammed Selhami, dapat peluang emas, karena memperoleh izin mengunjungi markas kamikaze mulai dari Qom dan Ahwaz di Iran (berbeda dengan laporan Amir Taheri dalam The Sunday Times) sampai Baalbeck di Libanon. "Pasukan bunuh diri bukanlah barisan hantu," tulis Selhami. "Mereka memandang diri mereka sebagai pelaksana dan pencari keadilan." Tidak heran jika di awal laporannya Selhami bicara tentang Samson, tokoh dalam Perjanjian Lama, yang menghancurkan rumah berhala dan terkubur bersama musuh-musuhnya. Dikatakannya, dalam pandangan barisan bunuh diri Iran rumah berhala itu adalah manusia dunia sekarang yang dikuasai negara-negara imperialis. Tapi barisan Komando Allah itu juga punya istilah dan filsafat tersendiri. Menurut ajaran yan dipompakan kepada mereka, negara-negara itu sekarang goyah dan gentar, karena kaum lemah yang tertindas sudah tidak lagi merasa takut. Lewat mati syahid, negara-negara Imperlalis mesti dihancurkan. Hanya saja tahap itu masih jauh. Apa yang bisa disaksikan sekarang lalah keterperanjatan dunia Barat, yang tiba-tiba dihadapkan pada suatu gerakan revolusioner yang keimanan pengikutnya agaikan senjata dahsyat: sulit ditangkis, juga sulit dielakkan. Yang terakhir ini bahkan diakui sendiri oleh pejabat militer AS. Apakah ini hanya gejala sementara, atau awal tumbuhnya kekuatan baru di dunia? "Tidak seorang pun bisa menjawabnya kini," kata Selhami. Didesak oleh rasa ingin tahu, Selhami menelusuri pos-pos pasukan bunuh diri yang selama ini paling rahasia, tapi rupanya ingin juga dikenal dunia. Ia menyaksikan ribuan calon syuhada sedang belajar di perguruan maut. "Seandainya mereka tidak menyandang Kalashnikov, mengenakan baju seragam tebal kasar, dan berbrewok, anak-anak muda itu pastilah mirip siswa berwajah damai yang sedang mengikuti kuliah," tulis Selhami sedikit sentimental. Pemimpin organisasi Al-Amal Al-Islami, Muhammmad Taki al-Mudarissi, paham sekali akan potensi berkorban yang dikandung setiap jiwa muda. Dengarlah apa yang dikatakan Munir, 23, asal Tunisia. Setelah digembleng selama enam bulan, Munir, yang semula datang ke Iran untuk meraih gelar doktor ilmu teologi, sekarang bercita-cita lain. "Saya bersyukur kepada Allah yang telah menghantarkan diriku ke jalan yang benar ...," katanya. "Sekarang saya tidak takut lagi kepada maut. Jika dengan mengorbankan nyawa saya dapat membebaskan sesama makhluk, maka sedetik pun saya tidak akan ragu-ragu." Apa yang diajarkan Mudarissi sampai Munir bersikap semantap tu? Al-Amal yang dipimpin Mudarissi menghimpunkan anggota dari aneka bangsa: Iran, Irak, Bahrain, Afghanistan, Marokko, Tunisia, Aljazair, Malagasi, Nigeria, Zaire, dan Afrika Selatan. Mereka itu kebanyakan datang ke Iran setelah kemenangan revolusi Islam. Ada yang digerakkan untuk menuntut ilmu, bertualang atau sekadar mencari uang. Tapi setelah dituntun kaum mullah (ulama), yang siang malam menyeru-nyerukan pujian akan kebajikan agama Islam, maka jadilah mereka kaum beriman dengall keyakinan mutlak. Sesederhana itukah proses menciptakan pasukan bunuh diri? Hojatoleslam Mohammad Bakr al-Hakim yang membawahkan Mudarissi cepat membantah. "Sungguh keliru memakai istilah bunuh diri. Yang mereka lakukan ialah mati syahid, yang dibolehkan agama, bila tidak tersedia upaya lain untuk mengalahkan musuh. Memang demikianlah keadaan sekarang ini. Saddam Hussein bersama pelindungnya dari Amerika dan Prancis menggunakan senjata mutakhir untuk memusnahkan kami. Kami membalas dengan alat yang tersedia. Nyawa pejuang kami merupakan senjata ampuh. Ini bukan soal keberanian, melainkan soal iman . . ." Menurut Salhemi, organisasi-organisasi itu sengaja memilih remaja, antara 10 dan 25 tahun, sebagai kader. Sebab, anak-anak itu lebih mudah dibentuk dan dididik. "Mereka berjiwa murni," ucap Syekh Mohammad Medhi Al-Asefi, 50, pemimpin Addawa, lembaga tertua yang paling sempurna strukturnya. Andai kata Salhemi benar, jaringan organisasi syuhada Iran justru dikoordinasikan oleh organisasi pucuk yang namanya Dewan Tertinggi Revolusi Islam Irak. Didirikan tahun 1981 - kini dipimpin oleh warga negara Irak yang menyeberang ke Iran, Mohammad Bakr al-Hakim - dewan itu bertujuan menegakkan rezim gaya Khomeini di Baghdad. Dewan ini membawahkan tiga organisasi: Mujahiddin (didirikan di Teheran, 1980) AlAmal Al-Islami (didirikan di Teheran, 1979) dan Addawa (didirikan di Najaf, 1956). Kegiatan dcwan ini luas sekali - mulai dari penyebaran agama sampai kepada mengangkat senjata. Jika Amal dan Mujahiddin lebih memusatkan diri pada aksi-aksi militer, maka Addawa, sejak 1980, sepenuhnya memusatkan diri pada kegiatan politik. Perubahan sikap ini tidak disenangi Amal dan Mujahiddin yang ingin memanfaatkan struktur organisasi Addawa untuk kegiatan militer. Mengingat Addawa punya cabang yang terbesar di seluruh dunia dan, barangkali, ada benarnya berita yang menyatakan bahwa Addawa-lah yang melancarkan aksi peledakan kedutaan AS di Kuwait. Salhemi bukan tidak bertanya mengenai pelaku pemboman di Kuwait, tapi ia tetap tidak memperoleh keterangan pasti. "Mereka bergerak dengan nama Islam. Bukankan ini cukup?" itulah jawaban yang diterimanya. Taki Mudarissi, yang memimpin AlAmal, membanggakan dua syuhadanya Abd al-Hussein Abu Lahma dan Ibrahim Salman, yang menghancurkan gedung dinas inteligen dan kantor administrasi AB Irak di Baghdad, November silam. Sementara itu, Mujahiddin, yang dipimpin Aziz al-Hakim, adik kandung Mohamad Bakr al-Hakim, tidak menyembunyikan kehendaknya untuk mengacaukan seluruh pemerintah Islam dari tepi Atlantik sampai Teluk Arab. Ada beberapa kamp latihan Mujahiddin: Ahwaz, Badegan, Tabriz, Qom, dan Isfahan. Di sini para pemuda Mujahiddin mengenakan Ikat kepala merah, dan tanda pengenal pasukan berani mati. Pelatih militernya berasal dari Iran, Pakistan, Afghanistan, Korea Selatan, dan Lybia. Bagaikan dimabuk obat bius, mereka memuji-muji Khomeini," tulis Sahemi. Dalam masyarakat Islam Syiah, puja dan puji adalah bagian tak terpisahkan dari ketaatan kepala sang imam (Khomeini). Ketika bertemu Mudarissi, Salhemi juga menyaksikan bagaimana kagum dan khusyuknya kaum syuhada itu mendengarkan khotbah sang pemimpin. Jika pemimpin kaliber Mudarissi sudah sedalam itu pengaruh dan pesonanya, apalagi Imam Khomeini. Agaknya, hanya mereka yang sejak lahir dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan Barat akan terbebas dari pengaruh semacam itu. Ataupun mereka yang alam pikirannya terbentuk secara seimbang antara pendidikan agama dan pendidikan Barat modern seperti Abul Hasan Bani Sadr dan Masshud Rajavi (lihat: Ada Dua Pesan Islam). Adapun keimanan seorang penganut Islam Syiah, akarnya jauh terhunjam dalam sejarah berlumur darah dari kalifah Ali dan kedua anaknya, Hassan-Hussein. Dikatakan, Ali dan Hussein merupakan korban perlambang ketidakadilan politis dan kesediaan untuk berkorban. Perlambang dan maknanya ini sudah sedemikian menyatu dalam tradisi umat Syiah di Iran, hingga peringatan terbunuhnya Hussein di Karbala berkembang jadi upacara puja-puji, doa, tangis, mengusung peti mati, memukul-mukul dada dan punggung. Pokoknya, menyiksa diri. Dari himpitan emosional seperti ini wajar bila timbul kehendak yang besar untuk berkorban dan menderita sebagai tanda taat kepada Allah. Sedangkan bagi pengikut Hussem, maut adalah Jalan terbaik untuk memisahkan diri dari dunia yang penuh bencana . . . Tapi maut ditemukan bukan lewat sikap pasif, sebaliknya dengan tindak nyata - persis seperti yang dilakukan para syuhada muda anggota Amal dan Mujahiddin! Terlepas dari penafsiran agamawi umat Syiah, perang Teluk yang dipertahankan Iran sampai sekarang agaknya lebih- tepat bila ditinjau sebagai peristiwa politik murni. Begitu pula segala upaya memperkenalkan gagasan revolusi Islam ke seantero dunia. Untuk satu tujuan politik menggulingkan rezim Saddam Hussein, misalnya, penugasan para syuhada ke Baghdad di mata Teheran bisa saja dianggap sah. Juga upaya mengacaukan semua pemerintah Islam seperti dikatakan Aziz al-Hakim. Namun, masih ada tokoh moderat seperti Bani Sadr dan Masshud Rajavi yang mengkhawatirkan nasib rakyat di negeri itu. Khomeini memang telah menunjukkan perhatian yang cukup besar pada kaum miskin, tapi rencana perbaikannya sering kandas di tangan aparat. Dalam lima tahun berkuasa yang telah ditampilkan Khomeini adalah satu Iran yang gegap gempita, dan selalu siap berkelahi. Musuh seperti dengan sengaja dicari-cari .... Menurut inteligen AS, ada tanda-tanda sejumlah helikopter dan pesawat terbang telah dipindahkan lebih dekat ke arah satuan militer Amerika di Timur Tengah. Gerakan serupa itu terlihat di Iran, Syria, dan Libanon. Iran, menurut sumber itu, bahkan sudah memindahkan sebagian jet tempur dan pesawat ringan jauh ke pantai selatan. Kini, yang dikhawatirkan AS adalah munculnya penerbang kamikaze Iran yang menabrakkan pesawatnya ke tubuh armada AS, baik yang berlabuh di lepas pantai Beirut maupun di sekitar perairan Teluk. Tapi itu kontan dibantah keras oleh Iran. Dengan nada berang, Teheran justru menyerukan dunia melancarkan boikot terhadap Olympiade Los Angeles, Juli depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini