Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Mishima, juga bishma

Menurut Mishima, keindahan pasukan bunuh diri diakui dalam arti spiritual & ultraerotik. Mishima mati dengan menjalankan seppuku. Di Indonesia kematian yang indah dapat dilihat dalam lakon Bharatayudha. (ctp)

11 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIAN lama orang hidup, kian buruk saja mereka jadinya." Mishima Yukio mengatakan itu di tahun 1966. Empat tahun kemudian, pengarang yang menakjubkan itu membunuh diri, secara spektakuler. Usianya baru 45. Tubuhnya, yang ia rawat dengan olah raga yang tekun - hingga otot-ototnya bergelombang bagus - masih nampak sempurna ketika ia merobek isi perutnya sendiri. Beberapa detik kemudian, seorang pengikutnya yang setia, yang siap di belakangnya, memenggal leher penulis novel Kinkakuji itu, putus 4 kah pancung. Kematian, nampaknya, telah jadi semacam teater. Mishima, bersama sejumlah anak buahnya yang telah terlatih secara militer, pagi itu menyerbu sebuah markas tentara. Ia lalu berpidato di tcmpat ketinggian, tentang Jepang yang kehilangan keagungan klasik. Tak lama berikutnya, di hadapan perwira tinggi yang ia tawan dimarkas itu, Mishima menjalankan seppuku secara tuntas. Ia roboh dalam baju seragam yang gagah dan berlumur darah - seakan rekonstruksi adegan puncak sebuah epos besar yang tak ditulis dengan kata-kata. Adakah ini estetika yang telah menenggelamkan segala-galanya? Konon, di perempat abad ke-19, ada seorang Prancis yang menulis, "Kita hidup dalam zaman kematian-kematian yang indah." Mishima mungkin sedang mencoba menggapai itu kembali untuk Jepang, dirinya, dunia. Bagaimanapun, seppuku adalah cara kematian dalam satu stilisasi, sebagaimana atletik adalah sejumlah regangan fisik dengan gaya, style. Tradisi Jepang penuh dihiasi oleh tergeraknya manusia kepada komposisi atau bentuk yang sublim. Mishima ingin melanjutkannya, seutuhnya, dan dengan tafsirannya sendiri. Mungkin karena itu ia memuja mereka yang gugur sebagai pilot kamikaze dalam Perang Dunia II - lebih dari rasa hormatnya kepada Tenno, sang Maharaja Jepang. Dalam novel pendeknya, Eirei no koe (Suara Mereka yang Heroik dan Mati, 1966), dikisahkan bagaimana arwah para pilot pasukan bunuh diri itu mencerca Tenno. Paduka Maharaja telah memaklumkan bahwa dirinya bukan dewa, seperti yang dipercaya orang selama ini, dan itulah kesalahannya. Dengan menyatakan diri sebagai manusia biasa, Tenno Heika telah membikin konyol kematian mereka yang menabrakkan pesawat sampai tewas ke kubu musuh - para pilot yang membisikkan nama Tenno dengan tulus sebelum ajal. Dengan Tenno tampil sebagai manusia biasa, kehampaan hidup modern pun menggantikan makna yang pernah didapat orang Jepang. Manusia modern, seperti dikcluhkan Mishima dalam Taiyo to tetsu (Matahari dan Baja, 1965), telah kosong dari hasrat untuk hidup "secara indah" dan mati "secara indah" seperti yang diidamkan orang Yunani kuno. Apa yang membedakan kematian yang indah dan tak indah, yang heroik dan yang dekaden? Jawab Mishima: dalam hal ada atau tidaknya suatu pengertian kehormatan, dalam "ada atau tidaknya estetika formal dari kematian." Pada akhirnya, tindakan juga yang bisa merealisasikannya. Maka, keindahan pasukan bunuh diri, menurut Mishima, bahkan tak hanya diakui dalam arti spiritual, tapi juga "ultracrotik ". Tapi berbicara tentang pasukan kamlkaze dengan penuh pesona seperti itu, berbicara tentang keberanian dan keyakinan yang teguh seperti itu, telah melupakan satu hal: orang-orang yang menderita dan tak bersalah. Dalam hal Perang Dunia II, jumlahnya bisa beratus juta. Bagaimanapun, pilot yang berani itu pada akhirnya toh juga sebagian dari mesin perang yang brutal. Di Asia dan Pasifik, gairah keindahan Mishima sama terdengarnya seperti mimpi buruk. Sebab, apa arti iman terhadap Tenno itu bagi kita, kalau bukan fanatisme yang paling berbahaya dan gampang? Jika ada kematian yang benar-benar agung dan indah, barangkali itu tcrjadi menjelng hari berakhir dalam lakon Bharatayudha. Bhisma, panglima tua yang gagah itu, tahu bukan saja ia akan kalal dan mati, tapi juga tahu bahwa ia tidak bertempur untuk pihak yang benar. Roboh berbantalkan panah yang menembusi tubuhnya, ia terus menghantui kita. Kekuatan besar apakah yang menyebabkan ia berkorban begitu rupa dalam cerita sedih itu? Kita tak sepenuhnya tahu. Kita hanya mengerti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus