Indonesia terpilih sebagai ketua dan tuan rumah KTT Nonblok ke-10, tahun depan. TAHUN 1992 adalah tahun sibuk. Setidaknya bagi Indonesia. Itulah tahun pemilihan umum ke-6 selama Indonesia merdeka. Pada tahun itu pula Konperensi Tingkat Tinggi Nonblok akan diselenggarakan di Indonesia. Dalam Konperensi Tingkat Menteri Luar Negeri di Accra, Ghana, yang penutupannya ditunda sampai Sabtu pagi pekan lalu, Indonesia terpilih sebagai ketua dan tuan rumah KTT Nonblok ke-10 secara aklamasi. Saingan terdekatnya, Nikaragua, mengundurkan diri dari pencalonan dan berbalik mendukung Indonesia. Ini tentu bisa dilihat sebagai prestasi politik luar negeri Indonesia. Maka, komentar bahwa Indonesia selama ini bersikap low profile di Gerakan Nonblok tak sepenuhnya benar. Belakangan ini, diplomasi Indonesia dalam melakukan pendekatan pada anggota Nonblok lainnya cukup gencar. Itu termasuk pendekatan pada Nikaragua. Bahkan, sebelum menuju ke Accra, Menteri Luar Negeri Alatas mendatangi negara kunci di Afrika Timur: Tanzania. Negara ini memegang peranan terhadap negara-negara "garis depan" di Afrika, seperti Mozambik dan Gambia. Jauh sebelumnya ada juga kunjungan ke Iran dan Yordania. Menurut sumber TEMPO di Departemen Luar Negeri Indonesia, sebenarnya usaha-usaha ini sudah bertahun-tahun digarap. Mulai agak serius sejak Konperensi Nonblok Tingkat Menteri di Luanda 1985. Sayangnya, waktu itu Zimbabwe, sebagai negara "garis depan", berminat. Indonesia pun mundur. Lalu pada Konperensi Nonblok tingkat menteri di Nicosia, Siprus, ternyata Nikaragua sangat berminat. Karena tak bisa diputuskan Nikaragua atau Indonesia, dipilihlah alternatif ketiga: Yugoslavia. Sikap Nikaragua di Siprus itu membuat Indonesia tak cepat-cepat menanggapi, ketika negeri di Amerika Tengah ini menghubungi Perwakilan Tetap Indonesia di New York untuk mengundurkan diri dari pencalonan. Baru setelah Menteri Alatas bertemu dengan Menteri Luar Negeri Nikaragua Ernesto Leal Sanchez, beberapa jam sebelum sidang dibuka di Accra, permasalahannya menjadi jelas. Menurut Sanchez, negerinya masih dalam proses rujuk nasional, dan itu bukan tugas yang ringan mengingat perang saudara baru usai. Karena itu, Nikaragua mau menunda pencalonannya, menjadi tuan rumah pada KTT Nonblok ke-11, tahun 1995 nanti. Di samping itu, keadaan ekonomi dalam negeri yang morat-marit dan belum tersedianya fasilitas yang memadai merupakan alasan kuat untuk mundur dari pencalonan. Kesepakatan anggota Nonblok memilih Indonesia bisa dikatakan sebagai pengakuan tak langsung bahwa perkembangan ekonomi Indonesia membaik, kata sumber TEMPO. Dan, itu tadi, politik luar negeri Indonesia dinilai konsisten. Konon, salah satu sikap Indonesia yang dipuji adalah ketika Perang Teluk antara Amerika-Sekutunya dan Irak. Begitu banyak tekanan datang, tapi Indonesia tetap konsisten mempertahankan prinsip Nonblok itu. Belum lagi dalam hal anti apartheid dan masalah Palestina. Kini, menurut Ali Alatas, sebagai ketua Gerakan Nonblok tugas utama Indonesia adalah bagaimana membangun dan menumbuhkan konsensus bukan hanya pada masalah-masalah politik, meski masalah politik tetap juga penting. Soal Kamboja, antara lain. Nasib negeri ini dalam KTT Nonblok memang sering sial. Dahulu pernah kursinya di Gerakan Nonblok diisi Pangeran Sihanouk, tapi kemudian lebih sering dikosongkan. Ketika KTT Nonblok di New Delhi, umpamanya, PM Indira Gandhi tak mau mengundang salah satu pihak. Dengan terbentuknya Dewan Nasional Tertinggi Kamboja, bagi Indonesia tampaknya jelas siapa yang bisa dikirimi undangan. Sihanouk, setelah lama tak menghadiri KTT Nonblok, kemungkinan besar tahun depan kembali muncul. Kalau dilihat situasi kini, meredanya perang dingin, mencairnya blok Timur. Gerakan Nonblok mungkin sedikit diremehkan. Masalahnya, seperti kata Alatas, bisakah Gerakan Nonblok punya wibawa dalam masalah-masalah yang relevan dengan zamannya. Soal bolongnya lapisan ozon karena teknologi dari negeri maju yang belum sepenuhnya dinikmati negeri berkembang, soal hak asasi, dan juga globalisasi ekonomi (lihat Perjalanan 30 Tahun). Satu kesempatan Indonesia membuat sejarah. Rudy Novrianto dan Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini