Mulai ada warna-warni di Teheran, musik Barat terdengar, peran swasta mulai diangkat. Tapi kesenjangan tetap dijaga agar tak mencolok. IRAN mulai berwajah lebih moderat. Salah satu hal kecil yang menyiratkan perubahan itu, anak-anak sekolah tak hanya dibolehkan memakai pakaian warna hitam atau yang gelap. Biru, kaki, cokelat, sudah dibolehkan mulai awal bulan ini. Untuk melihat perubahan itulah, pertengahan Agustus lalu, selama 10 hari, wartawan TEMPO Wahyu Muryadi mengunjungi negeri para mullah itu. Berikut laporannya. SUASANA hitam-hitam tampak di mana-mana. Dari bandara internasional Mehrabad, Teheran, sampai kota suci Qum. Inilah cara negeri Syiah memperingati bulan Asyura. Suasana Asyura itu ternyata berkepanjangan sampai memasuki bulan berikutnya, bulan Shafar yang jatuh di pertengahan Agustus lalu. Itu memang hari penting bagi Syiah. Pada bulan itulah Imam Husain, imam ketiga setelah Sayidina Ali dan Imam Hasan, dibantai di Karbala. Lihatlah, pilar-pilar di masjid-masjid, juga di kantor-kantor, dililit kain hitam. Di dindingnya, dipasang spanduk hitam, dengan ucapan duka: Ya Aba Abdilllah, Ya Husain. Maklumlah, dari 50 juta penduduk Iran sekarang, sekitar 98% adalah pemeluk Syiah. Sisanya Yahudi, Kristen, Zoroaster, Armenia, Chaldea, serta Assyria. Suasana hitam-hitam itu tambah hitam karena para wanita Iran di jalan-jalan pun kebanyakan memakai hijab hitam, meski tampaknya aturan tak lagi seketat di masa Imam Khomeini. Misalnya, di Teheran, banyak wanita memasang kerudungnya hingga tetap saja rambut depannya muncul. Lalu di bawah hijab tak selalu pakaian berwarna gelap, tapi warna-warni, kadang-kadang malah blue jeans. Dan di musim panas ini, di antara hidung-hidung mancung itu, bertengger kaca mata gelap Yves Saint Lauren, Cartier, antara lain. Bagi pria Iran, ketentuan berpakaian lebih longgar. Jas dan kemeja lengan panjang (lengan pendek dimakruhkan) macam-macam warnanya. Hanya saja, tak seorang pun berdasi. Pelengkap jas di negeri Barat itu dilarang dipakai di negeri yang panas ini. Dan toko-toko pakaian memang tak menjual dasi. Tapi, di luar cara berpakaian, di negeri para mullah ini hak sosial wanita diakui sama dengan pria. "Semua pekerjaan halal terbuka bagi wanita sebagaimana pria," kata seorang pejabat di Departemen Luar Negeri Iran. Menuntut aktif dalam kegiatan sosial, dan berpolitik, juga tak diharamkan bagi wanita. Sekretaris departemen penerangan adalah wanita. Di bagian pemeriksaan imigrasi di bandara domestik dan internasional, justru karyawan wanita lebih banyak daripada pria. Di jalan-jalan di Teheran, berseliweran Peykan yang bikinan Iran, lalu Renault, Peugeot, BMW, dan Mercy yang dikemudikan oleh wanita. Hiburan di negeri yang sudah 12 tahun berevolusi ini pun belakangan mulai semarak. Bioskop di Teheran begitu mencolok, dibandingkan bangunan sekitarnya, dengan poster-poster film dipajang di dindingnya. Sinema, begitu orang Iran menyebut bioskop, umumnya memutar film Persia atau India. Tapi ada juga film Italia dan Jepang. Semua film asing di-dubbing bahasa Persia. Dan ternyata, di dalam gedung bioskop penonton pria dan wanita tak dipisahkan tempat duduknya. Televisi Iran, selain menayangkan musik tradisional dan seni drama bernapaskan Islam, juga menayangkan film samurai Jepang, yang juga di-dubbing bahasa Persia. Seks dan kekerasan, di film maupun TV, pasti disensor. Musik Barat, yang pernah dilarang pada zaman Khomeini, belum lama ini dihidupkan lagi. Di Hotel Grand Azadi, Teheran, jemari pianis Arzoomanan begitu lincah mengalunkan Killing Me Softly, My Way, dan lagu romantis lainnya, setiap malam. "Baru empat bulan saya boleh main di sini," kata Arzoomanan. Bila Arzoomanan istirahat, musik tetap mengalun lewat pita kaset. Puluhan bule, umumnya pengusaha yang membuka bisnis di Teheran, menikmatinya di lobi hotel berbintang lima yang dindingnya bertuliskan Down with USA itu. Di toko-toko, yang banyak dijual rekaman musik klasik, dan kebanyakan karya Beethoven. Di lobi itu asap mengepul, dan antara lain berasal dari rokok putih buatan Iran sendiri. Yakni TIR atau Tobacco Islamic Republic of Iran. Rokok impor banyak: Marlboro dan Kent, antara lain. Di kota suci Qum, yang laris justru rokok impor itu. Memang tak tercium bau minuman keras. Yang terlihat cuma soft-drink. Pepsi dan Coca-Cola termasuk minuman favorit remaja Teheran. Belakangan ini Iran mencoba menghidupkan turisme. Dua tahun lalu dibentuk Organisasi Turis Internasional Azadi. Organisasi ini kini punya 59 hotel, di antaranya empat hotel bintang lima. Hasilnya, tahun lalu, masuk sekitar 92.000 turis dari Eropa Barat dan Timur, Asia Selatan dan Barat, Amerika Serikat dan Latin. Hingga 1994 nanti, diharapkan ada sejuta turis. Menyambut arus turisme ini pemerintah membangun dan membenahi sejumlah monumen. Di pinggiran Teheran, setelah keluar dari bandara Mehrabad, misalnya, ada monumen Azadi (kata itu artinya kemerdekaan) yang tampak gres. Penghijauan digalakkan, sampai di perbukitan kering yang dijejali rumah susun. Di bawah deretan pohon di pinggir jalan utama, air selokan meluncur deras. Taman-taman rekreasi dan patung-patung dipercantik. Ada bekas istana Syah Reza Pahlevi di Niavaran seluas 126 ha yang kini dijadikan museum rakyat. Halaman depan istana yang tengah dalam perawatan itu masih menyisakan patung Syah Iran. Tapi tinggal sepatu larsnya saja setinggi dua meter. Rumah Permaisuri Farah Diba di Teheran disulap menjadi museum permadani. Semua kebijaksanaan itu tak lepas dari Rencana Lima Tahun Pembangunan Nasional yang diarsiteki oleh Presiden Rafsanjani, yang baru tahun ini disetujui oleh parlemen. Pada prinsipnya, pembangunan diarahkan untuk membantu kaum lemah, dengan terus memacu bisnis swasta. Ide Rafsanjani, kata Ayatullah Amid Zanjani, oleh kalangan liberal dituding pro-sosialisme, oleh kelompok garis keras dinilai kapitalistis. "Padahal, ide ini berprinsipkan Islam," kata ketua komisi hukum parlemen Iran ini. Dalam suasana bisnis yang lebih dipercayakan pada swasta, umumnya lalu muncul semangat konsumerisme. Untuk tetap menjaga agar kesenjangan kaya-miskin tak mencolok, pemerintah "menekan konsumsi serendah mungkin," kata Dr. Ali Farhandi, ahli ekonomi lulusan Texas University, AS, yang kini menjadi direktur Pusat Pelatihan Perbankan. Barang impor yang bukan kebutuhan pokok --misalnya alat-alat elektronik -- kena pajak tinggi. Sementara itu, untuk mengatrol tingkat hidup kaum ekonomi lemah, dikeluarkan kupon potongan harga untuk kebutuhan pokok, dengan korting sampai 50%. Cara lain menekan kesenjangan kaya-miskin, perbandingan gaji pegawai pemerintah terendah dan tertinggi tak lebih dari 1:7. Kongkretnya, gaji terendah 30 ribu rial, tertinggi 200 ribu rial. Bila soal kesenjangan diatur cermat, soal beragama di negeri Syiah ini ternyata cukup "longgar" dibandingkan dengan negara Islam yang lain. Misalnya, salat Jumat dinyatakan tidak wajib. Tapi, salat Jumat di halaman Universitas Teheran, pertengahan Agustus lalu, dihadiri sekitar sejuta umat. Di Iran, Jumatan bisa sampai lima jam. Maklum, sebelum khotbah resmi, ada serangkaian pidato pejabat pemerintah tentang pembangunan dan politik. Presiden Rafsanjani, Ketua Mahkamah Agung Ayatullah Muhammad Yazdi, termasuk para petinggi yang terdaftar sebagai khatib. Dari salat Jumat ini, di negeri yang mulai lebih moderat ini, masih saja berkumandang yel-yel anti Amerika, Israel, dan Sad- dam Husein.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini