Di Zavidovo, sekitar 150 kilometer sebelah utara Moskow, Tuhan menciptakan kecantikan yang mencengangkan di ujung aliran Sungai Volga dan Sungai Sosha. Di atas tanah seluas 125 ribu hektare, memancarlah mata air yang bisa dicecap langsung dari sumbernya, hutan-hutan perburuan yang tetap menghijau di penghujung musim panas, serta puluhan jenis mamalia yang mondar-mandir dengan aman, tanpa khawatir pada pemburu liar. Penduduk setempat bahkan percaya, keindahan Zavidovo--di mana para presiden Rusia biasa menghabiskan tetirah musim panas mereka--bisa mendatangkan keajaiban tiba-tiba, seperti dalam dongeng kanak-kanak.
Keajaiban inilah yang mungkin tengah dicoba oleh Perdana Menteri Inggris Tony Blair di Zavidovo. Akhir pekan silam, Blair dan Putin melewatkan akhir pekan bersama di sana, sembari Blair mengemban sebuah tugas penting: merayu Putin agar Rusia tidak memveto niat Amerika Serikat dan Inggris memerangi Irak di Dewan Keamanan PBB. Blair tidak menemukan keajaiban itu. Putin dengan tegas telah menolak bujukan Blair. Toh perjalanan ”lobi” ini tetap saja penting setelah Presiden George W. Bush mendapat kemajuan di Washington. Jumat dini hari pekan silam, para anggota Kongres AS akhirnya bersetuju memberikan restu kepada Bush untuk menghajar Irak dengan kekuataan senjata bila langkah itu dipandang perlu.
Namun restu di atas bukan tanpa sandungan. Tiga anggota Dewan Keamanan PBB—Cina, Rusia, dan Prancis—masih menolak keras niat Amerika memerangi Irak. Sandungan lain yang tak kalah beratnya bagi Bush adalah tentangan hebat dari dalam negeri. Bahkan sebagian penduduk Amerika yang masih mengalami trauma oleh tragedi 11 September 2001 mengutuk rencana Presiden tersebut yang ingin mengulangi sepak terjangnya di Afganistan dulu.
Demo-demo akbar sepanjang pekan ini jelas menunjukkan satu hal: kalaupun Bush berhasil memikat hati Kongres, ia belum tentu bisa memikat hati anak negerinya. Dan tiket menuju ”Perang Teluk Ketiga” di Irak—jika perang akhirnya benar-benar meletus—tak akan ia peroleh dengan gratis. Tengoklah apa yang terjadi di Central Park di New York pekan lalu (lihat Mereka Bersumpah di Central Park). Puluhan ribu rakyat AS mengusung kampanye anti-perang yang dicanangkan Bush.
Sekitar 25 ribu orang berkumpul di East Meadow, lapangan rumput di bagian timur Central Park, Manhattan, New York, pada Minggu, 6 Oktober. Pada pekan yang sama, 10 ribu orang memadati jalan-jalan San Francisco, Los Angeles, Portland, Chicago, serta beberapa kota lainnya. Semuanya meneriakkan jargon senada: meminta Bush melupakan impian perangnya itu.
Seorang perempuan tua mengangkat tinggi-tinggi poster bertuliskan ”Saya tak akan membiarkan anak si Bush tua mengirim anak saya ke medan perang”. Inilah aksi demonstrasi anti-perang terbesar sejak Perang Teluk 1991. Demo ini melibatkan artis, musisi, akademisi, penulis, kelompok kiri radikal, feminis radikal, pencinta lingkungan, organisasi mahasiswa, komunitas imigran, dan veteran Perang Vietnam. ”Goerge Bush tidak berbicara dan bertindak atas nama kami,” kata Mary Lou Greenberg, salah seorang panitia demonstrasi.
Pernyataan inilah yang dikumandangkan aktivis anti-perang di seantero AS. Bush hanya mengikuti kehendaknya sendiri mengerahkan tentara dan mesin perang AS menyerbu Irak. Di San Diego, Los Angeles, seorang aktivis yang pernah berkunjung ke Irak pada Mei 1997 berkisah di hadapan massa bahwa ia melihat sendiri penderitaan rakyat Irak akibat sanksi ekonomi setelah Perang Teluk 1991. ”Saya bertemu dengan rakyat biasa. Mereka sudah menderita akibat sanksi. Sekarang kita (AS) ingin mengebom mereka,” ujar Stephanie Jennings.
Ia menganjurkan kepada massa agar tidak percaya pada kebohongan propaganda yang ditiupkan oleh pemerintahan Bush untuk melegitimasi perang terhadap Irak. Juga, cerita bohong Presiden Bush tentang kemampuan Irak menghasilkan senjata pemusnah massal dalam waktu enam bulan mendatang sehingga harus dihabisi sekarang juga.
Stephanie Jennings tak sendirian menuding Presiden Bush menebar propaganda palsu. Jim McDermott, senator dari Partai Republik yang baru saja kembali dari Irak dua pekan silam, mencoba membuka mata 5.000 orang dalam aksi demo anti-perang di Seattle. Menurut McDermott, Presiden Bush telah menyesatkan rakyat Amerika tentang perlunya perang. ”Kita harus memberi tahu (Bush) bahwa dia tidak bisa memperolehnya dengan gratis,” kata McDermott, yang segera memperoleh julukan ”Jihad Jim” dari kaum konservatif pendukung perang.
Opini publik pun mengalami perubahan berarti. Jajak pendapat yang diterbitkan CNN-USA Today-Gallup Senin pekan lalu menunjukkan 53 persen responden mendukung serangan militer terhadap Irak untuk mendepak Saddam Hussein, sedangkan 40 persen responden menolak. Dukungan itu anjlok dari 74 persen pada akhir November tahun silam dan 61 persen pada Juni lalu. Tapi, ketika sampai pada pertimbangan jumlah korban yang bakal timbul, jumlah pendukung perang semakin berkurang. Sebaliknya, jumlah penentang perang meningkat mencapai 51 persen.
Maklum, sejumlah ahli sudah menghitung, kemungkinan korban bisa mencapai 10 ribu hingga 50 ribu jiwa. Hasil jajak pendapat CBS dan koran The New York Times juga menunjukkan kepercayaan pada Bush semakin merosot. Alasannya? Responden melihat Bush lebih asyik mengurus Irak ketimbang memberi perhatian kepada kondisi ekonomi, yang cenderung memburuk.
Bush memang tidak tinggal diam dalam menghadapi serangan dari massa jalanan. Dalam pidatonya di Cincinnati Selasa pekan lalu, Presiden kembali menjelaskan segepok argumennya dan tetap menggunakan faktor ketakutan dan ancaman kekerasan untuk mendorong dukungan bagi kebijakannya. Tapi teror Bush ini tak menciutkan niat senator anti-perang di Capitol Hill. Mereka berani menentang Bush dengan mengakali rancangan resolusi yang diserahkan Gedung Putih September lalu. Rancangan resolusi itu memberi Presiden Bush kekuasaan tanpa batas dan tanpa syarat untuk menindak Irak.
Sebaliknya, Partai Demokrat lewat Ketua Komite Luar Negeri Senat mengajukan proposal yang amat berbeda dengan proposal Gedung Putih. Dengan demikian, Bush tak bisa serta-merta menggunakan kekuatan senjata untuk mendongkel Saddam Hussein. Partai Demokrat mengkritik tajam kebijakan luar negeri Bush, yang dianggap nekat bertindak sendiri dan mengesampingkan peran internasional dalam isu Irak. ”Kebijakan luar negeri pemerintah congkak tanpa tujuan,” kata Senator Edward Kennedy.
Partai Demokrat lebih menyukai penggunaan jalur diplomatik untuk menangani Saddam Hussein. Untuk melemahkan argumen senator pendukung perang, para senator dari Partai Demokrat mengarahkan perdebatan ke hasil yang diperoleh dari serangan AS. Ujung-ujungnya adalah gambaran tentang banyaknya korban yang akan jatuh. Tak kurang dari Direktur Lembaga Intelijen Amerika (CIA), George Tenet, mengingatkan anggota Senat lewat suratnya. Dia mengatakan, Irak tak akan menggunakan senjata pemusnah massal kecuali diprovokasi oleh ketakutan pada serangan AS. Artinya, ”Dia (Saddam Hussein) akan menggunakan senjata pemusnah massal sehingga akan jatuh korban yang amat banyak,” ujar Jenderal John M. Shalikashvilli.
Toh, popularitas Bush di Kongres masih unggul. Hal itu terbukti dari hasil pemungutan suara di Kongres, Jumat silam. Mayoritas anggota memberinya izin untuk angkat senjata. Alhasil, tinggal dua hal yang masih harus diperjuangkan Bush sebelum meluncurkan rudal-rudal Amerika ke Teluk. Dia harus memenangi suara di Dewan Keamanan PBB. Dan yang tak kalah sulit: menutup kuping rapat-rapat terhadap ratusan ribu suara yang bergemuruh dari jalanan saat mereka mengutuk niat Bush untuk berperang.
Raihul Fadjri (Washington Post, AP, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini