Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berebut Mengelola Hutan

Sementara hutan negara menipis di Wonosobo, hutan rakyat malah menghijau. Masyarakat ingin mengelola hutan tersebut, tapi belum direlakan pemerintah.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lestari alamku, lestari desaku Di mana Tuhanku menitipkan aku
TEMBANG prihatin Gombloh tentang alam lestari kini menggema di Pegunungan Dieng di Jawa Tengah. Karena itu, segeralah luangkan waktu untuk datang ke sana. Kawasan wisata dengan candi-candi yang dibangun di abad kedelapan itu tinggal menunggu waktu untuk lenyap, berganti dengan pegunungan cadas. Tanda-tandanya sudah begitu jelas. Dibandingkan dengan lima tahun lalu, lokasi ini sepi dari kicauan burung, panas matahari begitu terik, banjir di setiap musim hujan yang membuat erosi begitu besar, hingga keindahan warna kuning-hijau Telaga Warna tak akan pernah muncul lagi. Warnanya tetap: keruh kecokelatan. Sebagai gantinya, sejauh mata memandang yang tampak hanya petak-petak tanaman kentang. Satu-dua pohon cemara berdiri malu-malu. "Dieng bukan lagi pegunungan, tapi lautan kentang," kata Sekretaris Desa Dieng, Haryono, prihatin. Beralihnya hutan pinus dan mahoni menjadi lahan kentang dimulai ketika terjadi "boom kentang" tahun 1997. Dengan harga Rp 3.600 per kilogram, warga seperti gelap mata. Semula mereka tak berani memasuki hutan lindung, tapi akhirnya hutan itu mereka babat untuk membuka lahan. Tak ada teguran dari pengawasnya, Perum Perhutani. "Malah oknum Perhutani yang mengajari warga menjarah hutan," ujar Parman, seorang petani. Maka, hutan 9.000 hektare itu dengan cepat menipis. Mereka mengambil lahan semaunya. Jumali, misalnya, bertanam di tanah seluas 5.000 meter persegi, yang memberinya lima ton kentang tiap panen. Saat itu warga Dieng panen uang. Segala barang pun diborong, tak peduli ada gunanya atau tidak. Ada mobil, kitchen set, bahkan lemari es. Kulkas? Untuk apa benda di wilayah dingin tersebut? Ya, kalau tidak berguna untuk menyimpan makanan kan bisa untuk menaruh baju? Hilangnya pepohonan juga terjadi di semua hutan negara di Kabupaten Wonosobo yang dikelola Perhutani. Seperti yang terjadi di Desa Gunung Tugel. Hutan negara yang mengitari desa itu nyaris sudah tidak ada lagi. Sama benar dengan namanya, Wonosobo. Wono itu hutan, sobo itu dijamah. Berapa parah kerusakan hutan di Wonosobo? Daerah di kaki Gunung Sumbing dan Sundoro itu mempunyai 19 ribu hektare hutan negara yang dikelola Perhutani. Dari luas sekian, menurut Kepala Bagian Kesatuan Pemangku Hutan Kedu Utara Perhutani, Gunawan, yang rusak hanya sekitar 3 ribu hektare. Itu pun, katanya, sebagian sudah mulai ditanami kembali. Penjarahan hutan milik negara itu menyebabkan Perhutani merugi Rp 11 miliar dalam tiga tahun terakhir. Klaim Perhutani ini dibantah anggota Dewan maupun petani—orang yang terlibat dalam perusakan hutan tersebut. Kata C. Krustanto, Ketua Komisi B DPRD Wonosobo, kerusakan hutan Perhutani mencapai 50-60 persen. Merebaknya penjarahan kayu itu tidak lepas dari sikap Perhutani sendiri. Program pemberdayaan masyarakat desa hutan yang selama ini mereka bangga-banggakan ternyata hanya manis di seminar-seminar. Masyarakat memang diperbolehkan menggarap lahan di sela-sela pohon dengan syarat ikut merawat pohon-pohon itu. Namun, saat pohonnya ditebang, hasilnya masuk kantong Perhutani. Masyarakat tidak kecipratan sama sekali, bahkan mereka harus menyetor 30 persen dari hasil tanaman garapan mereka kepada Perhutani. Sehingga, "Kami tidak merasa memiliki tanaman itu. Kalau punya hak milik, ya, kami akan ikut menjaganya," ucap Kepala Dusun Gunung Tugel, Sisrodin. Petugas Perhutani juga cenderung membiarkan penjarahan itu terjadi. Dulu, cerita Jumali, petani asal Desa Jojogan, mengambil kayu bakar saja harus izin mandor. Ketika tetangga-tetangganya mulai menjarah hutan, ia juga ikut-ikutan. Hasilnya, ia memiliki lahan seluas seperempat hektare. Ke mana sang mandor? Tidak ke mana-mana. Jumali boleh menggarap lahan itu tanpa membayar, tapi harus memberi uang sukarela kepada Pak Mandor. Keadaan ini tak sepenuhnya membuat petani bahagia. Mereka tahu, aliran uang dari kentang ini hanya sementara dan akan terhenti begitu kondisi lahan memburuk. Masyarakat berkeinginan membangun hutannya kembali. Kalau Perhutani mau menanami lagi, saran Sisrodin, sebaiknya masyarakat itu jangan hanya menanamkan dan memelihara saja tapi juga mendapat bagian dari hasil kayu itu. Kemampuan warga dalam menjaga hutannya sudah teruji. Ada 20 hektare hutan rakyat yang mereka kelola sendiri. Sementara hutan Perhutani meranggas, hutan rakyat di sekitarnya tetap merimbun, yang memberinya lima kali juara pertama tingkat nasional dalam pengelolaan hutan. Keinginan warga untuk mengelola hutan Perhutani didukung oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan akademis. Kelompok ini—plus demonstrasi masyarakat—berhasil mendesak DPRD dan Pemerintah Daerah Wonosobo mengeluarkan peraturan daerah tentang pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat, tahun lalu. Isinya, menurut Ronald M. Ferdaus, Direktur Eksekutif LSM Arupa, fasilitator dan regulator pengelolaan hutan ada di tangan pemerintah daerah, dan yang mengelola adalah masyarakat. "Perhutani bisa jadi mitra atau investornya," ujar Ronald. Namun, pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. Perhutani yang kehilangan sumber penghasilannya tentu saja menolak peraturan itu. Usaha untuk berdialog mentok. Akhir September lalu, riwayat peraturan daerah itu berakhir. Menteri Kehutanan setelah berkorespondensi dengan Menteri Dalam Negeri menganulir peraturan tersebut. Alasannya, bertentang dengan undang-undang yang ada. Selain itu, perubahan peruntukan dan fungsi hutan diatur pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Namun, Kamis 3 Oktober lalu, pihak yang terlibat dalam hutan Wonosobo itu sudah bertemu di Hotel Indonesia, Jakarta. "Dalam waktu dekat akan ditandatangani nota kesepahaman," kata Moqorrobin Thoa Sag, wakil rakyat yang membidangi masalah kehutanan. Wakil rakyat boleh berharap, nyatanya Bupati Wonosobo hingga kini belum menandatangani aturan pelaksana peraturan daerah itu. Selain itu, masih ada tarik-menarik antara konsep Perhutani dan konsep peraturan daerah. Meski sama-sama melibatkan masyarakat, "Bagi hasil yang diterima masyarakat dalam konsep Perhutani itu sangat kecil," kata Wakil Bupati Wonosobo, Kholiq Rief. Yang menjadi keprihatinan Ronald dari LSM Arupa, tinggal masyarakat Dieng yang selama ini sudah merasakan sedapnya uang. Perlu waktu lama agar mereka mau menghutankan lahannya dan mengganti dengan tanaman lain. Ada satu nasihat yang mereka berikan kepada Perhutani. "Aparat harus tegas. Kalau Perhutani punya ketegasan untuk menghentikan, masyarakat tidak akan berani," kata tokoh pemuda Dieng, Parman. Masalahnya, adakah ketegasan itu masih dimiliki oleh Perhutani, yang selama ini mendapat keuntungan dari ketidaktegasan mereka. Agus S. Riyanto, Imron Rosyid (Wonosobo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus