Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tampak Lumpuh pada Sampah

Timbunan sampah membuat rakyat Libanon marah kepada pemerintah korup. Tapi pemerintah memang sedang lumpuh.

7 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tumpukan sampah busuk bertebaran di jalanan Beirut, Libanon, dalam sebulan terakhir. Onggokannya bahkan setinggi orang dan sampai menutup jalan. Ini terjadi setelah pemerintah tak lagi memperpanjang kontrak dengan Sukleen, perusahaan swasta pengumpul sampah di kota itu. Tempat pembuangan akhir juga sudah melebihi kapasitas.

Sampah yang terbengkalai itu baru satu indikasi dari pemerintah Libanon yang lumpuh. Sebelumnya, negara itu kekurangan pasokan listrik. Janji Kementerian Energi untuk memasok listrik—"LebanOFF, LebanON"—pada 2010 tak terbukti. "Kami masyarakat yang lumpuh, pemerintah juga lumpuh. Ini mengerikan. Kita mulai melihat tanda-tanda keruntuhan negara," kata Menteri Kesehatan Wael Abu Faour, seperti dilansir The Washington Post, Ahad dua pekan lalu.

Sejak akhir perang saudara pada 1990, Libanon hanya memberi sedikit perhatian pada infrastruktur dan layanan publik paling dasar. Pemerintah kota tak berpengalaman menjalankan layanan publik sehingga alokasi anggaran digunakan untuk mengontrak swasta. Sukleen memonopoli peran itu sejak 1994 karena pendirinya adalah orang dekat mantan perdana menteri Rafic Hariri.

Selain itu, pemerintah berdalih sulit menyediakan layanan publik karena kedatangan lebih dari satu juta pengungsi Suriah tahun ini. Dengan pemerintahan yang tak berfungsi, Libanon mesti mendapat kucuran bantuan dan hibah internasional hingga US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun lebih.

Kini sudah lebih dari 450 hari Libanon tak punya presiden karena para politikus di parlemen terus-menerus cekcok. Mereka bahkan tak bisa membuat undang-undang pemilu baru dan justru memperpanjang masa jabatannya sendiri sampai 2017. Libanon, yang terdiri atas puluhan sekte keagamaan, membagi kekuasaan di antara mereka: presiden berasal dari Kristen Maronit, perdana menteri jatah Islam Sunni, dan ketua parlemen dari kelompok Islam Syiah. Tindakan milisi Syiah, Hizbullah, yang menyeret Libanon ke konflik Suriah, memperuncing konflik di parlemen.

Bosan dengan keadaan negerinya, ribuan warga berunjuk rasa di jalanan Beirut, berturut-turut pada Ahad dua pekan terakhir. Mereka menyebutnya revolusi "You Stink"—mengalamatkan sebutan pada pemerintah korup. Puluhan pemuda melempar botol dan batu ke polisi yang berusaha membubarkan mereka dengan gas air mata, penyemprot air, dan granat setrum. Mereka menuntut Menteri Lingkungan Mohamed Mashnuq mundur dan digelarnya pemilu parlemen. "Tuntutan kami bukan soal sampah lagi, melainkan lebih dari itu, kami ingin pemerintah korup ini mundur," kata Tarek, yang nama belakangnya dirahasiakan.

Dalam unjuk rasa lanjutan, mereka juga meminta pelaku kekerasan terhadap demonstran diungkap. Tapi polisi menuduh demonstran menggunakan molotov. Perdana Menteri Tammam Salam hanya membuat pernyataan untuk mendamaikan polisi dengan pengunjuk rasa. "Saya tak akan menutupi kesalahan siapa pun. Saya siap mendengar tuntutan kalian."

Analis senior dari International Crisis Group, Sahar Atrache, mengatakan demonstrasi ini cukup menekan pemerintah. "Sekarang pemerintah dan politikus tahu bahwa mereka dalam pengawasan," ujarnya, seperti dilansir ABC, Rabu pekan lalu. Kontrak pengangkutan sampah yang bulan lalu hendak diberikan kepada enam perusahaan yang dekat dengan elite batal akibat unjuk rasa.

Maha Yahya, pengamat dari lembaga analisis Carnegie Middle East Center, menyarankan pemerintah Libanon segera merespons protes. "Pemerintah bisa mulai dengan bergerak cepat dalam masalah lingkungan, seperti kontrak yang transparan dalam pengangkutan sampah."

Para politikus senior di parlemen menolak mundur dari posisi mereka. Ketua parlemen Nabih Berri telah meminta diadakannya pembicaraan antara Perdana Menteri dan para pemimpin partai dalam waktu dekat. Ide ini didukung Hizbullah, pemimpin partai Sunni utama Libanon, Saad Hariri, dan pemimpin sekte Druz, Walid Jumblatt. Meski demikian, hingga pertengahan pekan lalu belum ada tindak lanjut atas rencana itu.

Atmi Pertiwi (The Washington Post, BBC, ABC, The Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus