Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat puluh empat demonstran penentang rancangan undang-undang ekstradisi hadir di Pengadilan Magistrasi Timur, Hong Kong, Rabu, 31 Juli lalu. Ratusan orang berpayung tampak memberikan dukungan kepada mereka. Mereka didakwa dengan pasal melakukan kerusuhan dan memiliki senjata untuk keperluan menyerang di Sheung Wan pada Ahad, 28 Juli lalu. Mereka tak harus ditahan karena memberikan uang jaminan masing-masing sebesar HK$ 1.000 atau sekitar Rp 1,8 juta.
Meski tak ditahan, para demonstran itu tak akan sepenuhnya bebas. Mereka dikenai jam malam, kecuali satu orang yang bekerja di rumah anak-anak pada malam hari. Mereka juga dilarang meninggalkan Hong Kong, kecuali seorang pilot pesawat komersial, dan dikenai wajib lapor ke kantor polisi setiap pekan.
Menurut Joshua Wong, aktivis Gerakan Payung di negeri itu, penangkapan dan pengadilan ini akan membuat para pemimpin demonstrasi berkurang, tapi tak bakal menghentikan gerakan. “Kami berharap undang-undang ekstradisi dibatalkan dan jalan keluarnya hanya dengan pemilihan umum yang bebas,” kata Wong kepada Tempo, Selasa, 30 Juli lalu.
Peristiwa di Sheung Wan, tempat polisi dan demonstran terlibat dalam bentrokan hebat, merupakan rangkaian protes panjang rakyat Hong Kong yang menolak rancangan undang-undang ekstradisi usulan pemerintah di bawah pimpinan Carrie Lam, Kepala Eksekutif Hong Kong, sejak awal tahun ini.
Undang-undang baru yang diperkenalkan pada 3 April 2019 itu memungkinkan tersangka kriminal dikirim ke Cina daratan untuk diadili. Para penentang menyebut amendemen undang-undang itu akan menempatkan mereka di bawah kekuasaan pengadilan Cina, yang dikendalikan Partai Komunis dan punya catatan panjang melakukan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia lain.
Tak lama setelah peraturan tersebut diumumkan, tepatnya pada 28 April, puluhan ribu orang berbaris di depan gedung parlemen Hong Kong untuk menuntut pembatalan rencana amendemen itu. Di parlemen, usul tersebut juga ditentang para legislator dari kubu oposisi. Tapi Carrie Lam tetap mendorong amendemen.
Penentangan terhadap rancangan itu juga disampaikan sejumlah negara, termasuk Uni Eropa. Pemerintah Hong Kong lantas menawarkan konsesi, yaitu membatasi ruang lingkup pelanggaran yang tersangkanya bisa diekstradisi. Para penentang menilai tawaran itu tidak cukup. Pada 4 Juni, lebih dari 120 ribu siswa, alumnus, pegawai, dan orang tua dari 185 sekolah menengah menandatangani petisi menentang rancangan undang-undang tersebut. Dua hari kemudian, lebih dari 3.000 pengacara bersikap sama dengan turun ke jalan sembari mengenakan pakaian hitam. Protes lebih besar pecah pada 9 Juni.
Protes keras massa ini tak mengendurkan niat pemerintah. Pada 10 Juni, Lam menyatakan akan jalan terus dengan rancangan undang-undang itu, yang segera disambut dengan demonstrasi besar pada 12 Juni. Polisi menggunakan gas air mata, semprotan merica, dan peluru karet untuk membubarkan unjuk rasa besar tersebut, yang menyebabkan hampir 80 orang terluka.
Meski gerakan protes ini terkesan tanpa pemimpin, menurut Francis Lee, guru besar komunikasi di Chinese University of Hong Kong, ada lembaga yang pada awalnya terlibat membantu mengkoordinasi mereka, yaitu Front Hak Asasi Manusia Sipil (CHRF), koalisi lembaga swadaya masyarakat lokal. Tapi, Lee menambahkan, gerakan itu kemudian berkembang menjadi protes “sumber terbuka” (open source) karena melibatkan banyak pihak dan urunan dana yang terbuka.
Pertengahan Juni lalu, Carrie Lam mengumumkan penundaan pembahasan rancangan itu tanpa batas waktu. Dia juga mengeluarkan permintaan maaf tertulis dan secara pribadi atas sejumlah bentrokan yang terjadi. Tapi langkah ini tak memuaskan demonstran sehingga tak menghentikan unjuk rasa mereka.
Claudia Mo, salah satu tokoh demonstran, menyebut pernyataan Lam itu tak berarti. “Dia memberikan nol tanggapan,” ujarnya. Di Twitter, anggota parlemen dari kubu Demokrat, Ray Chan, mengatakan orang-orang akan kembali turun ke jalan “dalam jumlah besar” kecuali rancangan peraturan itu ditarik.
Para demonstran membuktikan ucapannya. Unjuk rasa hebat kembali terjadi pada 21 Juni, 28 Juni, dan 1 Juli. Salah satu puncaknya adalah pada 21 Juli lalu. Penyelenggara memperkirakan jumlah peserta lebih dari 400 ribu orang, sedangkan polisi mengatakan 138 ribu orang. Namun unjuk rasa yang semula berlangsung damai ini menjadi rusuh ketika mereka mulai menyemprotkan cat pada dinding dekat gedung kantor penghubung pemerintah Cina. Polisi turun tangan dengan menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.
Ketika hendak pulang, sebagian demonstran diserang segerombolan orang tak dikenal di stasiun metro Yuen Long. Sekitar seratus pria yang mengenakan kaus putih dan membawa pentungan menyerbu mereka.
Serangan itu menyebabkan setidaknya 45 orang terluka, termasuk wartawan dan anggota parlemen. Salah satunya legislator dari oposisi, Lam Cheukting. Ia terluka di bagian wajah dan harus dirawat di rumah sakit. Cheukting mempertanyakan sikap polisi yang mengabaikan panggilannya soal serangan itu. Anggota parlemen lain yang juga menjadi korban adalah Eddie Chu.
Chu meminta dilakukan penyelidikan terhadap anggota parlemen pro-Beijing, Junius Ho. Dalam sebuah video yang beredar luas, Ho terlihat bertepuk tangan dan memberikan acungan jempol kepada para penyerang. Dia juga berjabat tangan dengan mereka.
Polisi menduga para penyerang adalah triad, organisasi kriminal rahasia di Hong Kong, Makau, dan Cina. Namun demonstran curiga ada jejak pemerintah Cina di belakang gerombolan itu. Joshua Wong menyebut mereka “kelompok Beijing”. Polisi juga dinilai sangat lambat menangani kasus tersebut. Mereka membutuhkan lebih dari satu jam untuk mencapai lokasi, dan itu pun gagal menangkap para penyerang meski mereka berkeliaran di jalan-jalan sekitar stasiun hingga esok paginya.
Selain itu, seorang pejabat dari kantor perwakilan Cina dilaporkan telah mendesak warga setempat agar mengusir aktivis antipemerintah. Menurut dokumen yang diperoleh Reuters, Li Jiyi, Direktur Kantor Distrik Penghubung Pemerintah Pusat, berbicara soal ini dalam sebuah perjamuan komunitas untuk ratusan penduduk desa di daerah itu.
Menurut Li Jiyi, unjuk rasa tersebut telah menjerumuskan Hong Kong ke dalam krisis politik terburuk sejak negeri itu kembali ke tangan Cina dari pemerintah Inggris pada 1997. Ia meminta masyarakat melindungi kota ini dan mengusir aktivis antipemerintah. “Kami tidak akan membiarkan mereka datang ke Yuen Long untuk menimbulkan masalah,” ucapnya, disambut tepuk tangan meriah warga setempat.
Kepala Kepolisian Hong Kong Stephen Lo membantah anggapan bahwa polisi berkolusi dengan geng triad itu. Ihwal lambannya respons polisi, dia menyebutkan itu semata karena kurangnya tenaga kepolisian lantaran banyak yang dikerahkan ke Pulau Hong Kong untuk menangani protes. “Tenaga kami tersebar,” katanya.
Serangan tersebut justru memicu demonstrasi lanjutan pada pekan berikutnya. Joshua Wong memperkirakan sikap keras pemerintah dan polisi itu justru membuat demonstrasi terus berlanjut. “Saya yakin bisa sampai September dan Oktober,” tuturnya.
ABDUL MANAN (REUTERS, HONG KONG FREE PRESS, VOA, CNN, CAN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo