Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tangisan Bunda Paris Kami

Katedral Notre Dame, yang berusia lebih dari 800 tahun, terbakar hebat. Saksi bisu berbagai peristiwa bersejarah di Prancis.

20 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga menyaksikan terbakarnya Katedral Notre Dame di Paris, 15 April 2019./Rueters/Benoit Tessier

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Hasbian-syah Zulfahri sedang berada di restoran La Fontaine Saint Michel, Paris, saat dia mendengar suara keributan dari luar. Mahasiswa Indonesia di Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne ini semula cuek karena tengah bersantap malam dengan seorang koleganya, Senin, 15 April lalu. Dia melahap escargot, dada bebek, dan tiramisu yang tersaji di mejanya.

Tapi keributan terdengar makin riuh. Situasi bertambah ganjil ketika pelayan bergegas menutup pintu restoran. Pelayan itu mengatakan kepada para tamu bahwa ada api yang berkobar di gereja Katedral Notre Dame. “Tetap di sini, Tuan dan Nyonya. Ada insiden,” kata Hasbi kepada Tempo, menirukan ucapan pelayan itu dalam bahasa Prancis.

Restoran itu berjarak tak sampai setengah kilometer dari Île de la Cité, satu dari dua pulau di tengah Sungai Seine, yang membelah pusat Kota Paris. Pulau alami seluas 22 hektare itu adalah tempat Kate-dral Notre Dame berdiri selama lebih dari 800 tahun. Dari luar restoran, para tamu dan turis dapat melihat bagian depan katedral.

Hasbi heran karena dia mendapati katedral tertua di Prancis itu baik-baik saja saat melewatinya menuju restoran beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul 19.00. “Saya sempat melihat sekilas cantiknya arsitektur tipe gotik gereja tersebut,” ujar pemuda 27 tahun yang kuliah magister manajemen warisan budaya dunia di Paris sejak Agustus 2017 itu.

Menurut dia, pengunjung restoran awalnya ketakutan karena mengira sedang terjadi serangan teror. Tapi rasa waswas itu sekejap berubah menjadi kesedihan, bahkan sebagian menangis, setelah mereka mengetahui katedral dilalap si jago merah. “Begitu keluar dari restoran, kami dapat melihat beberapa bagian gereja hancur terbakar,” ucapnya.

Hari itu, restoran yang biasanya me-layani para pelanggannya sampai pukul 02.00 tersebut ditutup lima jam lebih awal. Ratusan orang berkerumun di emperan dan sekitarnya, menatap ke arah katedral. Di antara barisan mobil polisi, pemadam kebakaran, dan ambulans yang bersiaga, Hasbi bisa mendengar sayup-sayup warga Paris berdoa dan melantunkan lagu-lagu pujian.

GEREJA-gereja Katolik di penjuru Prancis membunyikan loncengnya, Rabu, 17 April lalu. Semua lonceng berdentang serentak pada pukul 18.50, menandai aksi solidaritas atas api yang melalap habis atap dan menara Katedral Notre Dame.

Cecile Deleville dengan mata sembap menatap reruntuhan katedral tempat dia beribadah selama 44 tahun terakhir itu. “Dia sangat cantik, dan sekarang langit bersedih,” kata perempuan paruh baya ini, seperti diberitakan CBS News. “Kejadian ini sangat mengejutkan bagi saya.”

Kebakaran Notre Dame sangat ironis karena terjadi justru saat monumen itu tengah dipugar. Peristiwa ini juga menyentak umat Katolik di negara berpenduduk 67 juta jiwa itu, yang bersiap menyambut pekan suci Paskah. “Ini tidak hanya mempe-ngaruhi semua umat Katolik, tapi juga semua orang di Prancis dan seluruh dunia,” kata James Martin, imam Yesuit yang acap mengunjungi Notre Dame.

Penyelidik menyatakan alarm pendeteksi kebakaran di dalam katedral pertama kali berbunyi pada pukul 18.20. Tapi tidak ada api yang ditemukan. Sekitar 23 menit kemudian, alarm lain berbunyi. Saat itu api telah menjalar dengan cepat dari atap kayu dekat bagian belakang katedral. Asap abu-abu kehitaman mulai mengepul dan terus membubung ke angkasa.

Tak sampai satu jam, api itu melahap puncak menara dari kayu ek yang telah berumur 150 tahun. Dari kejauhan, warga Paris dan para turis menyaksikan nyala api menjilati menara hingga roboh dalam 13 menit. Mereka berdoa dan menyanyikan lagu Ave Maria. “Api diduga berasal dari bagian bawah menara dan mungkin disebabkan oleh korsleting listrik di elevator,” tulis surat kabar Prancis, Le Parisien.

Lebih dari 400 petugas pemadam kebakaran sempat kesulitan menyemprotkan air sampai ke puncak menara yang menjulang setinggi 90 meter. Mereka gagal menyelamatkan atap dan menara, yang hangus dan lalu ambruk. Tapi mereka bisa memadamkan api setelah sembilan jam berjibaku dan mencegah api merusak struktur utama katedral yang berbahan batu.

Sebanyak 50 orang penyelidik terjun mengusut penyebab kebakaran. Mereka memeriksa lokasi bekas kebakaran serta mengorek keterangan 30 orang dari lima firma konstruksi yang mendapat kontrak merenovasi katedral. Sejauh ini, penyelidik menepis dugaan bahwa katedral sengaja dibakar. “Tidak ada indikasi yang menunjukkan hal itu,” tutur jaksa penuntut, Remy Heitz.

Kebakaran Notre Dame tidak menelan korban jiwa. Tapi kejadian ini memberikan pukulan telak bagi umat Katolik di Prancis, yang satu bulan sebelumnya dikejutkan oleh pengunduran diri Uskup Agung Lyon Kardinal Philippe Barbarin. Kardinal 68 tahun itu dihukum karena menutup-nutupi pelecehan seksual yang dilakukan Pendeta Bernard Preynat selama beberapa dekade di keuskupannya.

Insiden yang menimpa Notre Dame juga terjadi setelah beberapa gereja Katolik di Prancis menjadi sasaran aksi vandalisme dalam beberapa bulan terakhir. Untaian tahi manusia berbentuk salib ditemukan di salah satu gereja, sementara kepala patung Yesus didapati terpenggal di gereja lain. “Kebakaran ini tidak dapat dimaafkan,” ucap Karine Berger, yang bekerja di museum Centre Pompidou, tak jauh dari Notre Dame. “Hasil karya selama berabad-abad hancur dalam sehari.”

Bagi penduduk Prancis, yang lebih dari 60 persen di antaranya penganut Katolik, Notre Dame bukan sekadar situs suci untuk berdoa. Katedral yang pernah menjadi tempat penobatan 33 raja Prancis ini merupakan obyek wisata ikonik, selain Menara Eiffel, Museum Louvre, dan monumen Arc de Triomphe. Lebih dari 30 ribu peziarah menyambangi Notre Dame saban hari atau sekitar 13 juta turis setiap tahun.

Orang Prancis menyebut Katedral Notre Dame sebagai “Bunda Paris Kami “, merujuk pada gereja yang dipersembahkan kepada Bunda Maria—salah satu figur yang paling dihormati dalam tradisi Katolik. Dibangun pada 1163 di era Raja Louis VII dan rampung nyaris dua abad kemudian, Notre Dame adalah saksi bisu sekaligus penyintas berbagai peristiwa bersejarah.

Notre Dame dibangun di atas reruntuh-an dua gereja yang dulu pernah menjadi tempat berdirinya kuil kaum pagan pada zaman Romawi untuk menyembah Dewa Yupiter. Selama pemberontakan kelompok Huguenot pada 1540-an, orang-orang Protestan merusak sejumlah patung orang suci di dalam katedral karena menganggapnya berhala.

Notre Dame nyaris hancur saat meletus Revolusi Prancis pada 1790-an, pergolakan politik dan sosial yang mengubah wajah Prancis menjadi negara sekuler seperti sekarang. Monumen Abad Pertengahan yang melambangkan keintiman antara rezim monarki dan Gereja Katolik itu menjadi sasaran amuk massa. Sebanyak 28 patung orang suci, santa, dan rasul dipenggal, seperti ketika Marie Antoinette, ratu terakhir Prancis, dipancung dengan pisau guillotine.

Setelah revolusi, Notre Dame bangkit kembali dari perusakan dan penjarahan. Salah satunya berkat Napoleon Bonaparte, yang ditahbiskan sebagai Kaisar Prancis pada 1804. “Semua peristiwa besar dalam sejarah kami terjadi di Notre Dame,” ujar wartawan Prancis, Stéphane Bern.

Pemugaran besar-besaran Katedral Notre Dame berlangsung mulai pertengahan abad ke-19 di tangan arsitek Prancis, -Eugène-Emmanuel Viollet-le-Duc. Konon, popularitas novel Si Bongkok dari Notre Dame karangan Victor Hugo, yang diterbitkan pada 1831, telah menginspirasi renovasi itu. Lewat novel legendarisnya itu, Hugo meningkatkan kesadaran publik terhadap nasib Notre Dame.

Hugo sebelumnya menulis sebuah artikel yang mengkritik otoritas Prancis yang mengabaikan kondisi katedral. “Kita harus menangisinya dari atap,” tulis Hugo ketika itu. “Penghancuran Prancis kuno ini... berlanjut dengan lebih kejam dan biadab daripada sebelumnya.”

Namun, selepas periode itu, penderitaan Notre Dame belum berakhir. Ia kembali “menangis” karena terbakar setelah dibom tentara Jerman dalam Perang Dunia I dan bopeng diterjang peluru selama Perang Dunia II. Meski begitu, ia masih tegak berdiri hingga kini. “Notre Dame adalah sejarah kami, imajinasi kami, tempat kami menjalani semua momen hebat kami, dan merupakan pusat kehidupan kami,” kata Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang berjanji membangun kembali gereja itu.

MAHARDIKA SATRIA HADI (CBS NEWS, LE PARISIEN, WASHINGTON POST)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus