Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tantangan bagi Sang Pangeran

Benny Gantz dikejar waktu untuk membentuk pemerintahan baru Israel. Politikus anyar dengan latar belakang militer yang mentereng.

8 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM juga didapuk sebagai Perdana Menteri Israel, Benny Gantz sudah menuai ancaman dari pentolan Hamas. Yahya Sinwar, salah satu pemimpin kelompok milisi yang menguasai Jalur Gaza itu, menyatakan bahwa Hamas bakal menyerang balik Israel jika Gantz dan pemerintahannya berani menyerbu Gaza. “Kami sedang menunggu Anda, jika Anda berhasil membentuk pemerintahan,” kata Sinwar mencela Gantz dalam pidatonya di Gaza, Senin, 4 November lalu.

Pernyataan Sinwar meluncur dua hari setelah Gantz menyerukan bahwa ia bakal menggempur Gaza jika terpilih sebagai perdana menteri baru menggantikan Benjamin Netanyahu, politikus sayap kanan yang berkuasa sejak 2009. Gantz juga bersumpah akan menggunakan kekuatan militer penuh untuk menghalau serangan dan membunuh para pemimpin Hamas, yang oleh pemerintah Israel dicap sebagai organisasi teror.

Gantz bereaksi keras setelah terjadi penembakan sepuluh roket dari Gaza ke Kota Sderot, Israel selatan, pada Jumat malam, 1 November lalu. Militer Israel mengklaim telah mencegat delapan roket dengan sistem pertahanan udara. Tapi dua roket lain menghantam kawasan permukiman dan merusak satu rumah keluarga Yahudi, walaupun tak sampai memakan korban jiwa.

Esoknya, militer Israel melancarkan serangan roket balasan ke Gaza, wilayah berpenduduk 2 juta orang yang terkurung blokade Israel. Seorang warga Palestina tewas dan dua lainnya terluka akibat serangan tersebut. Ini baku tembak pertama sejak 12 September lalu. “Pemerintah Israel di bawah kepemimpinan saya tidak akan menenggang ancaman terhadap penduduk Israel dan kedaulatannya. Kami akan mencegahnya dengan segala cara, bahkan jika perlu menghabisi mereka yang telah memicu eskalasi,” ucap Gantz.

Masalahnya, ejekan Sinwar terhadap Gantz bisa jadi benar. Sejak menerima mandat dari Presiden Reuven Rivlin untuk membentuk pemerintahan pada 23 Oktober lalu, pria 60 tahun ini masih terbentur jalan buntu. Partai sentris yang dipimpinnya, Kahol Lavan, baru mengumpulkan 55 kursi dari koalisinya dengan sejumlah partai lain di parlemen Israel, Knesset. Padahal, untuk bisa membentuk pemerintahan, ia harus menggenggam sedikitnya 61 kursi.

Gantz bisa terancam kehilangan momentum berharga setelah Netanyahu, yang menjadi rival utamanya dalam perebutan kursi perdana menteri, lebih dulu gagal membentuk pemerintahan. Dalam kurun 28 hari, upaya Netanyahu menghimpun kekuatan mayoritas di Knesset kandas. Partai sayap kanan besutannya, Likud, dan koalisi partai-partai ultra-ortodoks tidak mampu meraup 61 kursi atau lebih. Sejak Netanyahu gagal, bola panas kini bergulir ke tangan Gantz.

Gantz berjanji membentuk pemerintah persatuan liberal yang melayani semua rakyat Israel. Mantan panglima militer ini punya 28 hari untuk mencoba peruntungannya. Jika ia gagal seperti Netanyahu, Knesset akan mencalonkan kandidat perdana menteri ketiga untuk mengakhiri krisis politik akibat kekosongan kekuasaan sejak pemilihan umum 17 September lalu. Apabila cara ini kandas juga, negeri itu akan kembali menggelar pemilihan umum ketiga dalam kurun satu tahun. Pada pemilihan umum pertama, April lalu, pemerintahan gagal terbentuk karena tidak ada partai yang meraup kursi mayoritas di parlemen. “Saya akan berbuat segalanya untuk mencegah pemilihan umum kembali digelar,” Gantz berujar.

Kemunculan Gantz sebagai pesaing terkuat Netanyahu di luar dugaan. Pria kelahiran Kfar Ahim, Israel tengah, dari pasangan penyintas Holocaust ini sejatinya bukan politikus tulen. Gantz menggeluti nyaris seluruh kariernya di militer. Saat berusia 18 tahun, ia mendaftarkan diri sebagai anggota Pasukan Keamanan Israel (IDF) pada 1977. Tugas pertamanya adalah bergabung dalam tim persiapan keamanan untuk menyambut kunjungan bersejarah Presiden Mesir Anwar Sadat ke Israel.

Gantz dengan cepat menapaki tangga kariernya di IDF. Bahkan teman-temannya sesama tentara sampai menjulukinya “Pangeran” lantaran kariernya melesat. Di antara tugasnya yang paling menonjol adalah memimpin unit komando yang menjamin keamanan untuk Operasi Solomon, operasi penyelamatan 14 ribu orang Yahudi Ethiopia pada 1991. Gantz juga pernah menjabat komandan Unit Penghubung Libanon IDF dan merupakan tentara Israel terakhir yang meninggalkan Libanon setelah pendudukan militer Negeri Zionis di sana berakhir pada 2000.

Walaupun sepak terjangnya di dunia militer dan keamanan terbilang ciamik, Gantz semula bukan figur yang difavoritkan sebagai panglima angkatan bersenjata. Netanyahu menunjuknya sebagai pemimpin tertinggi militer pada 2011 setelah dua kandidat lain yang lebih disukainya terperosok dalam skandal. Meski begitu, hubungan Gantz dengan Netanyahu relatif harmonis selama empat tahun ia memimpin militer. Bahkan, dalam isu Palestina, keduanya berbagi pandangan serupa. Netanyahu menentang keras pembentukan negara Palestina, sementara Gantz pernah tiga kali terlibat pertempuran dengan Hamas dan meredam perlawanan rakyat Palestina di Gaza.

Gantz, misalnya, pernah “berhadapan” dengan Sinwar di medan perang di Gaza saat memimpin operasi militer pada 2012 dan 2014. Selama perang, ratusan roket dan mortir dari Gaza menghujani Israel, termasuk yang diarahkan ke Ibu Kota Tel Aviv. “IDF saat itu dikritik karena dua perang tersebut menelan ratusan korban warga sipil. Tapi Gantz membela diri dengan menuding taktik milisi Hamas yang menyaru dengan warga sipil,” tulis situs berita Forward.

Gantz menutup karier militernya setelah 38 tahun mengabdi sebagai tentara pada 2015. Tapi ia hanya tiga tahun menikmati masa pensiun. Desember tahun lalu, ia memulai lembaran baru sebagai politikus saat mendirikan Partai Biru Putih (Kahol Lavan) untuk menantang dominasi Netanyahu, yang menguasai panggung politik Israel dalam satu dasawarsa terakhir. Kemunculan Gantz memberikan angin segar bagi para pemilih Israel, termasuk warga Arab, yang sebagian mulai berpaling dari Netanyahu sejak pentolan Likud itu terjerat kasus dugaan korupsi.

Keputusan Gantz terbukti jitu. Partai besutannya yang masih bau kencur ternyata mampu menantang Likud. Pada pemilihan April lalu, Kahol Lavan mengimbangi Likud dengan meraup 35 kursi. Gantz bahkan membawa partainya unggul satu kursi atas Likud dengan 33 kursi pada September lalu. Sayangnya, hasil itu belum cukup untuk mengantarnya menjadi perdana menteri sekaligus panglima militer ketiga yang menduduki posisi tersebut setelah Yitzhak Rabin dan Ehud Barak.

Ehud Olmert, perdana menteri periode 2006-2009, mengatakan Gantz sebenarnya memiliki sejumlah opsi untuk mengatasi kebuntuan politik. Ia bisa berkoalisi dengan Likud dan membentuk pemerintah rekonsiliasi nasional, sesuai dengan saran Presiden Rivlin. Melalui skenario ini, Gantz dan Netanyahu dapat membentuk pemerintah mayoritas yang lebih stabil di parlemen. Tapi Gantz pernah menolak opsi ini karena ogah berbagi jatah kekuasaan dengan rival utamanya.

Pilihan lain adalah Gantz membentuk pemerintah minoritas dengan partai sayap kiri dan ultra-ortodoks serta disokong koalisi empat partai Arab, Joint List. Gantz sudah mencoba menjajaki pertemuan dengan dua pemimpin Joint List, Ayman Odeh dan Ahmad Tibi, pada 31 Oktober lalu, tapi belum berbuah hasil. Lagi pula, untuk menambah kekuatan melawan Likud dan aliansinya, Gantz harus merangkul partai Yisrael Beiteinu pimpinan bekas menteri pertahanan Avigdor Lieberman, yang alergi terhadap partai-partai Arab. “Anda pikir hal itu mungkin terjadi? Lieberman bergabung dengan pemerintah yang bergantung pada dukungan (orang-orang) Arab?” kata Olmert.

Gantz kini berkejaran dengan waktu. Ia belum mengumumkan keputusan secara gamblang hingga pekan pertama November lalu. Tapi ayah empat anak ini sudah melontarkan harapannya bahwa pemerintah persatuan akan mengembalikan kekompakan yang telah lama hilang di Israel. Sambil mengutip peristiwa rekonsiliasi yang dicapai antara pemimpin Likud, Yitzhak Shamir, dan pemimpin Partai Buruh, Shimon Peres, pada 1984, Gantz mengatakan, “Kita menghadapi banyak tantangan di negara yang luar biasa ini. Kita harus mulai bekerja bersama untuk mengatasinya.”

MAHARDIKA SATRIA HADI (THE JERUSALEM POST, FORWARD, ASHARQ AL-AWSAT, HAARETZ)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus