Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUKISAN binatang-binatang itu wujud rasa bersalah Goenawan Mohamad sekitar 60 tahun silam. Penyair ini mempunyai pengalaman getir di tempat kelahirannya di Kabupaten Batang, Jawa Te-ngah. Suatu pagi, Goenawan, yang baru -berusia sekolah menengah pertama, menembak mati seekor prenjak. Dia melihat tubuh burung itu memiliki bulu-bulu yang bagus, tapi kepalanya hancur.
Ia juga mengenang petualangan bersama kakaknya di kebun kelapa untuk menembak tupai dengan senapan angin. Tupai waktu itu dianggap sebagai hama di Batang. Goenawan berlatih membidik tupai hingga dia bisa menembak burung lincah bertubuh kecil itu. Dia merasa bersalah dan gegabah telah membunuh burung itu. “Saya merasa telah merusak hanya untuk iseng. Sesuatu yang rasanya suci,” kata Goenawan.
GM—panggilan akrab Goenawan—me-nyesal dan menebus dosanya dengan me-lukis potret atau wajah binatang. Citraan hewan tergambar pada 13 lukisan kanvas berbahan cat akrilik dan cat minyak yang dipamerkan di Museum dan Tanah Liat, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pameran bertajuk “Binatang” ini berlangsung pada 2 November-1 Desember 2019.
Karakter burung muncul pada lukisannya yang sebagian besar bertarikh 2019. Tengoklah lukisan seekor burung berwarna cokelat bermata putih dengan lingkar-an mata hitam sedang bertengger, membelakangi pengunjung pameran. Goresan berkelir putih di sekitar burung itu terli-hat seperti awan yang menggantung dan me-nyentuh ekornya. GM memberi judul karya berbahan cat akrilik tersebut Burung Murung.
Pada karya berjudul Kepala, seekor burung tanpa tubuh ia lukis dengan satu bola mata berwarna kuning kunyit. Separuh kepala burung berjambul, berleher, dan berparuh. Lukisan bertarikh 2019 itu menggunakan bahan akrilik, berukuran 100 x 150 sentimeter.
Selain menggambar burung, GM melukis kuda, unta, babi hutan, juga kepala sapi yang dipenggal untuk hari raya kurban. Ada pula lukisan lebah, ikan, ayam jago, dan keledai. Lukisan berbahan akrilik dan cat minyak berjudul Pemburu Babi Hutan terkesan meneror. Karya berukuran 100 x 120 sentimeter yang dibuat pada 2019 itu menggambarkan celeng besar sedang menatap anjing pemburu. Tatapan dua binatang itu dibatasi topi, lembing yang patah, dan goresan berwarna merah.
Judul yang sama ia buat untuk sketsanya yang dipamerkan di Kiniko Art, Sarang Building, Bantul, pada 2017. Waktu itu, ia memamerkan 80 sketsa bertajuk Ke Tengah pada Parallel Event Biennale Jogja 2017. Sketsa yang dilengkapi dengan sajak “Pemburu Babi Hutan” itu mengisahkan peng-alaman GM. Ketika masih anak-anak, ia melihat orang Tionghoa yang jago bermain silat di desanya. Peranakan Cina itu seorang pemburu babi hutan. GM membayangkan dia tewas, lalu tak ketahuan rimbanya. Kematian orang Tionghoa itu hanya menyisakan topi yang dibawa anjingnya.
Selain berangkat dari penyesalan, GM melukis karakter binatang karena ia takjub melihat makhluk tersebut. Dia menyukai binatang dan terkesan oleh cerita-cerita tentang binatang. “Seperti semua anak-anak di Jawa, saya hidup dengan cerita kancil dan fabel lain yang disadur dari Pancatantra,” kata GM.
Ia juga gemar menonton wayang dan terkesima oleh cerita Jatayu yang tewas ketika mencoba menyelamatkan Sita dari ceng-keraman Rahwana. Jatayu merupakan tokoh protagonis dalam kisah Ramayana yang menjelma menjadi burung. Tokoh ini gigih bertarung melawan Rahwana dan -akhirnya mati.
Kesenangan menikmati kisah-kisah binatang juga ia wujudkan dengan menonton film-film produksi Walt Disney. GM menonton Lady and the Tramp, film klasik animasi roman Amerika Serikat yang bercerita tentang kisah cinta anjing betina bernama Lady dan anjing jantan bernama Tramp. Ia juga menyukai film Bambi, yang berkisah tentang persahabatan rusa bernama Bambi dan Thumper, seekor kelinci. Keduanya bertualang hingga musim dingin menyergap dan ibu Bambi dibunuh pemburu.
Kurator pameran, Wahyudin, menye-butkan tema binatang sudah banyak di-usung perupa, di antaranya Djoko Pekik, Ugo Untoro, dan Agapetus Kristiandana. Yang membedakan lukisan tersebut adalah kehendak dan tujuan perupa. Lukisan GM tidak berpretensi menjadi majas atau bermuatan pesan-pesan tertentu. Adapun lukisan Djoko, Ugo, dan Agapetus mengandung komentar sosial dan simbolisasi. Lukisan Berburu Celeng karya Djoko, misalnya, kental dengan kritik sosial-politik. “Lukisan GM menampilkan karakter binatang apa adanya, lebih pada eksplorasi karakter binatang. Tidak ada pesan-pesan di luar itu,” ujarnya.
Pada lukisan-lukisan berkarakter binatang itu, tutur Wahyudin, terlihat perkembangan estetis dan artistik GM, terutama pada teknik melukis. Wahyudin mencontohkan lukisan berjudul Monumen Kuda Perang dan Pemburu Babi Hutan. “Secara teknik, lukisan GM ini lebih matang karena dia mengeksplorasi bahan-bahan, yakni cat akrilik, cat minyak, dan kolase kain atau kertas,” ucapnya.
Pemburu Babi Hutan. TEMPO/Shinta Maharani
GM menyebutkan, dalam penciptaan -karya-karya itu, ia ingin merapat ke benda tersebut. Misalnya pada wajah dan tubuh hewan, makhluk yang menerobos dalam dunia tanpa definisi. Ia menyatakan kar-yanya itu sebagai persentuhan yang konkret. Seperti dalam puisinya, benda -dibebaskan dan bermetamorfosis menjadi imaji.
Kemampuan mengeksplorasi lukisan di atas kanvas dengan bahan akrilik, GM menerangkan, ia peroleh dengan banyak belajar kepada perupa Hanafi. Keduanya pernah berpameran di Galeri Nasional, Jakarta, dan Komaneka Art Gallery, Bali. Di Galeri Nasional, GM dan Hanafi berkolabo-rasi dengan memamerkan lebih dari 200 lu-kisan pada kertas dan kanvas, juga instalasi dalam pameran bertajuk “57x76” yang digelar pada 2018. Dari Jakarta, mereka melanjutkan kolaborasi dengan -berpa-meran di Bali.
Menurut Wahyudin, GM terbilang produktif dan intens berkarya di bidang seni rupa dalam tiga tahun terakhir. Dia mencatat GM telah menghasilkan 300 karya berbahan kertas, 200-an karya kolaborasi dengan Hanafi, serta 50-an lukisan kanvas berbahan akrilik dan cat minyak.
Dalam pameran kali ini, GM juga menyuguhkan lukisan tentang orang-orang yang dekat dengannya disertai sajak-sajaknya. Ia melukis Djoko Pekik, Slamet Gundono, dan Tony Prabowo. GM juga menampilkan sebelas gambar wayang yang merupakan potret Bhisma, Durna, Karna, Kresna, Kunti, Surti, Kanti, Togog, Usinara, Yudhistira, dan Gandari. Semua karya bertarikh 2019 itu dibuat menggunakan pena dan tinta di kertas berukuran 37 x 29,5 sentimeter. Semua gambar dilengkapi sajak-sajak yang GM tulis dengan perenungan yang -mendalam.
Wahyudin menemukan semua tokoh wayang itu dalam 12 jilid Catatan Pinggir GM. Dia melihat 40 kata dari sosok dan pokok wayang. Gambar berjudul Usinara, misalnya, menceritakan kisah yang menyen-tuh. Usinara adalah nama seorang raja. Tapi GM tidak menggambar raja. Dia meng-gambar burung elang yang memburu burung deruk. Burung deruk terluka, panik, keta-kutan, dan putus asa.
Lantas, untuk melihat proses kreatif GM, Wahyudin menyertakan 18 gambar dan puisi bertema “Don Quixote dalam Pamer-an Binatang”. Gambar-gambar itu bertolak dari novel klasik termasyhur Miguel de -Cervantes. “Karya seri Don Quixote ciri khas GM. Penting disertakan agar orang melihat bagaimana ia berevolusi,” tutur Wahyudin.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo