Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASSEL, siswa 16 tahun di Kota Sidon, Libanon, mengaku tidak bisa berdiam diri di sekolah saat demonstrasi masih berlangsung di sejumlah tempat di negaranya. Ia bersama ratusan siswa sekolah menengah atas lain, Rabu, 6 November lalu, bertemu di luar sekolah pada pukul 07.30, lalu bersama-sama menuju lokasi unjuk rasa di persimpangan Elia.
Demonstrasi besar melanda negeri berpenduduk 6 juta jiwa itu sejak akhir September lalu. Para demonstran memprotes krisis ekonomi dengan tingkat pengangguran rata-rata 25 persen. Pemicu krisis, selain politik sektarian, adalah korupsi. “Kami turun ke jalan untuk masa depan yang lebih baik karena kebanyakan dari kami akan lulus tanpa peluang kerja dan terpaksa meninggalkan negara ini,” kata Raseel.
Rakyat Libanon bersatu dalam kemarahan atas kegagalan para pemimpinnya menangani ekonomi yang sedang sakit, kenaikan harga, angka pengangguran yang tinggi, pelayanan publik yang buruk, dan korupsi. Namun yang memicu demonstrasi lebih besar adalah pemerintah pada 17 Oktober lalu berencana mengenakan pajak baru untuk tembakau, bensin, dan panggilan suara melalui aplikasi pesan, seperti WhatsApp, untuk menambah kas negara.
Biaya bulanan US$ 6 atau Rp 64 ribu untuk menggunakan WhatsApp itulah yang memicu kemarahan luas dan ratusan orang mulai berunjuk rasa di luar gedung pemerintah di Beirut. Sejumlah besar demonstran juga memenuhi jalan-jalan, termasuk di lokasi bersejarah Martyr Square. Kebijakan baru ini dibatalkan tak lama kemudian, tapi itu tak cukup meredakan kemarahan publik yang merasakan ketidakpuasan selama bertahun-tahun.
Untuk mengatasi krisis ekonomi, Perdana Menteri Saad Hariri sebenarnya berusaha menenangkan masyarakat melalui paket reformasi, yang disampaikan melalui siaran televisi pada 20 Oktober lalu. Rencananya, ada pemotongan gaji presiden, menteri, dan anggota parlemen sampai 50 persen serta pemangkasan tunjangan pejabat negara. Bank sentral dan bank swasta diminta berkontribusi sekitar Rp 46 triliun demi mencapai “hampir nol defisit” untuk anggaran 2020. Ini termasuk rencana menswastakan sektor telekomunikasi dan perbaikan sektor kelistrikan.
Proposal itu tak mendapat sambutan baik, yang ditandai dengan tetap turunnya massa ke jalan-jalan. Para demonstran menuntut presiden dan anggota kabinet mundur serta segera menggelar pemilihan umum. Mereka juga meminta diakhirinya politik sektarian. Merasa tak beroleh dukungan, Saad Hariri akhirnya angkat tangan dan memilih mengundurkan diri pada 29 Oktober lalu, saat demonstrasi besar memasuki hari ke-13.
Sesuai dengan Konstitusi Libanon, Saad mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Michel Aoun. Aoun menerima permohonan itu, tapi meminta pemimpin partai Future Movement tersebut dan kabinetnya tetap bekerja untuk melanjutkan peran sampai pemerintah baru terbentuk. Bola kini berada di tangan Aoun, pendiri partai Kristen, Free Patriotic Movement.
===
MICHEL Aoun punya karier panjang dalam kancah politik di Libanon. Pria kelahiran 18 Februari 1935 tersebut memulai karier militernya pada 1955 dengan menjadi perwira kadet di akademi militer setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya. Dia meniti karier di sini hingga menjadi panglima militer pada 1984.
Saat negara bekas jajahan Prancis itu dipimpin Presiden Amine Gemayel, terjadi perseteruan internal yang membuat Aoun terlibat konfrontasi, termasuk secara militer, dengan Perdana Menteri Selim Hoss. Di suatu titik, ia sampai harus bertahan dari gempuran di Istana Kepresidenan Baabda. Aoun kemudian mencari suaka ke Prancis. Pemerintah Libanon lalu memberinya amnesti bersyarat dan Aoun mendapat suaka dari Presiden Prancis.
Aoun mengakhiri 15 tahun pengasingannya ketika kembali ke Libanon pada 7 Mei 2005. Pemicu kepulangannya adalah terjadi perubahan politik di Libanon setelah pembunuhan mantan perdana menteri, Rafic Hariri, pada 14 Februari 2005. Kematian Rafic mendorong pecahnya serangkaian demonstrasi, khususnya di Ibu Kota Beirut, yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Cedar atau Intifadah Merdeka.
Tujuan utama para aktivis Intifadah Merdeka adalah penarikan pasukan Suriah dari Libanon dan penggantian pemerintah yang sangat dipengaruhi kepentingan Suriah dengan kepemimpinan yang lebih independen serta pembentukan komisi internasional untuk menyelidiki pembunuhan Rafic. Demonstrasi itu membuahkan hasil dengan mundurnya pasukan Suriah dari Libanon.
Setiba di Libanon, Aoun menggelar konferensi pers singkat di Bandar Udara Internasional Beirut sebelum berkonvoi menuju Makam Prajurit tanpa Nama dan Martir. Setelah berdoa dan mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang-orang yang menyambutnya, ia berziarah ke makam Rafic. Setelah itu, ia menjenguk sesama politikus partai Kristen, Samir Geagea, di penjara.
Geagea dibui setelah diadili pada 1994 karena didakwa memerintahkan empat pembunuhan politik, termasuk terhadap Perdana Menteri Rashid Karami pada 1987, dan percobaan pembunuhan terhadap Menteri Pertahanan Michel Murr yang gagal pada 1991. Dia membantah semua tuduhan tersebut. Seusai kunjungan ini, Aoun melanjutkan perjalanannya ke Lapangan Martir. Di sana, ia disambut para pendukung Intifadah Merdeka.
Aoun lantas membentuk Free Patriotic Movement. Partai yang beraliran tengah-kanan ini berpartisipasi dalam pemilihan parlemen pada tahun itu dan meraih 21 kursi. Ia terpilih untuk Majelis Nasional. Berbekal kursi di Majelis Nasional yang terus bertambah, ia maju dalam pemilihan presiden 2016.
Pendukung Presiden Libanon, Michel Aoun berdemonstrasi di Beirut, Libanon, 3 November 2019. REUTERS/Goran Tomasevic
Dukungan pertama bagi Aoun datang dari pemimpin partai Kristen, Lebanese Forces, Samir Geagea. Penantangnya Ketua Marada Movement Suleiman Frangieh, Jr. Pada 20 Oktober 2016, Saad Hariri menyatakan secara terbuka dukungannya kepada Aoun dan hal itu kian memuluskan jalan Aoun menjadi presiden. Dalam sidang parlemen 31 Oktober 2016, ia terpilih sebagai Presiden Libanon, yang kosong sejak Mei 2014 karena para politikus gagal menyepakati konsensus tentang siapa presiden pengganti Michel Suleiman, yang jabatannya berakhir pada Mei 2014.
Dalam politik Libanon, posisi presiden merupakan jatah komunitas Kristen, perdana menteri dari kalangan muslim, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari golongan Syiah. Kesepakatan ini dikenal sebagai Pakta Nasional 1943. Namun perbedaan sektarian yang tidak terselesaikan akhirnya berubah menjadi perang saudara yang berlangsung pada 1975 hingga 1990, ketika pasukan Israel dan Suriah melakukan intervensi dan lebih dari 100 ribu orang tewas.
Pasukan Suriah menarik diri dari Libanon pada 2005, tapi perang antara Israel dan Hizbullah dengan cepat terjadi pada 2006. Menurut Council of Foreign Relations, dalam satu dekade terakhir, ketegangan sektarian antara kelompok Hizbullah dan Sunni juga meningkat. Politik pun menjadi rumit karena menjadi medan pertempuran proksi bagi Iran, yang memberikan dukungan bagi Hizbullah, dan Arab Saudi, yang mendukung Perdana Menteri Saad Hariri serta politikus Sunni lain.
Keruwetan politik juga berdampak pada ekonomi. Faktor lain adalah dampak limpahan perang saudara di Suriah. Libanon menampung lebih dari 1,5 juta pengungsi, hampir 1 juta di antaranya warga Suriah. Selain itu, konflik delapan tahun di Suriah telah mempengaruhi perdagangan lintas batas dan melemahkan industri pariwisata Libanon.
Dalam pidato untuk menenangkan publik pada 31 Oktober lalu, Michel Aoun menerima permintaan demonstran mengenai perlunya membentuk pemerintah teknokratis dan mengakhiri kebiasaan negara mengalokasikan posisi pejabat publik berdasarkan agama. Ia menyebut sektarianisme sebagai “penyakit perusak”. “Para menteri harus dipilih berdasarkan kualifikasi dan pengalaman mereka, bukan kesetiaan politik mereka,” ujar Aoun, yang sekaligus menandai tahun ketiga kepresidenannya.
ABDUL MANAN (AL-MONITOR, REUTERS, FRANCE24.COM, Al JAZEERA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo