Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tarian Tango Bibi

Israel dan Palestina saling menyalahkan atas lambatnya kemajuan yang dicapai dalam perundingan damai. Tenggat April dipastikan terlampaui.

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benjamin Netanyahu mengibaratkan negosiasi perdamaian Israel-Palestina seperti tango. Tarian yang berasal dari Argentina ini mensyaratkan penarinya bergerak serempak dan beraturan. Kata Netanyahu, tarian "tango" perdamaian Timur Tengah seharusnya melibatkan tiga pihak, tapi ia merasa hanya ada Israel dan Amerika Serikat. "Sekarang perlu ditunjukkan bahwa Palestina juga ada di sana," ujar Perdana Menteri Israel itu kepada wartawan sesaat setelah mendarat di Washington, Ahad dua pekan lalu, sehari sebelum menemui Presiden Amerika Barack Obama di Washington.

Pernyataan Netanyahu itu menjawab kerisauan Obama atas nasib perundingan damai Israel-Palestina yang dimediasi Amerika. Obama mengungkapkan soal ini dalam wawancaranya dengan Jeffrey Goldberg dari The Atlantic. Negosiasi langsung wakil dua pihak ini dimulai sejak 29 Juli tahun lalu dan ditargetkan menghasilkan kesepakatan pada 29 April mendatang. Dalam wawancara dengan The Atlantic, yang dirilis 2 Maret lalu, Obama mengungkapkan kegusarannya atas nasib perundingan damai yang sangat sedikit kemajuannya, padahal April sudah sangat dekat.

Perundingan ini merupakan upaya kedua pemerintah Amerika di era Obama untuk mewujudkan pembicaraan damai setelah sempat gagal pada 2010. Perundingan dimulai pada 29 Juli 2013. Tempat, juga hasil tiap perundingan, sesuai dengan kesepakatan, dirahasiakan. Delegasi Israel dipimpin Tzipi Livni, Palestina oleh Saeb Erekat.

Saat kedua pihak mulai berunding pada Juli tahun lalu, Israel menunjukkan niat mengakhiri konflik yang berlangsung lebih dari lima dekade dengan membebaskan puluhan tahanan Palestina. Hanya, niat baik Tel Aviv mulai dipertanyakan setelah proyek pembangunan permukiman Yahudi di daerah pendudukan, termasuk di Yerusalem Timur, tetap berjalan. Langkah Israel ini membuat kelangsungan perundingan damai dipertanyakan, meski akhirnya tetap dilakukan dengan banyak sekali penundaan dan penjadwalan ulang.

Bukan hanya Palestina yang mengecam pembangunan permukiman Yahudi. Komunitas internasional menyebut langkah itu sebagai tindakan ilegal. Inilah yang kemudian menjadi embrio bagi lahirnya aksi boikot dari berbagai negara di dunia terhadap Israel. Bagi Palestina, dibangunnya permukiman Yahudi, apalagi di Yerusalem Timur, sama dengan menghancurkan inisiatif perdamaian karena daerah itu diharapkan menjadi ibu kota Palestina merdeka di masa depan.

Di tengah seretnya jalan perundingan dan perang pernyataan di antara dua pihak yang bertikai, Menteri Luar Amerika Serikat John Kerry maju terus. Mengejar tenggat sembilan bulan untuk bisa membuahkan hasil, Kerry mempersiapkan "kerangka kerja kesepakatan" yang ditawarkan kepada dua pihak. "Proposal perdamaian" Kerry itu belum pernah dipublikasikan dan ini membuat sejumlah orang menebak-nebak apa isinya. Kolumnis Thomas Friedman menulis di The New York Times edisi 28 Januari 2014 mengenai bocoran informasi soal kerangka kerja itu, yang kemudian dikenal sebagai "Kerry Plan".

Menurut Friedman, "Kerry Plan" berisi seruan kepada dua pihak yang berseteru untuk mengakhiri konflik dan semua klaimnya selama ini, yang diikuti dengan penarikan mundur bertahap Israel dari Tepi Barat (sesuai dengan garis batas sebelum perang tahun 1967) dan pengaturan keamanan tertentu di daerah strategis, seperti Lembah Yordania. Penarikan ini tak termasuk dari blok permukiman Yahudi yang sudah ada di sana, tapi Israel diminta mengkompensasinya dengan lahan kepada Palestina. Dalam usulan Kerry, Yerusalem Timur dipersiapkan sebagai ibu kota Palestina. Sebagai konsesinya, Palestina harus mengakui Israel sebagai negara Yahudi.

Seperti sudah diduga, Palestina memberi isyarat menolak usulan Kerry agar Palestina mengakui Israel sebagai negara Yahudi. "Kami membuat sikap jelas bahwa kami tak akan menandatangani perjanjian yang mengakui Israel sebagai negara Yahudi," kata seorang pejabat Palestina yang tak mau disebut namanya, awal Januari lalu.

Menurut kalkulasi pemimpin Palestina, pengakuan seperti itu akan menghilangkan hak sekitar 1,5 juta warga Arab di Israel dan akan melemahkan klaim sekitar 5 juta pengungsi Palestina dan keturunannya untuk mendapatkan "hak kembali" ke rumah mereka yang sekarang berada di Israel. Mereka jadi pengungsi setelah negara Israel berdiri pada 1948.

Israel memberi isyarat setuju—meski tidak secara keseluruhan—proposal Kerry. Dari dua proposal Kerry, ada dua isu kunci yang menjadi harga mati bagi Israel: soal pengakuan sebagai negara Yahudi dan pengamanan di Lembah Yordania. "Orang-orang Palestina mengharapkan kami mengakui negara Palestina bagi rakyat Palestina. Saya pikir sudah waktunya mereka mengakui sebuah negara untuk orang-orang Yahudi," ucap Netanyahu dalam konferensi pers setelah bertemu dengan Obama di Washington, Senin dua pekan lalu.

Penegasan itu disampaikan Netanyahu saat bertemu dengan kelompok lobi pro-Israel, American Israel Public Affairs Committee, di Washington, keesokan harinya. "Presiden Abbas, akuilah keberadaan negara Yahudi." Nabil Shaath, pejabat tinggi Fatah, menyebut sikap Netanyahu itu sebagai "deklarasi sepihak untuk mengakhiri perundingan damai".

Di luar soal pengakuan sebagai negara Yahudi, soal krusial lain adalah pengamanan di Lembah Yordania, perlintasan antara Tepi Barat dan Yordania. Israel ingin tetap mempertahankan kontrol militernya di daerah itu. Palestina menolaknya.

Saat bertemu dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas, Desember tahun lalu, John Kerry mengusulkan jalan kompromi, yaitu membolehkan Israel di sana sampai 10 tahun. Palestina menolak ide ini. Selain dianggap lebih menguntungkan Israel, tawaran itu mengabaikan masukan utusan khusus Amerika Serikat di Timur Tengah, Jenderal John Allen. Ia mengusulkan penempatan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di daerah itu tanpa perlu kehadiran militer Israel.

Sejak dimulai tahun lalu, setidaknya ada 20 kali perundingan damai kerap macet dan dilanjutkan setelah ada campur tangan Kerry. Pengganti Hillary Clinton sejak Februari 2013 ini menjadikan perdamaian Israel-Palestina sebagai prioritas utama politik luar negerinya. Hingga Februari lalu, ia sudah 10 kali melakukan lawatan ke Timur Tengah, baik ke Tel Aviv maupun Ramallah, untuk memastikan kedua pihak melanjutkan perundingan.

Namun ketidaksepahaman terhadap sejumlah isu krusial ini memang sudah dirasakan sejak dulu, dan itu juga membuat Kerry risau. Dalam sebuah konferensi keamanan di Muenchen, Jerman, 1 Februari lalu, Kerry mengatakan tersandungnya pembicaraan perdamaian Israel-Palestina hanya akan memicu banjir kritik terhadap Israel dan bisa memperkuat aksi boikot terhadap sekutu pentingnya di Timur Tengah itu.

Kata-kata "boikot" Kerry itu memicu kemarahan pemerintah Tel Aviv. Menteri Ekonomi Israel Naftali Bennett menyebut komentar itu sebagai sikap "anti-Semit". Wakil Menteri Pertahanan Israel Danny Danon mengatakan, dengan pernyataan itu, Kerry seperti "menempelkan pistol ke kepala Israel". Jen Psaki, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika, buru-buru memperingatkan sekutu Timur Tengahnya itu agar memaknai secara akurat pernyataan Kerry.

Di luar silang pendapat tentang status negara yahudi dan pengamanan di Lembah Yordania, Presiden Mahmud Abbas mengatakan pada Senin dua pekan lalu bahwa ia hanya akan melanjutkan negosiasi perdamaian jika Israel setuju membekukan pembangunan permukiman di daerah pendudukan dan melepaskan tahanan Palestina. Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman menuding sikap Abbas ini "mentorpedo pembicaraan damai dengan menetapkan prasyarat".

Mengingat kompleksnya masalah konflik Israel-Palestina, sejumlah analis menyebut upaya Kerry sebagai misi mustahil. Eks senator Demokrat itu, dalam sebuah pernyataan pada 2 Januari lalu, mengatakan ini bukan misi mustahil. Namun perang pernyataan yang disampaikan pejabat Tel Aviv dan Ramallah beberapa waktu sesudahnya terkait dengan ancaman boikot, pengakuan sebagai negara Yahudi, dan semacamnya mengindikasikan masih perlu waktu tambahan untuk mempersempit perbedaan atas "proposal" yang diajukan Kerry.

Kepada wartawan di Washington pada 27 Februari lalu, Kerry mengatakan awalnya ia berharap "kerangka kerja" itu bisa disepakati untuk memandu pembicaraan perdamaian. Hanya, perkembangan mutakhir membuat Kerry menyadari kesepakatan perdamaian memang tak bakal bisa dicapai sesuai dengan tenggat April. Dan ia menyatakan siap membantu agar pembicaraan damai berlanjut "dengan periode waktu apa pun yang dianggap tepat".

Abdul Manan (New York Times, Jerussalem Post, Times of Israel, Guardian, Al-Jazeera)


Boikot Dunia untuk Tepi Barat

Yaakov Berg keluar dari sebuah restoran di Tel Aviv dengan wajah suram. CEO Psagot Winery ini hendak menawarkan produk minuman anggurnya, tapi ditolak mentah-mentah, gara-gara perusahaannya ada di wilayah Palestina.

Psagot Winery didirikan pada 2003 dan berkantor pusat di Samaria, kota di utara Yerusalem. Anggur produksinya telah meraih penghargaan internasional, seperti meraih medali emas dalam kompetisi Vinalies di Paris pada 2011, di kompetisi Terravino, kompetisi Panama Vinos, dan di Wine Awards Israel.

Berg mengeluhkan boikot tidak hanya dilakukan orang-orang dari negara lain, tapi justru telah dimulai di kalangan warga Israel di Tel Aviv. "Bertahun-tahun saya mengunjungi berbagai restoran terkenal di Tel Aviv. Mereka mengatakan anggur kami berkualitas. Tapi, begitu mendengar anggur itu berasal dari Judea dan Samaria, mereka berbalik menolak," ujarnya seperti dikutip Arutz Sheva, Januari lalu.

Israel memang tengah menghadapi seruan kampanye boikot, divestasi, dan sanksi (BDS), yang meluas. Gerakan internasional ini bermula dari inisiatif 170 organisasi non-pemerintah Palestina pada 2005. Awalnya kampanye ini untuk menuntut Israel mengakhiri pendudukan atas Tepi Barat.

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sebagian besar negara menganggap permukiman Israel itu ilegal. Alasannya, wilayah itu diduduki Israel dalam perang pada 1967 dan Konvensi Jenewa telah melarang pembangunan di sana. Lebih dari setengah juta entitas Israel tinggal di 120 permukiman ilegal yang dibangun sejak pendudukan di Tepi Barat dan Timur pada 1967.

Untuk menggalang protes terhadap pendudukan Israel di tanah Palestina, setiap tahun diselenggarakan perayaan Pekan Apartheid Israel. Press TV melaporkan, pada 24 Februari-2 Maret lalu, baru berlangsung Pekan Apartheid Israel ke-10 di Amerika Serikat dan Inggris. Istilah apartheid mengacu pada kemiripan rezim Zionis Israel terhadap Palestina dengan kebijakan diskriminasi ras oleh kulit putih terhadap kulit hitam Afrika Selatan.

Kampanye boikot Israel semakin kuat dan meluas setelah pemerintah Israel mengumumkan rencana membangun 1.400 rumah baru di Tepi Barat. Akan ada sekitar 600 rumah dibangun di Ramat Shlomo dan 800 rumah di wilayah Tepi Barat lainnya.

Merespons pengumuman rencana itu, pertengahan Januari lalu, sejumlah perusahaan Eropa telah memboikot kerja sama dengan perusahaan Israel, seperti dilakukan PGGM, manajemen dana pensiun besar asal Belanda. Perusahaan ini, menurut laporan Financial Times, menarik investasi dari lima bank besar Israel.

Tak hanya perusahaan, bahkan sejumlah serikat akademikus Amerika Serikat yang tergabung dalam American Studies Association memboikot lembaga pendidikan Israel. Melalui pemungutan suara, 66 persen dari 1.252 anggota yang memberi suara menyatakan mendukung resolusi pemboikotan berupa larangan berkolaborasi formal dengan lembaga akademis Israel.

Uni Eropa tak ketinggalan. Pasar terbesar kedua ekspor Israel—sebesar 32 persen—ini resmi memulai aksi boikot sejak awal 2014. "Negara-negara Eropa melarang produk dari permukiman Israel," ujar John Gatt-Rutter, perwakilan Uni Eropa untuk Tepi Barat. Sejumlah instansi pajak dan bea-cukai di negara Uni Eropa telah memasang label "produk permukiman Yahudi" agar konsumen mengetahui.

Pemerintah Israel tentu saja panik terhadap gerakan boikot yang mulai dilakukan Uni Eropa. Menteri Keuangan Israel Yaer Labed mengatakan, akibat boikot ekonomi saja, kerugian negara dalam setahun mencapai US$ 8 miliar. Kerugian itu juga akan diikuti dengan pemecatan 10 ribu pekerja di berbagai bidang usaha.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menganggap kampanye boikot sebagai masalah sensitif. Dia menggelar sidang kabinet darurat pada 2 Februari lalu untuk mencari solusi. Hasilnya, pemerintah Israel akan mendorong pemerintah di beberapa negara membuat undang-undang antiboikot. Pemerintah juga berencana menggelontorkan 100 juta shekel atau sekitar US$ 28,5 juta untuk melawan kampanye boikot, terutama berfokus pada diplomasi publik dan langkah-langkah hukum terhadap kelompok pendorong boikot.

Netanyahu yakin permintaan dunia terhadap teknologi tinggi Israel akan menahan kelompok-kelompok pro-Palestina yang mendukung pemboikotan. "Mereka (perusahaan teknologi) datang karena menginginkan manfaat dari keandalan dan inovasi Israel. Gerakan BDS tidak dapat menghentikan Israel menjadi kekuatan teknologi global," katanya.

Rosalina (Reuters, New York Times, Hareetz)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus