Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membidik Fulus Atma Jaya

Merasa merek kursusnya "dicuri" Universitas Atma Jaya, Yon Nofiar menuntut perguruan tinggi itu membayar Rp 8 miliar. Atma Jaya melawan.

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG itu berlangsung singkat, sekitar 30 menit. Berlangsung di lantai dua gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hari itu, Selasa pekan lalu, agendanya hanya mendengar pembacaan replik—jawaban terhadap tergugat. Penggugat diwakili pengacaranya, Yahya Tulis. Demikian pula tergugat, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, diwakili kuasa hukumnya, Agustinus Prajaka. "Kami sudah melakukan gugatan balik, meminta pengadilan membatalkan merek yang didaftarkan penggugat," kata Agustinus.

Atma Jaya kini tengah bertarung melawan Yon Nofiar dalam sengketa merek CHRP, singkatan dari Certified Human Resources Professional. Yon menuding perguruan tinggi tersebut telah menggunakan merek miliknya tanpa izin. Merek itu sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) pada 26 Agustus 2008. Merasa mereknya dicomot Atma Jaya, Yon, akhir Januari lalu, membawa kasus ini ke pengadilan niaga.

Yon menuntut Atma Jaya membayar ganti rugi Rp 8 miliar. Nilai itu, antara lain, berdasarkan hitungan Yon terhadap jumlah peserta kursus tentang sumber daya manusia itu di Atma Jaya yang mencapai se­ribuan orang dengan tarif, antara lain, sekitar Rp 16 juta per orang. Selain menggugat ke pengadilan niaga, Yon melaporkan Rektor Atma Jaya ke Polda Metro Jaya.

Menurut kuasa hukum Yon yang lain, Bambang Siswanto, sebagai pendaftar pertama merek CHRP, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, kliennya memiliki hak eksklusif atas nama CHRP. "HAKI melindungi pihak-pihak yang punya ide, yang menemukan, menggunakan, dan memproduksi. Karena sadar hukum, klien kami mendaftarkan merek CHRP ke Dirjen HAKI," kata Bambang kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Merek itu, menurut dia, juga sudah diumumkan lewat situs www.chrponline.com dan www.chrponline.net. Berkantor di sebuah ruko di Bekasi, Yon menggelar kursusnya dengan menyewa beberapa ruang di Menara Hijau Tower, Jakarta Selatan. Tarif kursusnya terbagi dua, Rp 18,5 juta dan Rp 13,5 juta.

Atma Jaya rupanya tak gentar menghadapi semua ini. Menurut Prajaka, kursus di lembaganya sudah berlangsung sejak 2006. Kursus ini digagas Bambang Supriyanto, bekas petinggi sumber daya manusia sebuah perusahaan multinasional. "Jadi kami tidak menjiplak merek dan program milik siapa pun. Atma Jaya mengembangkan sendiri, dan terbukti karena berkualitas banyak peminatnya," kata Prajaka. Menurut dia, Atma Jaya tak pernah berencana mendaftarkan program tersebut sebagai merek milik Atma Jaya. "Kampus kami dan perancang program ingin supaya sertifikasi ini jadi milik umum, tapi ternyata celah ini yang dimanfaatkan," ujar Prajaka.

Prajaka menuding Yon sengaja mendaftarkan merek itu untuk kemudian, dengan menggunakan rezim perlindungan merek yang berlaku, menggugat demi uang. "Iktikadnya buruk. Karena itu, kami juga meminta pembatalan merek itu lewat pengadilan," katanya.

Menurut dia, sebagai individu, Yon juga tidak berhak memberikan "gelar" CPHI. "Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, universitaslah yang berhak memberikan gelar profesional," katanya. Atma Jaya juga menelisik situs-situs yang mempromosikan merek Yon ini. "Kami menemukan, ternyata situs Yon itu dibuat pada 2012," ujar Prajaka.

Adapun Bambang Siswanto membantah jika kliennya dituding melakukan gugatan ini demi uang. "Yon hanya ingin melindungi ide dan hasil karyanya," katanya.

Kepada Tempo, pakar yang juga konsultan HAKI, Gunawan Suryomurcito, menyatakan sebuah merek yang sudah terdaftar tetap bisa dibatalkan dengan tiga alasan: didaftarkan dengan iktikad tidak baik, memiliki persamaan dengan merek yang sudah terdaftar lebih dulu, atau tidak memiliki daya pembeda.

Dalam kasus merek CHRP, kata dia, untuk membuktikan iktikad tidak baik, bisa dilakukan survei terhadap alumnus program CHRP masing-masing. "Misalnya, dari sisi jumlah, mana yang lebih banyak, atau juga ditanyakan, mana yang terkenal lebih dulu di antara keduanya."

Menurut Gunawan, hakim bisa memakai ketentuan Pasal 5 huruf d Undang-Undang Merek untuk memutus perkara ini. Pasal ini menyatakan merek yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, tak bisa didaftarkan. "Kalau namanya sama dan menunjukkan jenis jasa, pendaftaran merek oleh Yon Nofiar bisa dibatalkan dan keduanya bisa menggunakan merek tersebut," kata Gunawan.

LRB/Bernadette Christina Munthe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus