Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cara Profesor Tak Selalu Cocok

Wawancara dengan menteri tenaga kerja, Sudomo tentang masalah ketenagakerjaan di Indonesia. (nas)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBIASAAN lamanya semasa masih menjabat Wapangab/Pangkopkamtib rupanya diteruskan. Sekitar pukul 6.15 pagi, mobil Volvo B-33 Menteri Tenaga Kerja Sudomo sudah parkir di halaman depan gedung Departemen Tenaga Kerja di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Sejak dulu Sudomo dikenal betah bekerja di kantor sampai malam hari. Ada yang menganggap tindakan Sudomo sebagai menteri Tenaga Kerja, antara lain membuka Kotak Pos 555 serta membentuk Pusat Pengelolaan Krisis Masalah Ketenagakerjaan, bergaya Pangkopkamtib. Sudomo membantah. "Departemen Tenaga Kerja ini departemen sipil," katanya. Diakuinya, memang banyak kebijaksanaannya yang sekarang bersumber pada pengalamannya semasa menjabat Kopkamtib. "Mungkin gaya yang dimaksud itu cara bekerja saya yang operasional cepat, turun ke bawah dan mengikutsertakan masyarakat. Cara itu memang saya lakukan di Kopkamtib dulu," ujarnya. Toh Sudomo dalam jabatan sipilnya kini, seperti diungkapkannya dalam berbagai kesempatan, merasa lebih santai. Mengenakan stelan safari abu-abu, pekan lalu di kantornya Menteri Sudomo diwawancarai Susanto Pudjomartono. Sementara itu, tatkala mengunjungi Sala pekan lalu, ia juga dicegat Saur Hutabarat. Berikut sebagian dari percakapan Sudomo dengan kedua wartawan TEMPO itu. Bagaimana Bapak melihat masalah ketenagakerjaan di Indonesia saat ini? Itu tidak bisa dilepaskan dari tiga peranan Depnaker. Pertama, mewujudkan hubungan industrial antara pengusaha dan karyawan yang serasi, aman, dinamis, dan mantap berdasar Pancasila. Ini kunci. Kalau tak ada ini, tak ada ketenangan. Dan ini ada kaitannya dengan trilogi pembangunan. Kedua: adanya angkatan kerja yang disiplin, produktif, dan terampil. Yang ketiga, membina untuk dapat meningkatkan kesejahteraan, keselamatan kerja dan kesehatan para karyawannya. Apa konsep Bapak untuk menangani masalah tersebut? Pertama, harus diwujudkan suatu perencanaan kerja nasional. Artinya, harus diketahui berapa angkatan kerja kita, berapa penganggur, berapa yang harus disediakan lapangan kerja, dan bagaimana menyiapkannya. Untuk ini perlu ada mekanisme koordinasi dengan departemen lain. Tugas Depnaker adalah merencanakan, menyiapkan, dan membina tenaga kerja, dus memberikan latihan dan keterampilan, dan kemudian menyalurkan, menempatkan, dan membina mereka. Tapi penciptaan lapangan kerja adalah tugas departemen lain. Ada yang berpendapat pemerintah selama ini lebih memberi hati pada pihak pengusaha demi terjaganya iklim berusaha yang lebih baik. Itu tidak benar. Yang penting kan penciptaan lapangan kerja. Siapa yang menciptakan? Ya perusahaan tentunya. Sedang karyawan kan unsurnya, sebagai pengisi. Hubungan antara keduanya harus dipelihara dan ditingkatkan. Saya hanya melindungi pengusaha dan karyawan yang baik. Ada pengusaha yang memang tidak benar, misalnya yang tidak memenuhi ketentuan upah minimum. Buruh yang tidak benar juga ada, yang mogok misalnya. Konflik perburuhan selama ini terasa meningkat. Bagaimana Bapak melihatnya? Konflik sekarang ini boleh dikatakan 70% karena soal pengupahan. Masalahnya adalah: karyawan ingin memperoleh upah yang layak. Secara menyeluruh ini menyangkut kesejahteraan karyawan. Tapi kesejahteraan ini tidak begitu saja datang dari langit. Ini hanya bisa dicapai dengan kerja keras, dengan meningkatkan produktivitas. Karena itu saya selalu mengemukakan agar karyawan selalu meningkatkan pendidikan dan keterampilan mereka. Hanya dengan begitu mereka bisa menuntut upah dan tingkat hidup yang lebih baik. Caranya? Antara lain melalui BLK (Balai Latihan Kerja). Sekarang ada 34 BLK di seluruh Indonesia. Tahun ini akan diselesaikan 120 lagi. Dananya diambil dari 10 persen dana padat karya yang Rp 30 milyar itu. BLK sebagai tempat latihan padat karya di kota akan diwujudkan di Jakarta bulan ini. Tak perlu feasibility study dulu. Cara profesor tak selalu cocok. Dengan BLK ini, prinsipnya tidak memberi ikan kepada karyawan tapi memberi alat pancing. Sebaiknya perusahaan juga menyisihkan sebagian keuntungannya untuk meningkatkan produktivitas karyawannya. Ketentuan mengenai ini sedang dipikirkan. Usaha swasta yang baik untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan -- seperti kursus montir atau bahasa -- nanti akan diberi sertifikat, dan diakui. Banyak yang mengatakan para pencari kerja Indonesia umumnya bermental priyayi. Betulkah? Mental tidak mau bertangan kotor ini memang harus diubah. Ini masalah watak. Harus ditanamkan sejak taman kanak-kanak agar orang mau bekerja kasar. Pendapat Bapak tentang FBSI? FBSI itu sebenarnya kekuatan sosial yang mempunyai tugas untuk memberikan pendidikan politik pada para anggotanya. Artinya supaya mereka mengerti hak dan kewajibannya sebagai warga negara Pancasilais dan ikut serta dalam pembangunan nasional. Selain itu juga membina mereka agar menjadi tenaga kerja yang produktif dan disiplin. Tapi kalau saya lihat masih adanya pemogokan dan banyaknya yang belum ikut penataran P-4, berarti tugas ini belum berjalan. Saya juga melihat masih ada (di FBSI) yang menganggap buruh -- ini istilah lama -- harus merupakan kelas tersendiri, yang tertekan dan harus berkonfrontasi dengan pengusaha dan pemerintah. Ini harus dirombak. Mereka harus mengerti langkah yang akan diambil pemerintah. Kalau FBSI tidak bisa menyesuaikan diri dengan langkah Depnaker, saya khawatir mereka akan ketinggalan. Tentang penggantian istilah buruh itu? Istilah itu secara mental ideologis memang lebih tepat diganti menjadi karyawan atau pekerja. Pak Agus Sudono sudah setuju. Apakah nama FBSI akan diganti, itu menunggu kongres yang akan datang. Berapa sebenarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia? Diperkirakan sekitar 60 juta, pertambahannya tiap tahun 2 juta. Dan 53% dari jumlah tenaga kerja itu berumur 10-25 tahun. Angkatan kerja kita sama dengan konsentrasi penduduk: 80% ada di desa. Persoalan kita sebetulnya, selain memberi lapangan kerja baru, juga meningkatkan pendapatan mereka yang masih rendah, misalnya petani. Mereka 11 juta jumlahnya, dan umumnya memiliki sawah kurang dari 0,5 hektar. Caranya antara lain lewat transmigrasi. Lalu berapa angka pengangguran? Benarkah sekitar 4% dari angkatan kerja? Itu kan kira-kira. Buat Depnaker, pengertian penganggur ya pencari kerja yang tercatat atau mencatatkan diri. Dus yang sekitar 700 ribu itu. Yang lainnya, bukan salah kami kalau mereka tidak mencatatkan diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus