SAMBIL mengacungkan jempol, Presiden Ronald Reagan tersenyum lebar menyambut berita kemenangannya, Selasa malam pekan silam. Pada usia 73 tahun, Reagan tercatat sebagai presiden tertua dalam sejarah Amerika Serikat yang pernah terpilih untuk masa jabatan kedua. Keberhasilannya pun amat mengesankan. Ia mengumpulkan suara dewan pemilih (electoral vote) 525 lawan 13 di 49 dari 50 negara bagian. Tak pelak lagi Reagan menang mutlak. Sedangkan lewat pemilihan langsung yang dikenal sebagai popular vote, calon Partai Republik itu mengumpulkan 53.428.357 suara (59%), sementara penantangnya, Walter F. Mondale, hanya mengantungi 36.930.93 suara. Mengulang apa yang acap kali dilontarkannya dalam kampanye, Reagan bicara lagi tentang harapan, impian, dan api padang prairi yang tak pernah padam. Dengan pesan-pesan yang mudah dipahami, ia berhasil merebut lagi kepercayaan rakyat. Banyak orang mengaitkan keberhasilan Reagan dengan kemampuannya sebagai aktor dan komunikator. Itu tidak sepenuhnya benar. Soalnya, calon Partai Demokrat, pasangan Walter Mondale--Geraldine Ferraro, dianggap lemah karena tidak tepat membaca kebutuhan dan tuntutan rakyat Amerika masa kini. Slogan Mondale, "menciptakan masyarakat lebih baik dengan kemakmuran lebih merata", dianggap rakyat, kuno. Dirundung resesi ekonomi dan inflasi serta ditambah rasa malu akibat penyanderaan diplomat mereka di Iran, akhir 1979, yang tetap menggores, rakyat Amerika cuma mengharapkan dua hal: kelonggaran wewenang pemerintah pusat dan kejayaan Amerika di dunia internasional. Pemerintahan Reagan berhasil memperjuangkan keduanya kendati belum sempurna. Yang baru dicapai pemerintahan Reagan, laju inflasi turun dari 14% menjadi 4%, tingkat suku bunga merosot dari 20% ke 13%. Serentak dengan penyehatan ekonomi, lapangan kerja sanggup menampung 5 juta orang, hingga pengangguran bisa ditekan dari 12 juta menjadi 7 juta. Di bawah Reagan hidup di AS mulai terasa cerah, dan rakyat tidak ingin menukarnya dengan memilih seorang seperti Mondale, yang bicara tentang kenaikan pajak dan pemerataan lebih baik tanpa program yang meyakinkan. Isu defisit dan kegagalan politik luar negeri Reagan baik di Libanon maupun di meja perundingan nuklir ternyata tidak dihiraukan betul oleh pemilih. Mereka menutup mata terhadap tragedi Beirut dan ancaman nuklir, bahkan defisit yang menggunung sampai US$ 180 milyar itu tidak digubris. Dilihat dari segi ini, Mondale bisa dikatakan tergelincir dalam strategi. Lebih dari pemilu terdahulu, kompetisi presiden kali ini condong memperkelahikan citra, bukan isu. Dalam situasi demikian. Reagan yang dijuluki Preslden Teflon - semata karena citranya sama sekali tidak rusak meskipun kegagalannya banyak memang terlalu kuat untuk dlkalahkan Mondale. Dalam benak orang, Reagan adalah pemimpin yang bisa menjawab tantangan zamannya. Tapi lain pula komentar surat kabar Washington Post yang menyatakan bahwa pada Reagan ada pesona memabukkan. Mungkin ini terlalu berlebihan. Tapi kenyataannya 60% pemilih muda (yang berusia 18-24 tahun), juga pemilih wanita yang diharapkan menyokong kandidat Demokrat Geraldine Ferraro, berpaling kepada Reagan. Sebaliknya Mondale mengesankan ciri pemimpin yang dikendalikan dari belakang, konon oleh serikat buruh terbesar di AS, AFL-CIO. "Bangsa Amerika tidak bisa menghargai pemimpin seperti itu," ujar Larry Sabato, ahli politik dari Universitas Virginia. Kecurigaan bahwa Mondale dikendalikan AFL-ClO agaknya terlalu dicari-cari. Namun, sejak dulu Partai Demokrat memang selalu berdiri di pihak kaum pekerja masyarakat Negro, kelompok minoritas yang belum maju. Kalaupun Mondale tergusur, bukanlah karena serikat buruh, tapi lantaran program pajak. Peningkatan pajak yang ditawarkannya untuk membendung defisit ternyata bukanlah jalan keluar yang tepat di mata rakyat. Dengan program pajak, Mondale tak ubahnya gorila berbobot 400 kg," kata seorang pengamat. "Bayangkan saja, Anda terpaksa memanggulnya ke manamana." Reagan yang disanjung puja itu juga bicara tentang pajak. Bedanya dengan Mondale, untuk mengerem defisit, Reagan akan menyesuaikan pajak, bukan menaikkan tarifnya. Penyesuaian itu persisnya bagaimana belum jelas betul. Yang pasti, program ini akan ditentang Partai Demokrat di Kongres yang mencakup dua lembaga legislatif: Dewan Perwakilan dan Senat. Kedudukan Partai Republik di Kongres memang tidak beruntung. Pemilu baru-baru ini mencatat angka mayoritas untuk Demokrat (253 lawan 182) di Dewan Perwakilan. Di Senat, Republik unggul dengan angka 53 lawan 47. Tapi mayoritas tipis ini tidak menjamin kontrol mereka di Kongres. Tak dapat tidak Reagan harus berjuang habis-habisan untuk menembus blokade Demokrat di Kongres. Tanpa itu, programnya bisa macet dan masa jabatan yang kedua bisa menyajikan gambaran suram. Peluang Reagan untuk menemt.ls dominasi Demokrat di Kongres adalah dengan merangkul orang-orang Demokrat yang agak konservatif. Seperti kata Reagan, ia akan mengembalikan program kerjanya kepada rakyat, agar memperoleh dukungan. Caranya, mungkin sekali dengan "tekanan" lewat Dewan Pemilih Presiden. (Lihat: Diagram). Dalam sistem pemilu di Amerika Serikat, yang memilih presiden bukan rakyat, tapi Dewan Pemilih. Hasil pemilihan itu disiarkan enam pekan sesudah pemilu berlangsung. Ada risiko, calon presiden terpilih tidak sama dengan calon yang diunggulkan rakyat. Kalau ini terjadi, maka kandidat yang dimenangkan Dewan Pemilih Presidenlah yang berhak dilantik sebagai kepala negara. Aneh ? Tidak juga. Dewan Pemilih sengaja dibentuk untuk mencegah salah pilih. Dengan kata lain, suara rakyat lewat pemilihan langsung tidak sepenuhnya dipercaya, khawatir mereka tergoda pesona dan popularitas calon yang jangan-jangan bisa menjerumuskan bangsa dan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini