Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARUMI Mikami tersungkur. Sekolah tempatnya mengajar di Kota Kashiwazaki tiba-tiba berderak. Rak-rak di dalam kelas terhambur ke lantai. Di luar sana, ratusan rumah dan kantor rontok, jalan-jalan retak, dan tanah gugur. Sedikitnya tujuh orang tewas dan 800 menderita patah tulang dan luka berat akibat goyangan lindu di Provinsi Niigata dan Nagano, Jepang, dua pekan lalu.
Gempa berkekuatan 6,8 skala Richter ini menjalar sampai ke reaktor nuklir di Kashiwazaki-Kariwa. Ada lidah api berkejap, juga asap hitam. Sebanyak 1.200 liter air yang mengandung radioaktif hanyut ke laut dan 40 drum berisi limbah nuklir bocor. Tokyo Electric Power Company (Tepco)—perusahaan listrik negara yang mengelola reaktor itu—cepat menenangkan warga dengan menyatakan insiden ini tak berbahaya bagi orang atau lingkungan.
Tapi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tidak begitu saja menerima penjelasan ini. Kamis pekan lalu, mereka mengumumkan akan mengirim tim ke pembangkit nuklir terbesar di dunia itu. Pemerintah Jepang awalnya sempat menampik kedatangan badan pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa ini. Namun, setelah ditekan oleh warganya sendiri, sikap itu berubah.
Rupanya, warga Jepang mudah percaya. Kecemasan akan keamanan reaktor nuklir pun merebak ke seantero negeri. Pasalnya, ini bukanlah kecelakaan nuklir pertama di Negeri Matahari Terbit itu. Pada 2002, akibat uap panas merembes ke luar turbin, reaktor Mihama di Fukui meledak dan menewaskan empat orang. Dua tahun sebelumnya, 40 liter air yang mengandung plutonium bocor di reaktor di Rokkasho, Aomori, yang masih dalam tahap uji coba. Pada 1999, kebocoran gas di fasilitas pemrosesan uranium di Tokaimura menewaskan dua pekerja dan mengkontaminasi 600 warga.
Daftar musibah ini masih panjang lagi jika kita mundur ke tahun 1980-an dan awal 1990-an. Apalagi jika yang tidak menelan korban juga dihitung. Akibat rentetan musibah ini, dua pejabat tertinggi dan dua konsultan Tepco terpaksa mundur pada Oktober 2002. Kala itu, Presiden Tepco Nobuya Minami mengakui kemungkinan adanya kesalahan perawatan di sejumlah reaktor nuklir.
Publik Jepang pun makin gamang soal keamanan pembangkit nuklir di negeri itu. Tahun lalu, pengadilan mengabulkan gugatan warga untuk menutup reaktor nuklir di Shika, Ishikawa. Mereka cemas karena, selain berlokasi di titik rawan gempa, reaktor ini disinyalir menggunakan teknologi keamanan yang sudah ketinggalan zaman.
Negeri Matahari Terbit adalah penghasil tenaga nuklir terbesar ketiga di dunia, sesudah Amerika Serikat dan Prancis. Sejak krisis minyak dunia pada 1973, Jepang telah membangun 55 reaktor nuklir untuk memenuhi 25 persen kebutuhan listriknya. Pemerintah bahkan berencana membangun 11 lagi supaya bisa menyuplai setrum hingga 42 persen pada 2010.
Kenyataan ini bertentangan dengan semangat Jepang—sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan PBB—yang selalu menghambat pengembangan nuklir di negara lain. Yang belakangan banyak diobok-obok adalah proyek pengayaan uranium Iran dan Korea Utara. Keduanya dituding ”mengancam perdamaian dan keamanan dunia”. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bahkan menyatakan Korea Utara memasuki ”abad nuklir baru yang berbahaya”. Dua pekan lalu, Pyongyang dipaksa menutup lima reaktor nuklirnya.
Namun, terhadap diri sendiri, Jepang sangat penuh ”permakluman”. Pemerintah negara itu menyatakan hanya menggunakan nuklirnya untuk tujuan perdamaian. Jepang juga berkilah sudah meratifikasi Traktat Nonproliferasi Senjata Nuklir (NPT) dan mematuhi ketentuan IAEA yang menjamin peruntukan dan standar keamanan nuklir di negeri itu. Anehnya, sewaktu Iran menggunakan alasan yang sama, Jepang—dan negara anggota Dewan Keamanan PBB yang lain—menolaknya.
Untuk menampik nuklir Iran dan Korea Utara, Dewan Keamanan PBB juga membeberkan bukti-bukti penggunaan teknologi nuklir yang tak aman, yaitu meledaknya reaktor nuklir di Bhopal, India, pada 1984, dan di Chernobyl, Rusia, pada 1986. Pemerintah Jepang tampaknya lupa melongok daftar kecelakaan nuklir yang berulang kali terjadi di kampung sendiri.
Ini namanya menepuk ”nuklir” di dulang, tepercik muka sendiri.
Andari Karina Anom (BBC, Kyodo News, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo