Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI baru pukul 10.00, matahari Jakarta menyengat nian, Jumat pekan lalu. Selusin orang mencari angin di bawah rindang beringin di halaman rumah Jalan Teuku Umar 24 di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Fauzi Bowo, sang empunya rumah yang calon Gubernur Jakarta, baru saja datang dari sebuah rapat, membawa sebundel kliping koran.
Selama tiga pekan, Fauzi Bowo dan Prijanto akan bersaing melawan Adang Daradjatun dan Dani Anwar untuk merayu sekitar lima juta penduduk Jakarta agar memilih mereka, 8 Agustus nanti. Foke—sapaan akrab Fauzi—misalnya, sudah menyiapkan materi kampanyenya sejak subuh, dan kelar menjelang sarapan.
Meninggalkan meja makan, ia biasanya langsung sibuk, seperti rapat pagi itu, disusul wawancara khusus dengan sebuah stasiun radio. Menurut staf hubungan masyarakat tim kampanye Foke, Lukman Aziz, meski sibuk, bosnya tetap menyempatkan berolah raga di Balai Kota dua kali seminggu.
Pukul 11.00, mobil Foke meluncur ke Masjid Al-Hidayah, Jatipadang, Jakarta Selatan, untuk mengantarnya salat Jumat. Rencana tiba di Lapangan POMAD, Pancoran, tempatnya berkampanye, terlambat satu jam gara-gara kemacetan lalu lintas. Padahal, pengurus Partai Damai Sejahtera (PDS), salah satu pendukung Foke, sudah mengerahkan sekitar 3.000 orang untuk menyemarakkan kampanye hari itu.
Tak cuma diberi kaus, para penggembira juga diberi uang transportasi Rp 20 ribu. Namun Sekretaris PDS Wilayah Jakarta, Bernhard, menolak jika acara itu dikategorikan politik uang. ”Kami memang membagi-bagikan uang kepada kader partai,” katanya. ”Mereka kan perlu ongkos untuk datang ke sini?”
Keterlambatan Foke rupanya tak dihiraukan benar oleh peserta kampanye. ”Boro-boro tahu programnya, tampangnya saja baru liat di TV,” ujar Fitri, 25 tahun, warga Kalibata, yang hari itu datang bersama dua anaknya. Mengenakan kaus putih lengan hijau bergambar Fauzi-Prijanto, kepada Tempo ia mengaku datang karena ingin berdangdut.
Benar saja, lapangan tiba-tiba bergoyang ketika penyanyi dangdut kawakan Jaja Miharja naik panggung. ”Asyik nih, dangdutan,” kata Fajar, anak Fitri berusia 10 tahun. Jaja menyanyikan lagu khusus untuk kampanye Fauzi, Ogah Nyang Laen. Hadirin pun berjoget.
Foke dan timnya meluncur lagi ke Gelanggang Remaja Cengkareng di Jakarta Barat. Di situ para juru kampanye sudah berbusa-busa menabur janji. Tapi Endang, warga Tegal Alur, misalnya, mengaku tak mengetahui program Foke. Kepada para juru kampanye ia malah berteriak, ”Ngomong aja lu, mana dangdutnya?” Endang datang bersama empat temannya yang sama gelisah menunggu acara dangdutan.
Untuk urusan mengatur kampanye, Foke punya tim yang diketuai Asmarullah Asbah, mantan politikus Jakarta yang pernah bergabung dengan beberapa partai besar. ”Dia dipilih biar orang partai tidak saling iri,” kata seorang staf kampanye Foke. Ia punya sembilan wakil, yang diambil dari partai-partai. ”Tiap malam tim kami bertemu di Fauzi Bowo Center,” kata Bernhard, wakil ketua dari PDS.
Markas Foke di Jalan Diponegoro 63, yang disewanya sejak akhir tahun lalu. Siang malam tempat itu dipenuhi pendukung setia Foke, seperti Brigade Jakarta atau Forum Komunikasi Betawi. Dari tempat itulah segala urusan kampanye dikendalikan, mulai dari penyusunan siaran pers, jadwal, sampai urusan logistik. Tiap malam mereka membuka rapat dari 20.30 hingga menjelang subuh. ”Hari ini kami ditanya, kenapa massa ungu pendukung PDS kok sedikit,” kata Bernhard.
Di tempat lain, pasangan Adang-Dani juga membuka pagi dengan rapat. Pada 08.30, dengan Toyota Avanza, Adang bergegas meninggalkan rumahnya di Jalan Cipete 39 C, Jakarta Selatan, menuju Hotel Sari Pan Pacific di Jalan Thamrin. Selama sejam, bersama Dani dan sekitar sepuluh anggota timnya, mereka berkumpul di ruang Rama, membahas hasil kampanye.
Tim Adang-Dani dipimpin Muhammad Cholid dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)—partai tunggal pendukung mereka—dan Irfan Cholid, seorang sutradara iklan yang mereka sewa sejak September tahun lalu. Dengan kerja kreatif mensosialisasikan Adang lewat iklan maupun jejaring PKS, Irfan mengaku survei bulan lalu menunjukkan, sudah 96 persen warga Jakarta mengenal Adang.
Entah karena lapar atau memang dipesan terbatas, juadah di meja oval ruang Rama sudah tandas sebelum rapat usai. Tinggal sampah kue terserak di piring. Tak tampak pula sarapan yang disantap tim Adang-Dani, cuma teh dan kopi. Satu jam kemudian rapat diakhiri dengan pembagian tanda ”VVIP”, pengenal untuk mereka yang bisa sepanggung dengan Adang-Dani.
Dari Jalan Thamrin, mereka meluncur ke arena boling di Ancol, Jakarta Utara. Sekitar 500 warga keturunan Tionghoa siap mengelu-elukan dengan pertunjukan barongsai. Hari itu mereka salat Jumat di Masjid Kramat, Kampung Bandan, yang kesohor sebagai tempat minta berkah pada malam Jumat.
Mengenakan baju koko putih dan selendang merah, pada pukul 15.00 Adang-Dani bergerak ke lapangan bola Rindam, Condet, Jakarta Timur. Lagi-lagi kemacetan Jakarta membuat pasangan ini terlambat satu jam. Berbeda suasana dengan kampanye Foke, orang-orang yang memenuhi lapangan Rindam tetap bersemangat mengelu-elukan keduanya dengan nyanyian dan yel kampanye. Selesai di Condet, seluruh tim melepas lelah di rumah Adang, sebelum janji bertemu dengan para habib di Yayasan Darus Ihsan, Jakarta Timur, pada 21.00.
Sebetulnya, otak strategi kampanye Adang, yang pensiunan komisaris jenderal itu, adalah sesama polisi, yakni dua pensiunan inspektur jenderal (irjen) yang selalu datang dalam setiap kampanye. Orang pertama adalah Arifin, teman seangkatan Adang di Akademi Kepolisian. Keduanya lulus pada 1971.
Kepada Tempo, Arifin, yang mantan pejabat di Badan Narkotika Nasional, mengatakan karier Adang di kepolisian cukup menjadi bukti bahwa temannya itu mampu memimpin Jakarta. Arifin selalu menghadiri kampanye koleganya, tapi memilih duduk agak jauh dari panggung. ”Darah daging kami sudah menyatu sejak di Akpol,” katanya tentang Adang.
Orang kedua juga pensiunan irjen polisi, dan rekan seangkatan di Akpol, yakni Logan Siagian. Dia yang sejak delapan bulan lalu memperkenalkan rencana Adang kepada keluarga polisi dan para purnawirawan di seluruh Jakarta. Ia juga membangun jejaring dengan kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat, seperti Forum Betawi Rempug, yang telah digaetnya mendukung Adang.
Hampir setiap hari keduanya berkeliling ”membersihkan” lokasi kampanye Adang. ”Kami juga memasok Adang dengan informasi tentang lawan,” kata polisi yang pernah menjabat Kapolda Yogyakarta ini. Mengaku tidak dibayar khusus, mereka selalu mengikuti rapat evaluasi kampanye, di kantor PKS atau di rumah Adang. ”Sering kali sampai subuh,” kata Arifin.
I G.G. Maha Adi, M. Reza, Badriah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo