Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAJANI Shakya tak menyangka plesirannya ke Amerika Serikat akan berbuah kehebohan. Gadis Nepal berusia 10 tahun ini dituding telah menodai kesucian negara. Dia pun sempat terancam akan dipecat dari posisinya sebagai Dewi Perawan.
Ya, Sajani memang bukan gadis biasa. Dia adalah seorang Dewi Perawan atau Kumari untuk wilayah Bhaktapur, Nepal. Tugasnya memberikan ”berkah” untuk warga setempat. Bulan lalu, dia berkunjung ke Gedung Putih dan sekolah-sekolah di Washington dalam rangka promosi film dokumenter, Living Goddess. Para pembuat film pun sudah meminta izin pada pengurus kuil di Bhaktapur dan Kedutaan Nepal di Amerika. Namun, masalah baru muncul ketika Sajani pulang ke tanah airnya.
Memang, tiga pekan lalu, setelah orang tua dan para sesepuh menghadap Raja Nepal, Sajani batal dicopot. Ia hanya diwajibkan mengikuti upacara ”pencucian dosa”. Namun, peristiwa ini memunculkan kembali pro-kontra tentang keberadaan seorang Dewi Perawan di Nepal.
Setiap kota di Nepal memiliki Dewi Perawan. Dewi yang paling tinggi kedudukannya adalah yang bertakhta di Kathmandu, ibu kota Nepal. Gadis yang kini menjadi Kumari adalah Preeti Shakya. Lahir di Itumbahal, Kathmandu, pada September 1998, Preeti terpilih pada usia 4 tahun.
Ada sejumlah syarat yang wajib dipenuhi seorang Kumari sebelum lolos ”casting” oleh pihak Istana. Pertama-tama, jam, hari, dan tanggal kelahiran mesti dihitung supaya klop dengan sang Raja. Selanjutnya, sang calon harus memenuhi 32 battis lakshanas atau kesempurnaan fisik yang lebih dahsyat dibanding Miss Universe. Dewi Perawan tak cuma harus memiliki tinggi dan berat badan ideal, tapi juga ukuran leher, tangkai, hingga lidah yang sempurna—harus sesuai dengan ukuran yang ditentukan pihak Istana. Si calon pun mesti bersuara lembut dan berkulit halus.
Begitu ditahbiskan sebagai Kumari, Preeti pun dicabut dari keluarganya dan diboyong untuk tinggal di istana di Kathmandu. Surendra dan Reena Shakya menyambut keputusan ini dengan gembira bercampur sedih. ”Bayangkan saja perasaan seorang ibu yang akan kehilangan anaknya selama bertahun-tahun,” kata Reena. Sejak hari itu, ayah dan ibu Preeti hanya sesekali bisa bertemu anaknya. Itu pun dalam kapasitas formal: Preeti sebagai Dewi yang duduk di singgasana dan orang tuanya sebagai hamba yang meminta berkah.
Posisi sebagai Dewi akan berakhir jika si gadis mencapai usia pubertas yang ditandai dengan keluarnya darah menstruasi. Ia dianggap tak lagi suci dan akan dikembalikan ke keluarganya dengan uang pensiun maksimal 3.000 rupee (sekitar Rp 675 ribu) per bulan untuk seumur hidupnya.
Tradisi ini sudah berumur ratusan tahun dan diselimuti banyak legenda. Menurut salah satu cerita, pemilihan Dewi Perawan di Nepal dimulai pada masa Raja Jayaprakash Malla di abad ke-13. Alkisah, pada suatu malam sang raja didatangi wanita bernama Dewi Taleju. Selain memiliki kecantikan tak tertandingi, sang Dewi juga mampu membaca pikiran Raja. Sayang, Taleju menghilang dan, konon, menitis ke tubuh seorang gadis kecil dari keluarga miskin di desa.
Maka, Jayaprakash pun mencari gadis itu dan memboyongnya ke istana sebagai Dewi Perawan yang akan memberkatinya serta rakyat Nepal. Hingga zaman modern ini, di saat Nepal dilanda genjang-ganjing politik menghadapi pemberontak Maois, sang Raja tetap melanjutkan tradisi berbau mistik ini. Raja dan 22 juta rakyat Nepal tetap mengharapkan restu dari sang Kumari melalui prosesi khusus dalam Festival Indra Jatra setiap tahun.
Pernah, pada 1955, Raja Tribhuvan tidak menjalankan ritual ini dan ia meninggal dunia tak lama kemudian. Warga Nepal pun percaya ini adalah ”tulah” karena tak mendapat berkah dari Sang Dewi.
Bukan cuma doa dan restu Dewi Perawan yang dinanti. Gerak-geriknya juga akan ditafsirkan oleh Istana maupun rakyat Nepal. Misalnya, jika ia menangis atau tertawa keras, artinya akan ada yang meninggal atau sakit parah. Kalau si gadis bertepuk tangan, artinya raja akan mengalami sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya, jika sang Kumari diam dan tak menunjukkan ekspresi apa pun di hadapan umum, itu pertanda baik bahwa ia memberikan perkenan pada rakyatnya.
Prosesi memberi pangestu ini juga dilakukan Preeti Shakya di Istana. Tak cuma bagi Raja, tapi juga untuk rakyat yang setiap hari antre menunggu giliran mendapat restu dari gadis belia ini. Hidup di Istana, Preeti harus menjalani serangkaian rutinitas setiap hari. Pagi-pagi, pelayan akan mendandaninya dengan gaun merah dengan aksesori emas. Rambutnya digelung dan dahinya akan dihiasi gambar mata besar berwarna emas dan merah yang disebut agni chakcuu atau mata api. Pada pukul 9, ia akan mulai duduk di singgasana, ditemani para pendeta, untuk memberikan berkah kepada rakyat.
Lepas tengah hari, dia baru bebas dari kewajiban itu. Meski dibolehkan bermain di lingkungan Istana, Preeti dikekang sejumlah aturan. Selain mesti memakai kostum khusus yang kadang-kadang tak nyaman, ia tak boleh diterpa sinar matahari langsung, kecuali dalam perayaan-perayaan khusus yang memang mengharuskannya berada di luar ruangan. Di luar jam-jam ”dinas”, Preeti suka menghabiskan waktu dengan membongkar-pasang baju boneka dan menyantap es krim.
Sayangnya, selama ini sang Dewi tidak diizinkan pergi bersekolah atau mendapat pendidikan formal. Tak mengherankan, para ”alumni” sulit melanjutkan pendidikan yang sesuai dengan usianya. Yang sukses melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas adalah Rashmila. Dewi Perawan 1984–1991 ini mengambil jurusan Teknologi Informasi. Jika lulus nanti, Rashmila akan menjadi satu-satunya bekas Dewi yang meraih gelar sarjana.
Baru pada masa Amita Shakya—yang digantikan Preeti—seorang Dewi Perawan boleh menerima pendidikan. Orang tua Amita datang ke Istana dan memohon agar anak mereka bisa tetap belajar. Jawaban yang pertama diterima dari pihak Istana adalah, ”Anak kalian adalah seorang Dewi yang tak butuh pendidikan lagi.”
Untunglah, ayah dan ibu Amita tak surut berjuang. Mereka mengirim surat pribadi ke Raja Birendra dan keinginan mereka pun dikabulkan. Sejak saat itu, setiap Dewi akan mendapat pendidikan dengan kurikulum sekolah umum dari guru privat yang datang ke Istana. Begitu juga dengan Preeti. Meskipun tak boleh datang ke sekolah, dia tetap akan mereguk ilmu yang sama seperti murid-murid di luar sana.
Meski Istana sudah banyak melakukan reformasi, urusan Dewi Perawan ini tetap mengundang kontroversi. Seorang anggota parlemen, Bidya Bhandari, meminta tradisi Kumari dihapuskan. ”Ini adalah pelanggaran hak asasi anak dan perempuan karena si anak diambil paksa dari kehidupan normalnya,” kata Bidya.
Sapana Pradhan Malla, pengacara dan aktivis HAM Nepal, menjeritkan hal senada. Ia resah karena, setelah lama terisolasi dari kehidupan normal dan terkekang di balik tembok Istana, kebanyakan ”pensiunan” Dewi Perawan sulit menjalani hidup sebagai ”orang biasa”. Salah satunya adalah Rashmila. Ia ketakutan saat harus angkat koper dari Istana pada 1991. ”Saya tak tahu bagaimana menghadapi kehidupan baru ini. Saya mesti berjuang keras di luar sana,” katanya.
Tak cuma itu, para mantan Dewi Perawan juga diselubungi banyak mitos. Mereka sulit mendapat jodoh karena pria-pria takut menikahi mereka. Konon, lelaki yang menyunting mantan Dewi akan meninggal dalam usia muda. Walau begitu, dalam kenyataannya, banyak juga pria yang berani mengambil ”risiko” ini.
Andari Karina Anom (BBC, Kathmandu Post, India Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo