Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Membaca Fenomena Makroekonomi 2017

SEPERTI halnya hukum dan politik, fenomena ekonomi kerap menarik perhatian publik.

15 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI halnya hukum dan politik, fenomena ekonomi kerap menarik perhatian publik. Penyebabnya ada dua. Pertama, ekonomi merupakan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kedua, motif ekonomi sering berada di belakang fakta hukum dan dinamika politik. Ekonomi bisa dibahas siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Namun, agar tidak keliru, pembahasannya harus berdasarkan teori dan data.

Secara umum, fenomena ekonomi yang paling banyak dibicarakan masyarakat adalah fenomena makro. Selain karena luas, data yang tersedia cukup banyak, meski kadang terhambat keterbaruan data. Tahun ini masyarakat ramai membicarakan soal konsumsi dan defisit anggaran. Sebelum melihat data, kita perlu memahami teorinya lebih dulu. Secara teori, kedua variabel ini masuk ke sisi permintaan makro. Permintaan ini dibentuk oleh dua keseimbangan, yakni investasi dan tabungan untuk sektor riil (IS) serta permintaan dan penawaran uang untuk sektor moneter (LM). Artinya, semua orang yang ingin membahas sisi permintaan makro- seperti konsumsi dan anggaran- harus lebih dulu memahami konsep IS-LM. Konsumsi berkaitan dengan moneter karena mempengaruhi tabungan. Sedangkan anggaran mempengaruhi inflasi dan suku bunga

Konsumsi memiliki tiga sumber, yakni rumah tangga, pemerintah, dan turis asing di dalam negeri. Namun, karena variabel terakhir dicatat sebagai ekspor jasa, sumber konsumsi menjadi dua, yaitu rumah tangga dan pemerintah. Konsumsi pemerintah masuk satu konsep tersendiri, yaitu fiskal. Walhasil, yang dimaksud konsumsi di sini adalah konsumsi rumah tangga. Mari kita kunjungi datanya. Proporsi konsumsi rumah tangga semester pertama tahun ini mencapai 57 persen produk domestik bruto (PDB). Makanan dan minuman, selain restoran, menyedot porsi terbesar, yakni 39 persen. Disusul transportasi dan komunikasi 23 persen, produk industri selain makanan dan minuman 13 persen, hotel dan restoran 10 persen, pendidikan dan kesehatan 7 persen, serta pakaian, alas kaki, dan perawatan 4 persen.

Perbandingan data pertumbuhan konsumsi dan pertumbuhan total PDB (year on year/yoy) kuartal kedua 2017 menunjukkan konsumsi tumbuh 4,95 persen. Sedangkan ekonomi nasional tumbuh 5,01 persen. Pendorong pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini telah bergeser dari konsumsi ke investasi karena investasi tumbuh lebih cepat sebesar 5,35 persen. Pola ini berbeda dengan pertumbuhan kuartal kedua (yoy) 2015 dan 2014, yang penggeraknya adalah konsumsi. Periode yang sama 2016 memiliki pola berbeda. Pada periode itu, pertumbuhan ekonomi 5,18 persen bukan digerakkan oleh konsumsi (5,07 persen) dan investasi (4,18 persen), melainkan pengeluaran pemerintah sebesar 6,23 persen.

Bila melihat data pengeluaran, pertumbuhan konsumsi tertinggi kuartal kedua (yoy) 2017 bersumber dari konsumsi jasa restoran dan hotel sebesar 5,8 persen. Sedangkan proporsi terbesarnya, yaitu makanan dan minuman, tumbuh 5,24 persen atau tetap lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan terendah terjadi pada konsumsi pakaian, alas kaki, dan perawatan sebesar 3,47 persen serta produk industri non-makanan dan minuman sebesar 4,12 persen. Pergeseran cara konsumsi barang dari konvensional ke online ada kemungkinan tidak mengurangi angka konsumsi total karena yang berubah adalah cara konsumsi. Yang penting adalah bagaimana teknis membukukan datanya.

Data pertumbuhan menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga semakin bergeser dari barang seperti pakaian, sepatu, dan gadget ke rekreasi. Fenomena naiknya rekreasi terlihat dari meningkatnya konsumsi jasa transportasi dan komunikasi. Konsumsi transportasi berpotensi membuat angka pengganda konsumsi dalam negeri menurun, terutama bila warga negara Indonesia semakin banyak berlibur dan berbelanja ke luar negeri.

Artikel majalah Tempo edisi 5 Juli 2017, berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi, menulis tentang kenaikan jumlah warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan ke luar negeri pada 18 Juni-3 Juli dari 441.340 pada 2016 menjadi 492.523 pada 2017. Lonjakan lebih dari 51 ribu penumpang ini ditengarai terjadi karena periode libur anak sekolah bersamaan dengan libur Idul Fitri. Kenaikan jumlah warga Indonesia ke luar negeri mengurangi pengganda konsumsi di dalam negeri. Namun, untuk melihat dampaknya, data ini perlu dikonfirmasi dengan data kunjungan wisatawan asing ke Indonesia.

Jumlah turis asing yang masuk ke Indonesia sampai Agustus 2017 mencapai 9,2 juta dengan frekuensi tertinggi pada musim panas di utara bumi, yaitu Juli dan Agustus. Neraca Jasa Travel pada Neraca Transaksi Berjalan Bank Indonesia kuartal pertama 2017 menunjukkan lebih tingginya konsumsi transaksi travel warga negara asing ke Indonesia dibanding konsumsi travel WNI ke luar negeri. Artinya, kendati jumlah orang Indonesia ke luar negeri meningkat dibanding pada tahun sebelumnya, konsumsi warga negara asing di Indonesia tetap lebih tinggi. Data Neraca Travel menunjukkan jumlah turis asing ke Indonesia terus meningkat dari 9,4 juta pada 2014 menjadi 11,5 juta pada 2016. Dengan rata-rata pengeluaran per hari per turis yang terus naik dari US$ 117 menjadi US$ 140, dapat diperkirakan konsumsi turis Indonesia di luar negeri belum tentu menurunkan pengganda ekonomi domestik karena adanya konsumsi turis asing di dalam negeri.

Bagaimana dengan anggaran pemerintah? Teori makro memberikan "perhatian lebih" pada variabel ini. Pertama, karena ia satu di antara tiga keseimbangan makro: tabungan-investasi; penerimaan-pengeluaran pemerintah; dan keseimbangan eksternal ekspor-impor. Kedua, defisit anggaran pemerintah berpotensi- walau tidak selalu- menghasilkan crowding out, yaitu situasi ketika defisit mendorong inflasi dan kenaikan suku bunga sehingga menghambat laju investasi. Data menunjukkan inflasi semester pertama (yoy) 2017 sebesar 4,5 persen. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi 5,01 persen. Tingkat suku bunga BI 7-Day (Reverse) Repo Rate bahkan turun dua kali dalam dua bulan dari 4,75 persen pada 20 Juli menjadi 4,5 persen pada 22 Agustus dan 4,25 persen pada 22 September.

Relatif rendahnya laju inflasi dan suku bunga menunjukkan defisit anggaran pemerintah saat ini tidak bersifat crowding out pada investasi. Pada tingkat laju inflasi yang rendah ini, per Februari 2017 (yoy) ekonomi nasional mampu menyerap 4 juta pekerja (IEQ, WB). Artinya, teori Phillips, yang menyatakan penyerapan pekerja baru harus dibayar dengan laju inflasi tinggi, tidak terjadi di Indonesia. Kualitas pertumbuhan ekonomi nasional semakin baik.

Proporsi defisit anggaran pemerintah per PDB 2017 antara 2,7 persen (outlook) dan 2,9 persen (revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dengan proporsi utang publik sekitar 27,9 persen dari PDB 2016 masih berada di bawah batasan undang-undang, yakni defisit 3 persen per PDB dan utang publik 60 persen per PDB. Merujuk pada Stability & Growth Pact of the Maastricht Criteria yang menjadi standar rujukan keseimbangan sektor riil dan moneter, fiskal nasional masih terbilang cukup sehat. Indikator ini menjadi salah satu pertimbangan Indonesia menerima status investment grade pada 19 Mei lalu.

Data tingkat total tabungan per PDB menunjukkan adanya kenaikan dari 30,5 persen pada 2013 menjadi 32,15 persen tiga tahun kemudian. Bila tahun ini konsisten meningkat, dapat diperkirakan konsumsi 2018 akan lebih tinggi daripada 2017. Peluang naiknya konsumsi 2018 semakin besar karena setidaknya dipicu tiga hal, yakni pemilihan kepala daerah serentak 171 daerah pada Juni, Asian Games pada Agustus dan September, serta pertemuan tahunan 189 negara anggota Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Oktober tahun depan. Menurunnya perkiraan defisit anggaran pemerintah 2,2 persen per PDB 2018 adalah hal yang normal karena penggerak ekonomi tahun depan ada kemungkinan akan lebih banyak berasal dari konsumsi dan produksi.

Untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ini, selain disiplin fiskal, pemerintah harus terus konsisten meningkatkan daya saing sisi suplai makro melalui reformasi dan harmonisasi kebijakan, efisiensi jasa pelayanan publik, serta pembangunan ekonomi berbasis teknologi informasi dan pengetahuan. l

Pengajar FEB UI & Wakil Kepala LPEM FEB UI.

Opini pribadi, tidak terkait dengan institusi tempat penulis bekerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus