Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemakaman Kenegaraan mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang akan digelar pada hari Selasa, 27 September 2022 telah memicu reaksi publik terhadap partai berkuasa yang dipimpinnya selama bertahun-tahun, lantaran pemakaman tersebut dianggap mewah dan didanai uang pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa anggota parlemen oposisi memboikot pemakaman Abe yang diselenggarkan secara kenegaraan. Seorang laki-laki sebelumnya nekat membakar diri sebagai bentuk protes terhadap acara senilai US$12 juta atau setara dengan Rp.181 miliar.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menandatangani buku belasungkawa untuk mendiang Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di kediaman duta besar Jepang untuk Prancis di Paris, Prancis, 11 Juli 2022. Michel Euler/Pool via REUTERS
Acara pemakaman Abe akan dihadiri para pejabat asing, di antaranya Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris dan Perdana Menteri India Narendra Modi. Abe adalah mantan Perdana Menteri Jepang dengan masa jabatan paling lama, namun acara pemakamannya yang secara kenegaraan memancing kemarahan publik.
Mayoritas kubu Oposisi marah dengan mendiang Abe setelah terbongkar hubungan antara Abe, Partai Demokrat Liberal (LDP) dengan Gereja Unifikasi. LDP adalah partainya Abe dan partai berkuasa di Jepang.
Abe tewas ditembak dalam kampanye pada Juli 2022. Tersangka dalam penembakan itu menuduh Abe telah mempromosikan Gereja Unifikasi, yang para kritikus menyebutnya aliran sesat karena pernikahan massal dan taktik penggalangan dana yang agresif.
Menurut polisi, tersangka mengatakan Gereja Unifikasi telah memiskinkan keluarganya. Sejak itu, penyelidikan oleh LDP telah menyimpulkan ada 179 dari 379 anggota parlemen telah berinteraksi dengan gereja tersebut.
Naiknya biaya pemakaman kenegaraan Abe, yang diperkirakan pemerintah sebesar $ 11,5 juta atau setara dengan Rp.174 miliar, seperti menyiram bensin ke api yang berkobar apalagi saat ini banyak warga Jepang menghadapi kesulitan ekonomi.
Pemerintah Jepang terakhir kalinya mendanai sepenuhnya pemakaman seorang perdana menteri adalah untuk Shigeru Yoshida pada 1967. Pemakaman berikutnya telah dibayar oleh negara dan LDP.
Perdana Menteri Fumio Kishida mengumumkan niatnya untuk menjadi tuan rumah pemakaman kenegaraan enam hari setelah Abe dibunuh. Pada saat itu berdasarkan jajak pendapat, publik terbelah. Ada yang mendukung acara tersebut, ada yang tidak.
Tetapi ketika bukti hubungan antara LDP dan Gereja Unifikasi meningkat dan perkiraan biaya pemakaman meningkat, pendapat masyarakat berubah lagi. Sekitar 62 persen responden dalam jajak pendapat baru-baru ini oleh surat kabar Mainichi menolak acara pemakaman Abe. Alasannya, Abe dianggap tidak layak mendapat acara kehormatan yang harganya mahal.
Masalah ini telah memukul peringkat dukungan pada Perdana Menteri Kishida. Dukungannya turun menjadi 29 persen dalam jajak pendapat Mainichi baru-baru ini. Peringkat itu bisa menjadi tanda bahaya yang berarti pemerintah mungkin mengalami kesulitan dalam menjalankan agenda politiknya.
Kishida telah meminta maaf dan berjanji untuk memenangkan kembali kepercayaan publik dengan meminta anggota parlemen LDP untuk memutuskan hubungan dengan Gereja Unifikasi. Dia telah mengakui pemakaman tersebut tidak memiliki dukungan publik yang luar biasa tetapi telah berulang kali berusaha untuk membenarkan keputusannya.
Kishida memuji kontribusi domestik dan diplomatik Abe serta warisan masa jabatannya yang panjang sebagai alasan mengapa pemakaman kenegaraan diperlukan. Selama dua masa jabatannya dari 2006 hingga 2007 dan 2012 hingga 2020, retorika nasionalis Abe dan kebijakan pertahanan yang kuat membuat banyak orang Jepang waspada terhadap perubahan apa pun pada konstitusi pasifis negara itu yang disusun setelah Perang Dunia Kedua.
REUTERS | NESA AQILA
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.