Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjuangan panjang sejumlah negara dan pegiat lingkungan mencegah perburuan paus di Antartika oleh Jepang bermuara di Belanda. Australia, penentang tergarang, menyeret Jepang ke Mahkamah Internasional di Den Haag.
Perdebatan sengit merebak di persidangan pada akhir Juni hingga pertengahan Juli lalu. Australia menuduh Jepang berusaha menutupi praktek penangkapan paus dengan dalih tujuan ilmiah. "Padahal itu sama sekali tidak ilmiah," kata penasihat hukum pemerintah Australia, Bill Campbell, kepada 16 hakim dalam salah satu sidang.
Menurut Campbell, Jepang memburu paus untuk tujuan komersial. Dagingnya dijual. Ia mencatat Jepang telah membantai lebih dari 10 ribu paus sejak 1988.
Australia mendapat dukungan Selandia Baru ketika persidangan memasuki pekan ketiga. Penasihat hukum Selandia Baru, Penelope Ridings, mengatakan izin khusus untuk Jepang masih dianggap kontroversial oleh Komisi Paus Internasional.
Gugatan hukum ini hanya salah satu upaya mencegah perburuan paus oleh Jepang. Upaya lain dilakukan Sea Shepherd Conservation Society (SSCS), organisasi antiperburuan paus yang berpusat di Amerika Serikat. Mereka selalu mengganggu operasi perburuan paus oleh Jepang.
Bentrokan pun sering terjadi. Insiden terakhir muncul pada akhir Februari lalu, ketika aktivis senior anti-perburuan paus, Paul Watson, bersama kapal Bob Barker milik SSCS ditabrak kapal pemburu paus Jepang, Nisshin Maru, di dekat Antartika.
Jepang menyangkal tuduhan kedua negara itu dan balik menuding Australia menghina martabat negaranya. Pengacara pemerintah Jepang, Payam Akhavan, mengatakan Australia telah menuduh Jepang membohongi dunia. "Ini tuduhan serius," ujarnya. Pengacara lainnya, Vaughan Lowe, mengatakan pencarian bukti ilmiah tanpa membunuh paus adalah hal naif.
Perburuan paus di Antartika telah menjadi sengketa sejak bertahun-tahun silam. Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan tak ada yang bisa menghentikan perburuan paus itu.
Bagi Jepang, protes atas perburuan paus merendahkan budaya Jepang. Menurut Hayashi, ada semacam tradisi yang panjang dari perburuan paus. "Jepang adalah negara kepulauan yang dikelilingi laut. Jadi, mendapatkan protein yang cukup dari lautan sangat penting."
Tokyo memang telah menghapus perdagangan paus sejak 1986 setelah menyetujui moratorium global. Namun perburuan tetap dilakukan dengan berlindung di balik kepentingan ilmiah. Menurut Kementerian Luar Negeri Jepang, tujuan perburuan adalah untuk meneliti faktor biologis paus, seperti komposisi umur, kematangan seksual, dan tingkat kehamilannya.
Perburuan paus sudah dimulai sejak abad ketujuh selama periode Yamato-Asuka di era Jepang kuno. Berbagai dokumen sejarah Jepang menyebutkan kaisar pertama Jepang, Kaisar Jimmu, makan daging paus. Kebiasaan ini bertahan hingga era modern, sampai muncul pepatah, "tak ada yang dibuang dari paus, kecuali suaranya". Kala itu, cara penangkapan paus masih sederhana, yakni dengan harpun.
Memasuki abad ke-20, mereka menggunakan kapal-kapal canggih. Jangkauan wilayah perburuan pun meluas. Bahkan program penangkapan paus sempat menggunakan dana rekonstruksi pasca-tsunami 2011 dengan dalih memulihkan perekonomian wilayah pesisir. Kapal pemburu paus terkadang dikawal kapal penjaga pantai dan patroli laut.
Setiap tahun Jepang menggelar ekspedisi tahunan perburuan paus di Antartika. Perburuan terakhir pada 18 April-3 Juni lalu menjaring hanya 34 paus, paling sedikit sejak program itu dimulai pada 2003.
Mahkamah akan mengeluarkan putusannya pada Agustus atau September ini. Pengadilan yang merupakan organ dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ini telah menangani berbagai kasus sengketa hukum yang diajukan oleh negara. Salah satunya sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia pada 2001.
Harun Mahbub (AP, ABC, BBC, VoA, Radio Australia, The Independent)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo