Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BASUKI Tjahaja Purnama menceritakan satu anekdot untuk menggambarkan posisinya dalam penertiban Pasar Tanah Abang, Jakarta. Seorang nenek jatuh ke laut dari kapal yang dijubeli penumpang. Tak ada seorang pun yang menolongnya hingga seorang pemuda melompat ke air. Penumpang bersorak, menghujani pemuda itu dengan puja-puji.
Kata Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta itu, bukannya bangga, si pemuda marah-marah: "Tadi siapa yang mendorongku ke laut?" Sambil terbahak, ketika menerima Tempo di kantornya, Selasa pekan lalu, Basuki berkata, "Nah, saya seperti pemuda itu. Telanjur kecemplung di Tanah Abang."
Lantaran sudah dipilih memimpin Jakarta, kata Basuki, mau tak mau ia mesti membenahi persoalan yang merongrong. Salah satunya kemacetan. Basuki dan Gubernur Joko Widodo yakin bahwa macet di jalanan Ibu Kota bisa lumayan terurai bila pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan ditertibkan.
Maka, sejak 3 Juni lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membereskan Pasar Tanah Abang, Pasar Minggu, dan Jatinegara. Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta meminta pedagang tak lagi membuka lapak di badan jalan. Mereka dianggap sebagai penyumbat utama arus lalu lintas di wilayah itu. "Itu titik-titik yang PKL-nya perlu ditata," ujar Gubernur Jokowi pada hari pertama penertiban.
Tak gampang membereskan keruwetan di tiga pasar itu. Yang paling pelik terjadi di Tanah Abang. Di sentra konfeksi terbesar di Asia Tenggara ini, sekitar 700 pedagang menolak dipindahkan dari Jalan Kebon Jati ke Blok G. Mereka takut dagangannya tak laku. Alasan lain, pedagang sudah telanjur membayar uang keamanan yang jumlahnya tidak sedikit.
Sejumlah pedagang mengatakan sehari-hari mereka dikenai pungutan Rp 25-50 ribu oleh "anak wilayah—sebutan untuk pemuda asli Tanah Abang. Duit itu untuk "uang keamanan", "uang kebersihan", dan "uang gelar meja". Ema, pedagang baju di tepi Jalan Kebon Jati, sampai sering bersitegang dengan para pemungut. Ia mengaku sudah 25 tahun berjualan di Tanah Abang dan pernah punya kios di Blok A—sebelum dilalap api pada 2003.
Setiap bulan ia juga merogoh Rp 500 ribu untuk membayar "sewa" lapak. Menjelang Lebaran seperti kemarin, ia juga ditagih Rp 3,5 juta untuk "uang pemutihan". "Agar saya tidak kehilangan tempat berjualan setelah Lebaran," kata perempuan itu. "Kalau saya tidak bayar, pedagang lain yang akan menempati." Eneng, juga pedagang kaki lima di Kebon Jati, membayar uang pemutihan Rp 4 juta. "PKL mah diperas terus," ujarnya.
Pada awal Agustus lalu, Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap 48 pria yang diduga preman Tanah Abang. Belakangan, "anak wilayah" itu dilepaskan lagi. Tapi, dari mulut mereka, polisi mengorek sejumlah modus pemalakan, baik kepada pedagang maupun pengunjung pasar. Kepada para pedagang, modusnya serupa dengan yang dibilang Ema dan Eneng. Adapun pengunjung ditagih tarif parkir yang tinggi.
Muhammad Yusuf bin Muhi alias Bang Ucu Kambing, bekas penguasa Tanah Abang, menuding "anak wilayah" adalah binaan Abraham Lunggana alias Haji Lulung, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta yang juga pengusaha di pasar tekstil itu. Lama tak bertandang ke sana, Bang Ucu Kambing mengatakan tak mengetahui berapa uang yang dipungut dari pedagang.
Wakil Gubernur Basuki mendengar ada pedagang yang membayar uang tahunan Rp 12-14 juta. Lantaran sudah menyetor kepada preman, pedagang merasa ada yang membekingi. Kepada wartawan di Balai Kota Jakarta, Ahok mengatakan akan memecat pegawai negeri yang menerima setorÂan. Wartawan kemudian bertanya, bagaimana bila ada anggota Dewan di belakang preman. "Kalau ada, berarti dia bodoh karena enggak baca perda," kata Basuki pada 25 Juli lalu.
Jawaban Basuki membuat merah kuping Haji Lulung. Anggota Dewan dari Partai Persatuan Pembangunan itu merasa ucapan Ahok ditujukan kepadanya. "Wakil Gubernur harus diperiksa kesehatan jiwanya," ujar Ketua PPP Wilayah DKI Jakarta itu. Sejumlah orang yang mengatasnamakan warga dan pedagang Tanah Abang menggeruduk Balai Kota menuntut Ahok meminta maaf kepada Lulung.
Sebelum jadi anggota Dewan, Lulung sudah jadi pentolan Tenabang. Perusahaannya—PT Putraja Perkasa, PT Tujuh Fajar Gemilang, dan PT Sakom Nusantara—mengambil alih kekuasaan Bang Ucu Kambing dalam bisnis parkir dan jasa keamanan. Mengklaim mempekerjakan 7.000-an pegawai, Lulung kini memegang pengelolaan keamanan Blok A hingga F Tanah Abang.
Menguasai Tanah Abang lewat jalur resmi, Haji Lulung mengaku tak bermain di kaki lima. Pengamanan lapak di tepi jalan, kata Lulung, murni dipegang "anak wilayah", yakni RW 001, RW 004, RW 007, dan RW 009 Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang. Mereka menguasai hampir setiap jalan dan semua blok di sana, kecuali kawasan Bongkaran, tempat prostitusi kelas teri, tak jauh dari Stasiun Tanah Abang. "Itu wilayah tak bertuan," katanya.
Lulung, yang asli Tenabang, menyanggah bila pungutan oleh "anak wilayah" disebut praktek premanisme. Setiap calon pedagang kaki lima yang datang ke Tanah Abang, ujar Lulung, biasanya mencari warga lokal lebih dulu. "Emang bisa ente cari tempat sendiri? Nah, pasti ente cari orang di situ. Ketemulah. Lalu, misalnya, sepakat tiga bulan sewa: satu juta, dua juta, lima ratus ribu. Lalu ada keamanan, kebersihan." Transaksi antara pemuda setempat dan pedagang, kata Lulung, "Mau sama mau."
Ia mengatakan pengepul pungutan adalah kepala kelompok pedagang kaki lima. Kepala kelompok ini kemudian menyetorkan pungutan kepada "anak wilayah". Dari situ, ujar Lulung, uang bisa mengalir ke ketua RW, lurah, "Dan kemudian, dan kemudian…." Lulung menolak menyebutkan pejabat lain yang ikut menikmati setoran. Ketua RW 001 Achya Idris membantah menerima setoran. "Sedikit pun enggak ada."
Menurut Lulung, jumlah pemuda Tanah Abang yang mengurusi pedagang kaki lima tak banyak. "Paling 30-an," katanya. Menolak disebut membekingi preman, Lulung mengaku ikut menentukan siapa saja yang bisa menjadi "anak wilayah". "Saya panggil satu-satu. Kamu, kamu, kamu…, tujuh-delapan orang dari tiap RW." Ia mengatakan hanya sedikit tokoh di sana yang suaranya didengar, termasuk dirinya.
Meski berseteru dengan Ahok, Lulung tak keberatan pedagang kaki lima ditertibkan. Ia mengklaim ikut turun ke Tanah Abang mengimbau pedagang agar mau ditertibkan. Persoalan dengan Ahok ia sebut hanya masalah komunikasi. "Pak Ahok kalau bicara kurang menjaga norma," ujarnya. Di lapangan, ia mengatakan "anak wilayah" hanya memanfaatkan amburadulnya pengelolaan Tanah Abang.
Haji Lulung yakin "anak wilayah" tak akan macam-macam lagi asalkan mereka diberdayakan. Lulung menyarankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merekrut mereka sebagai petugas keamanan resmi.
Gubernur Joko Widodo mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serius membenahi pasar tersebut. Setelah pedagang kaki lima dipindahkan dari Jalan Kebon Jati ke Blok G, pemerintah akan membangun jembatan antarblok. Dalam rencana yang telah disusun, Tanah Abang ditargetkan jadi salah satu pusat grosir Asia dalam jangka waktu 15 tahun dari sekarang. Jokowi berniat mempercepatnya jadi tujuh tahun lagi. "Semua produk dalam negeri ada di situ. Kerajinan, cendera mata…."
Dengan pasar yang tertata bagus dan dagangan yang harganya murah, Jokowi berharap kelak Tanah Abang bisa menarik wisatawan. Tidak cuma dari dalam negeri, tapi juga dari mancanegara. "Yang datang bisa jutaan orang. Maka Tanah Abang harus aman, tidak ada tukang palak."
Jokowi mengatakan sudah memiliki informasi siapa saja yang bermain di Tanah Abang. Menurut dia, wajar Tanah Abang diperebutkan, karena besarnya perputaran uang di sana. "Kue ekonomi ada yang menguasai dan dibagi-bagi." Jokowi menolak menyebut siapa saja penguasa Tenabang.
Untuk sementara, Jokowi berfokus memindahkan pedagang dari jalan ke Blok G. Alasan lain mereka menolak dipindahkan ke sana adalah kondisi bangunan yang memprihatinkan. Selain gedungnya gelap dan kotor, bau bacin menusuk hidung. Pemerintah kemudian membongkar saluran drainase Blok G dan menutup rumah jagal di sebelah gedung.
Tanpa diketahui banyak orang, hampir tiap malam, sekitar pukul 12, Jokowi datang ke Blok G mengawasi renovasi. Dengan begitu, tak ada pekerjaan yang macet. Ia mencontohkan, pada Senin pekan lalu semestinya Blok G mulai dicat. Pekerjaan tak dimulai karena ternyata cat belum tersedia. Jokowi kemudian menyuruh anak buahnya membeli 40 kaleng cat hitam dan putih saat itu juga. "Kami mengecat malam-malam. Semua dicat sampai nanti orang takjub."
Jokowi yakin semua pedagang kaki lima kebagian kios di Blok G. Dari 1.300, ada ratusan kios tanpa penghuni. Pada waktu pendaftaran memang hampir 1.200 orang menyatakan berminat. Tapi, setelah pendataan ulang, ternyata yang betul-betul pedagang sampai Kamis pekan lalu hanya 400-an. Rupanya, kata Jokowi, tak semua pendaftar adalah pedagang. "Makelarnya banyak."
Sebagaimana Jokowi, Wakil Gubernur Basuki bertekad maju terus meski menyenggol banyak kepentingan. Tidak hanya menertibkan pedagang kaki lima, ia pun bermaksud mengatur pusat-pusat belanja modern yang menjadi sumber kemacetan. "Saya dipilih untuk membenahi Jakarta. Saya bukan pemberani, tapi saya sudah telanjur kecemplung ke laut."
Anton Septian, Maria Hasugian, Linda Trianita, Widiarsi Agustina
Ada Pungutan di Tenabang
DIBANGUN oleh saudagar Justinus Vinck pada 1735, Pasar Tanah Abang menjadi pusat bisnis retail yang konon terbesar di Asia Tenggara. Ketika memperoleh izin dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Abraham Patram pada 30 Agustus 1735, Vinck menjadikan kawasan itu sebagai tempat pemasaran tekstil dan barang kelontong. Perdagangan terus berkembang, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin membangun empat blok di lokasi yang sama pada 1973.
Sementara bisnis berputar dengan omzet besar di dalam, "bisnis" lain berputar di luar bangunan pasar, tempat ribuan pedagang kaki lima berjualan hingga badan jalan. Untuk bertahan, mereka membayar aneka pungutan liar.
Pasar Tanah Abang
Luas area: 39.000 meter persegi
Luas bangunan: 82.386,5 meter persegi
Kios
Pedagang Kaki Lima
Pemegang KTP Jakarta: 470 pedagang
Pendatang: 785 pedagang
Jenis
Aneka Modus
Menurut Kepolisian Daerah Metro Jaya, ada lima modus pemungutan liar.
Jatah timer
Pungutan Rp 500-1.000 kepada setiap angkutan umum yang melintas di kawasan Tanah Abang. Satu kelompok pemungut memperoleh Rp 1 juta setengah hari.
'Upeti' pemilik lapak
Para pemilik lapak di lokasi strategis diwajibkan menyetor uang setiap bulan. Upeti seluruh pedagang terkumpul Rp 30 juta.
Parkir liar
Preman mematok tarif parkir, dari yang lazim Rp 2.000 menjadi Rp 10.000 per jam.
'Jalan tol'
Setiap mobil yang lewat mesti membayar untuk memperoleh layanan "jalan cepat". Jika tidak membayar, cat mobil akan dibaret.
Jasa pengamanan pedagang
Preman di Tanah Abang punya wilayah masing-masing, dan memungut uang pengamanan di situ.
Aliran Uang
Pedagang kaki lima ==> Pemungut lapangan ==> 'Anak wilayah' (sebagian binaan Abraham Lunggana alias Lulung) (Terbagi berdasarkan rukun warga), RW 1 + RW 4: Pedagang kaki lima di sepanjang Stasiun Kereta Api Tanah Abang, RW 7 + RW 8: Pedagang di lokasi Tanah Abang Bukit hingga ke Masjid Al-Makmur ==> Koordinator pedagang (30 orang) ( Pengurus RW, Satpol Pamong Praja, Polisi, PD Pasar Jaya )
Jawara Tenabang
Jejak sosok yang pernah berkuasa di Pasar Tanah Abang dalam dua dekade terakhir.
Rozario Marshal alias Hercules
Lahir di Dili, Timor Leste, 1968, Hercules pertama kali masuk ke Jakarta pada 1987 dibawa oleh Kolonel Purnawirawan Gatot Purwanto, anggota pasukan khusus. Dengan mengusung Kelompok Timor, dia menguasai kawasan Bongkaran dan Pasar Tanah Abang.
Muhammad Yusuf Muhi alias Bang Ucu Kambing
Mantan pedagang kambing di Pasar Tanah Abang ini muncul setelah menyingkirkan kelompok Hercules pada 1996. Melahirkan organisasi masyarakat Ikatan Keluarga Tanah Abang, Ucu menjadi penguasa tunggal tidak hanya di Tanah Abang, tapi juga di sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta.
Abraham Lunggana alias Haji Lulung
Merintis "karier" sebagai anak jalanan dan bergabung dengan kelompok Hercules, jalan Lulung mulus hingga menjadi Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Ia terpilih melalui Partai Persatuan Pembangunan. Pada 2000, ia mengambil alih kekuasaan Ucu dengan menguasai bisnis perparkiran dan penyedia jasa keamanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo