Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Tersebab Sekutu Dua Jenderal

Gelombang pengungsi Myanmar terus mengalir ke Thailand menyusul terjadinya pertempuran di dekat perbatasan kedua negara. Thailand masih bersikap lunak dalam menghadapi junta militer Myanmar.

5 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Militer Myanmar terus menggempur daerah-daerah yang dikuasai milisi etnis bersenjata di dekat perbatasan dengan Thailand.

  • Thailand berjanji membantu para pengungsi dari Myanmar.

  • Relasi dekat militer kedua negara membuat Thailand bersikap lunak merespon kudeta.

PERTEMPURAN kembali berkobar di Desa Phlu, Negara Bagian Kayin, Myanmar, pada Rabu, 2 Juni lalu. Tentara Myanmar alias Tatmadaw menyerang aliansi milisi etnis bersenjata yang menentang kudeta dan junta militer. “Jika dewan militer terus menyerang, kami akan melawan hingga mereka menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah yang sah,” kata salah satu petinggi aliansi Brigadir Jenderal Saw Kyaw Thet, seperti dilaporkan The Irrawaddy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kyaw Thet memimpin pasukan Tentara Buddist Karen Demokratik (DKBA) yang bergabung bersama Tentara Nasional Pembebasan Karen dan Organisasi Pertahanan Nasional Karen. Dalam aliansi itu juga ada Pasukan Pertahanan Rakyat yang dibentuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah tandingan junta. Sekitar 50 personel Pasukan Penjaga Perbatasan Kayin, salah satu unit Tatmadaw, pun membelot. “Mereka bergabung bersama kami karena menentang rezim militer,” ujar Kyaw Tet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang antara militer dan aliansi milisi itu memaksa lebih dari 400 penduduk Desa Phlu mengungsi dengan menyeberang ke wilayah Thailand. Negara Bagian Kayin, yang berbatasan dengan wilayah Thailand di sisi timur, menjadi “daerah panas” setelah Tatmadaw melancarkan operasi militer dalam dua bulan terakhir. Sebelumnya, pada akhir April lalu, lebih dari 2.000 warga Karen menyeberang ke Thailand demi menghindari serangan udara Tatmadaw.

Krisis di Myanmar dibahas oleh Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, Christine Schraner Burgener, yang bertemu dengan Perdana Menteri Prayuth di Bangkok pada 14 Mei lalu. Burgener, seperti dilaporkan Radio Free Asia, berharap Thailand bisa bekerja sama dengan Myanmar dalam menangani krisis dan membantu penduduk Myanmar. “Saya berbicara dengan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai membahas solusi damai untuk Myanmar demi kepentingan warganya,” ucap Burgener, yang berada di Thailand sejak April lalu.

Myanmar terus bergejolak setelah Panglima Militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing memimpin kudeta pada 1 Februari lalu. Militer menyingkirkan partai pemenang pemilihan umum, Liga Nasional untuk Demokrasi, dan menangkap pemimpinnya, Aung Sang Suu Kyi. Lebih dari 800 orang tewas akibat kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Myanmar. Militer juga memburu para pendukung kelompok oposisi, termasuk milisi-milisi etnis bersenjata, seperti yang terjadi di Kayin.

Untuk pertama kalinya dalam 25 tahun Tatmadaw melancarkan serangan udara ke Kayin. Lembaga sipil Karen Peace Support Network (KPSN) menyatakan serangan udara Tatmadaw itu menyebabkan 90 persen penduduk Kayin tercerai-berai. Dalam laporan yang dirilis pada 24 Mei lalu, KPSN menyebut lebih dari 70 ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri ke hutan atau menyeberangi Sungai Salween menuju Thailand.

Laporan Myanmar Now menyebutkan, para penjaga perbatasan Thailand sempat menutup pintu perbatasannya. Mereka juga berusaha menghalau para pendatang dari negara tetangganya. Kepada Reuters, Kepala Burma Campaign UK Mark Farmaner mengatakan ribuan orang dipaksa kembali ke kamp pengungsian di Ee Thu Hta, Myanmar.

Pemerintah Thailand membantah telah mengusir para pengungsi. Perdana Menteri Prayuth hanya menyatakan negaranya harus bersiap menerima aliran kedatangan pengungsi dari Myanmar. “Kami tak menginginkan gelombang migrasi massal ke wilayah kami, tapi kami juga harus mempertimbangkan kemanusiaan,” tuturnya, seperti dilaporkan Associated Press.

Menurut Prayuth, pemerintah Thailand terus memantau kondisi di perbatasan. Thailand juga telah menyiapkan sejumlah tempat pengungsian dan bantuan kesehatan. Kepada Burgener, Prayuth berjanji tidak akan memaksa warga Myanmar, yang menyelamatkan diri dari krisis dan kekerasan, kembali ke negaranya.

saat mendekati seorang tentara Thailand di desa perbatasan Mae Sam Laep, provinsi Mae Hong Son, Thailand 30 Maret 2021. REUTERS/Soe Zeya Tun/File Photo

Banyak negara mengecam kudeta militer yang memicu krisis kemanusiaan di Myanmar. Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa, menjatuhkan sanksi kepada para pejabat militer Myanmar yang dinilai terlibat kudeta. Beberapa anggota Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN), seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia, mengecam keras aksi kekerasan yang terjadi setelah kudeta. Adapun respons Thailand atas krisis di negara tetangganya itu dinilai masih lunak.

Dekatnya hubungan Myanmar dengan Thailand ditengarai membuat Thailand tidak akan melangkah lebih jauh untuk menekan junta militer. Di sisi lain, Thailand berpeluang menjadi mediator konflik. “Posisi Thailand sulit, tapi rasanya ada peluang karena kami merupakan mitra penting,” ucap Panitan Wattanayagorn, analis politik dari Chulalongkorn University di Bangkok, kepada Reuters.

Kedekatan Thailand dan Myanmar juga dipengaruhi oleh kuatnya hubungan militer kedua negara. Relasi Prayuth dan Aung Hlaing pun kuat. Jenderal Aung Hlaing bahkan langsung bersurat kepada Prayuth dan memintanya mendukung “proses demokrasi”, beberapa hari setelah menggulingkan pemerintahan sipil Myanmar pada Februari lalu.

Seperti halnya Aung Hlaing, Prayuth berkuasa lewat kudeta pada 2014. Saat itu, dia merupakan panglima militer Thailand. Prayuth memimpin junta militer selama lima tahun sebelum menggelar pemilihan umum yang memuluskan jalannya menguasai pemerintahan dan memperkuat aliansi dengan militer.

Relasi antara Prayuth dan Aung Hlaing itulah yang ditengarai ikut mempengaruhi kebijakan Thailand dalam merespons kudeta. Dalam pertemuan pemimpin negara ASEAN di Jakarta pada 24 April lalu, Prayuth tidak datang dan mengutus Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai. Sementara itu, Jenderal Aung Hlaing justru hadir. Pertemuan itu adalah perjalanan perdana Aung Hlaing ke luar negeri setelah menduduki tampuk kekuasaan.

Seorang sumber di lingkaran dalam pemerintahan menyebut Prayuth mendapat keuntungan dari relasi yang dibangun antara militer Thailand dan Tatmadaw dalam sepuluh tahun terakhir. “Kami sudah membangun jalur sendiri. Mereka (Prayuth dan Ming Aung Hlaing) bisa berkomunikasi tanpa harus bertemu,” kata sumber itu, seperti dilaporkan Nikkei Asia. “Mereka sudah berbicara sejak kudeta.”

Relasi personal Aung Hlaing dan militer Thailand sudah berlangsung bertahun-tahun. Aung Hlaing bahkan dikenal dekat dengan bekas panglima militer Thailand, Jenderal Prem Tinsulanonda. Aung Hlaing dianggap sebagai “anak angkat” sang jenderal.

Relasi itu kian kuat ketika pemerintah Thailand memberikan penghargaan khusus dari kerajaan untuk Aung Hlaing pada 2018. Laporan Bangkok Post menyebut bahwa Aung Hlaing mendapat penghargaan itu karena telah mendukung militer Thailand. Keakraban Aung Hlaing dengan militer Thailand menggambarkan adanya perubahan besar dalam hubungan kedua negara yang dulu kerap berselisih.

Ahli sejarah dari Kasetsart University, Thailand, Lalita Hingkanonta, mengatakan relasi militer sangat penting bagi kedua negara. Meningkatnya konflik di perbatasan yang memicu migrasi warga Myanmar dinilai tidak akan banyak mengubah kebijakan Thailand untuk membatasi pengungsi. “Mereka hanya ingin berteman dengan Myanmar,” tuturnya.

Berbagi perbatasan sepanjang 2.400 kilometer, Thailand memiliki risiko lebih besar terkena dampak krisis di Myanmar dibanding negara-negara ASEAN lain ataupun Cina dan India. Satu dekade lalu, Myanmar termasuk dalam strategi “wilayah penyangga” untuk menjaga keamanan Thailand. “Sekarang kebijakan perbatasan militer Thailand berubah karena banyak hal, termasuk kepentingan perdagangan,” ujar Sihasak Phuangketkeow, bekas Sekretaris Kementerian Luar Negeri Thailand, seperti dilaporkan Nikkei Asia.

Nilai perdagangan lintas batas antara Thailand dan Myanmar melebihi US$ 9 miliar atau sekitar Rp 128 triliun pada 2019. Thailand juga menjadi negara ketiga, setelah Cina dan Singapura, yang memiliki investasi terbesar di Myanmar dengan nilai lebih dari US$ 11 miliar. Sektor bisnis Thailand juga bergantung pada pekerja migran asal Myanmar, yang jumlahnya mencapai 1,6 juta orang. Myanmar juga menjadi salah satu target ekspor terbesar, terutama gas alam, dari Thailand.

Menurut Sihasak, Thailand sudah lama berurusan dengan Myanmar dalam berbagai hal setiap hari. Kondisi ini membuat respons pemerintah Thailand terhadap kudeta dan krisis di Myanmar menghadapi sejumlah tantangan. “Bahasa diplomatik kami akan lebih halus. Kami tidak bakal bisa berbicara seperti Indonesia atau Singapura soal Myanmar,” ujar Sihasak.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (THE IRRAWADDY, MYANMAR NOW, REUTERS, ASSOCIATED PRESS)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus