Selasa pekan lalu bukan hari yang menyenangkan bagi Presiden George W. Bush. Seusai mengikuti acara di Ruang Roosevelt, Gedung Putih, Bush kaget diberondong pertanyaan seorang reporter tentang keterlibatannya dalam kasus pembocoran nama agen CIA, Valerie Plame. Plame adalah analis senjata pemusnah massal CIA. Bush tampak gusar dan berlalu tanpa menjawab.
Inilah skandal terbaru Gedung Putih, buntut tulisan seorang kolumnis, Robert Novak. Ia menulis, istri Joseph Wilson, pensiunan duta besar, adalah agen CIA. Novak mengaku memperoleh identitas Plame dari dua pejabat senior Gedung Putih. Dalam tulisan itu, Novak menyebut perjalanan Wilson ke Niger untuk mengecek kebenaran tuduhan bahwa Irak mencoba membeli uranium dari Niger. Dan pengecekan itu bukan atas permintaan pemerintah (CIA), melainkan permintaan Valerie Plame, istrinya.
Kasus ini bermula ketika Presiden George Bush dalam pidato kenegaraan di Kongres, Januari silam, menuduh Irak mencari uranium dari Niger untuk program nuklirnya. Tapi Presiden Niger Mamadou Tandja membantah tuduhan itu. Bahkan, kata Tandja, Badan Atom Internasional (IAEA) menepis kecurigaan terhadap negerinya.
Niger adalah eksportir uranium terbesar ketiga—setelah Kanada dan Australia. Uranium itu khususnya dijual kepada Prancis dan Jepang. Bantahan pemerintah Niger sejalan dengan laporan yang diperoleh CIA dari Joseph Wilson. Pada awal 2002, CIA mengutus Wilson ke Niger untuk mengecek dugaan transaksi uranium antara Niger dan Irak. Setelah delapan hari di Ibu Kota Niamey, Wilson menyampaikan laporan lisan di Langley, markas CIA. Ia meragukan terjadi transaksi uranium antara Niger dan Irak.
Kala itu CIA menganggap angin lalu laporan Wilson dan menyimpannya di dalam laci meja dengan label: rahasia. Barulah pada Juli silam kesimpulan Wilson muncul ke publik lewat pernyataannya di koran New York Times: "Sangat meragukan telah berlangsung transaksi." Sebab, kata Wilson, kontrol terhadap pertambangan uranium di Niger sangat ketat dan di bawah pengawasan Badan Atom Internasional.
Ternyata tak cuma CIA yang berurusan dengan dugaan transaksi uranium itu. Pemerintah Inggris memperoleh informasi tentang transaksi uranium Irak dari badan intelijen asing. Delegasi Irak disebutkan datang ke Niger pada 1999 dan Irak diduga membeli 200 ton uranium dari Niger pada 1980-an.
Presiden Bush, yang sudah tak sabar menyerbu Irak, langsung menyambar informasi itu sekaligus menyampaikannya dalam pidato di Kongres. "Pemerintah Inggris telah mempelajari bahwa Saddam Hussein baru-baru ini mencari uranium dari Afrika dalam jumlah yang signifikan," katanya.
Itu pun belum cukup bagi Bush. Beberapa saat sebelum perang pecah Maret silam, Bush masih belum pede sehingga perlu menegaskan bahwa ia punya sumber yang menyatakan Saddam Hussein mengizinkan komandan tempurnya menggunakan senjata kimia. Di seberang Samudra Atlantik, Perdana Menteri Inggris Tony Blair menyatakan hal yang sama kepada rakyatnya. Sejak saat itu, Bush dan Blair memperoleh tiket ke Baghdad.
Kejadian berikutnya dunia sudah tahu. AS dan Inggris menyerbu Irak berbekal informasi itu tanpa mengindahkan opini dunia. Joseph Wilson pun kembali mengkritik kebijakan Bush menginvasi Irak dengan memelintir fakta. "Apa lagi yang mereka dustakan?" ujarnya. Wilson sejauh ini benar karena tak satu pun senjata pemusnah massal meletus dan ditemukan hingga laporan terakhir tim AS di Irak pekan lalu.
Dua pendekar Perang Teluk pun menuai masalah. Tony Blair dituduh merekayasa laporan intelijen soal kesiapan senjata pemusnah Irak dioperasikan dalam waktu 45 menit. Di AS, publik mulai rajin mengutak-atik argumen Bush menginvasi Irak, yang akhirnya memaksa Gedung Putih mengoreksi pernyataan Bush di depan Kongres: "Informasi tentang upaya Irak memperoleh uranium dari Afrika seharusnya tak termasuk dalam pidato kenegaraan (Bush)."
Tapi "huru-hara" rupanya belum usai. Pembocoran identitas Valerie Plame membuat Joseph Wilson meradang. "Pembocoran itu untuk menghukum saya," kata Wilson. Ia mengatakan, pembocoran identitas agen CIA bukan perkara remeh. Ganjarannya 10 tahun pejara. Jaksa Agung John Ashcroft membentuk tim investigasi, termasuk untuk mengusut keterlibatan Bush. Tapi banyak rakyat AS yang meragukan independensi Ashcroft. Bisa jadi kini Bush hanya mengantongi tiket sekali jalan ke Gedung Putih.
Raihul Fadjri (Washington Post, LA Times, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini