SEORANG pria tua berkaki satu tegang. Suaranya bergetar, emosional. Ia membacakan pernyataan menyeru rekan-rekannya pilot menolak perintah menerbangkan pesawat tempur atau helikopter yang menjatuhkan bom ke kawasan berpenduduk sipil Palestina. Ia adalah Kolonel Yig’al Shohat, dikenal sebagai pahlawan Israel, yang pesawatnya ditembak jatuh di Mesir dalam Perang Yom Kippur beberapa tahun silam.
Satu setengah tahun kemudian, tepatnya dua pekan lalu, 27 penerbang aktif dan veteran yang wajib kembali bertugas selama beberapa minggu setiap tahun, menggelar pemogokan tersebut. Pernyataan yang ditujukan kepada Panglima Angkatan Udara Israel Mayjen Dan Halutz itu ditandatangani seorang jenderal, 2 kolonel, 9 letkol, 8 mayor, 7 kapten. ”Kami yang dididik mencintai Israel dan berjuang menegakkan Zionisme, menolak ambil bagian dalam serangan udara di pusat-pusat wilayah berpenduduk sipil.”
Tel Aviv gempar. Para pemimpin Israel berlomba melontarkan sumpah serapah, termasuk dalam pertemuan antara pemerintah dan parlemen, Senin lalu. Mereka, tak terkecuali Dan Halutz, menuduh para pilot pembelot itu sebagai pengkhianat dan induk dari semua bahaya yang mengancam Israel. ”Mereka memberikan kekebalan kepada teroris dan membuat perdamaian kian sulit dicapai,” ujar Menteri Pertahanan Shaul Mofaz.
Perdana Menteri Ariel Sharon berkoar lebih keras. Ia menuding pembelotan itu sebagai upaya pemberontakan sebagaimana pernah terjadi pada 1982. Saat itu pemimpin Partai Buruh Amram Mitzna mundur sebagai komandan Israel Defence Force Command College, karena tidak menyetujui invasi ke Libanon, yang disusul dengan pembantaian warga sipil Palestina di Sabra dan Shatilla.
Ketika berbagai tekanan dilancarkan, salah seorang pilot mencabut tanda tangannya. Tapi pekan lalu seorang instruktur senior dan penerbang ulung, Letkol Eli, ikut membubuhkan tanda tangan.
Ini bukan pembelotan pertama, tapi pembangkangan yang paling berpengaruh. Sebelumnya, sekitar 500 tentara memilih penjara ketimbang terlibat dalam operasi di wilayah pendudukan. Adapun tahun lalu, 52 tentara menolak berpartisipasi dalam misi pendudukan. Cuma gaungnya tidak sekeras sekarang.
Angkatan Udara Israel memang menduduki peran strategis. Bisa dimaklum jika para pemimpin Israel begitu khawatir pembangkangan itu kian menular. Apalagi tokoh pembangkang itu ialah Mayjen Yiftah Spector yang legendaris. Ia adalah putra salah seorang dari 23 pahlawan Israel dalam Perang Dunia II untuk menghancurkan instalasi di Libanon. Pada 1981 ia diterjunkan di Irak untuk mengebom kawasan yang diduga sebagai instalasi nuklir.
Bayangkan, pesawat tempur dan helikopter yang biasa menjatuhkan puluhan kilogram hingga satu ton bom ke mobil atau rumah para militan Palestina tiba-tiba menganggur. Padahal Israel memutuskan membersihkan mereka yang berdiri di belakang gerakan intifadah dan serangan bom bunuh diri.
Dalam tiga tahun terakhir, sekitar 140 pejuang Palestina yang masuk dalam kategori ”target” tewas dalam operasi terencana, sementara lebih dari 100 warga sipil meninggal dalam serangan udara dan darat.
Tel Aviv benar-benar menghadapi dilema. Jika para pembangkang dilawan, bukan tak mungkin hal itu justru menjatuhkan moral penerbang atau bahkan pasukan lainnya. Sebab, pilot tempur (yang dianggap elitenya pasukan elite) merupakan mitos kepahlawanan dalam angkatan bersenjata Israel. Banyak dari mereka adalah anak-anak Kibbutz yang sangat bangga dengan aristokrasi Israel. Bahkan seorang mantan presiden yang juga mantan Panglima AU Israel, Ezer Weizman, pernah menyatakan the best boys for flying, hanya anak-anak terbaiklah yang mampu terbang.
Tak ayal, pemerintah bersitegas. ”Ini seperti kanker yang akan menyebar kalau tidak segera dipotong,” ujar Weizman. Sembilan pilot aktif didaratkan; terbuka peluang mereka dihukum penjara. Barangkali riwayat mereka sudah tamat. Tapi statemen pembelotan sudah masuk dalam sejarah Israel, dan akan terus mengilhami anak-anak muda pencinta perdamaian. ”Suatu hari kelak, Israel akan mengakui betapa besar utang mereka kepada 27 pilot tersebut,” tulis Uri Avnery, seorang aktivis damai Israel.
Purwani Diyah Prabandari (Palestina Chronicle, Haaretz, Jerusalem Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini