Anjangsana ke Jatinangor agaknya mudah membuahkan oleh-oleh. Setidaknya, itu pengalaman tim independen yang menelisik kasus penganiayaan fisik di kampus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Sepekan berada di kampus itu, mereka pulang dari Jatinangor pada pertengahan minggu silam dengan sekotak buah tangan. Begitu dibuka, isinya memang agak membelalakkan mata. Tim ini melansir ada tujuh tradisi yang berpotensi menyuburkan kekerasan di sekolah itu. Tradisi kedelapan juga ditemukan—yang ini urusannya berkait dengan fulus alias uang.
Dalam hal kekerasan, pintu-pintunya sudah terpentang sejak penerimaan mahasiswa baru, pelatihan korps, kumpul kontingen, hingga kehidupan rutin dalam barak. Dalam hal uang, tim independen menemukan penyunatan rutin gaji mahasiswa STPDN sebesar Rp 65 ribu saban bulan. Ada yang mengaku, gajinya dipangkas lebih dari jumlah tersebut. Kalikan dengan 4.230 mahasiswa. Maka, dari main sunat-menyunat ini, sudah terkumpul Rp 274 juta sebulan atawa Rp 3,2 miliar setahun. Besar nian? Untuk apa saja?
"Pembukuannya kurang jelas," kata Farid Faqih, salah satu dari empat anggota Tim Independen Kasus STPDN yang turun ke Jatinangor. Tim itu juga menerima laporan adanya suap dalam proses masuk ke kampus di kaki Bukit Manglayang itu. Suap itu, katanya, terjadi sejak proses seleksi dari daerah hingga lolos dari kampus itu. Angkanya belum jelas. "Masih memerlukan penelusuran lebih jauh," kata Farid.
Inu Kencana Syafiie, dosen senior yang belakangan aktif membuka aib STPDN kepada publik, memberi ancer-ancer Rp 30 juta-Rp 70 juta. Besar-kecilnya jumlah pelumas, kata Inu, tergantung kesanggupan si calon mahasiswa. Proses transaksi lazimnya melalui calo. Nah, calo itulah yang akan berurusan dengan sejumlah orang yang punya "kunci-kunci pembuka pintu ke STPDN".
Inu menyodorkan beberapa fenomena menarik yang telah lama dia telisik. Saban awal tahun, sejumlah orang pasti berganti mobil baru—TEMPO menemukan kelakar pahit ini sudah beredar luas di kalangan mahasiswa dan dosen. Apa boleh buat, uang kerap tak beraroma. Tapi jejaknya memang sulit dihapus. Simak pengalaman Inu berikut ini. Suatu hari dia terperangah saat mendengar gonggongan mirip tangisan gukguk saat dia tengah mengajar. Saat dia mengangkat wajah, terpandanglah Moses (bukan nama sebenarnya), satu anak muridnya yang berasal dari Poso, Sulawesi Tengah, yang membaungkan gonggongan tersebut.
Inu mendekat, dan Moses bertanya: "Apa Bapak seekor macan?" Mulanya, mengira dia bercanda, Inu pun menghardik: "Apa kamu tak ingin bersekolah dengan benar?" Moses mengangguk. Pelajaran diteruskan. Menjelang usai kelas, Moses kembali menyergah: "Di mana ekor Bapak? Bukankah Bapak ini macan?" ujarnya sembari menirukan suara gukguk. Maka, Inu hakulyakin ada yang tak beres.
Selidik punya selidik, dosen senior itu menemukan bahwa Moses ternyata sudah kurang waras sejak dikirim dari kampungnya di Poso, Sulawesi, ke Jatinangor. "Ini betul-betul bukti bahwa sogok sudah dimainkan dari pintu masuk sehingga orang yang sakit jiwa pun bisa lolos," tuturnya kepada TEMPO, pekan silam. Dengan lain kata, temuan tim independen bukanlah kisah kemarin sore.
Namun, ini nasihat Inu: seorang calon praja jangan keburu senang, walau ayah dan ibu sudah menyetor upeti puluhan juta. Ryaas Rasyid menyimpan kisah tentang itu. Bekas Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri dan Menteri Negara Otonomi Daerah ini punya kenalan orang sekampung di Makassar. Sebut saja namanya Sutan. Cita-citanya bersekolah di STPDN. Dan Sutan punya modal: otaknya encer, nilainya cemerlang.
Apalagi, dia sudah lulus di daerah dan tinggal menanti proses seleksi di panitia pusat. Tengah menanti nasib, seorang calo mendekatinya. Si calo menyodorkan jalur masuk yang dia jamin tokcer. Syaratnya cuma satu: siapkan uang kontan. Maka, bergegaslah orang tua Sutan mengumpulkan uang kiri-kanan sebesar Rp 30 juta. Eh, begitu pengumuman tiba, nama Sutan tak tercantum dalam daftar para mahasiswa baru. Sutan stres berat. "Sekarang dia tagih kembali uang itu ke calonya," tutur Ryaas kepada TEMPO.
Pemerasan sejatinya bukan hal baru dalam berbagai institusi pendidikan di negeri ini. Dan STPDN agaknya tak luput dari dera petaka tersebut. Namun, I Nyoman Sumaryadi, Pelaksana Harian Ketua STPDN yang baru bertugas beberapa pekan, membantah keras informasi itu. Menurut Nyoman, tidak ada pungutan liar pada tahap seleksi seperti itu. Semuanya berdasarkan nilai hasil tes. Dia menambahkan, praktek yang bersih juga terjadi di daerah-daerah. Intinya, tak ada pemerasan dan suap.
Nyoman akan memanggil pihak-pihak yang terkait dengan informasi ini. Termasuk Inu Kencana. Manajemen STPDN yang baru—di bawah Nyoman—rupanya ingin menguji seberapa benar tudingan pemerasan tersebut. Bantahan senada juga datang dari Sudarsono, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri. Menurut Sudarsono, yang lolos hingga ke Jatinangor semuanya berdasarkan hasil tes. "Tak ada permainan uang."
Benar demikian? Boleh jadi. Tapi, simak pula fakta ini yang disodorkan oleh Inu: mutu mahasiswa di sana kian melorot dari tahun ke tahun. Inu mengenang para murid dari angkatan-angkatan awal. Mereka rata-rata cemerlang, alim, dan jujur. Yang sudah jadi pejabat juga berteguh hati dan bermental bersih. "Ada mahasiswa saya yang setelah jadi pejabat selalu mengembalikan uang perjalanan dinas yang tak terpakai," Inu mencontohkan.
Seperti halnya Inu, seorang dosen lain yang enggan disebut namanya berpendapat, kurang-lebih separuh mahasiswa dalam angkatan-angkatan belakangan kurang berkualitas karena sistem penerimaan sudah melenceng dari pakem. Inu bahkan menyodorkan pengalamannya sendiri. Kedua putra-putrinya adalah siswa terbaik di sekolah mereka sejak SD. Minimal, masuk sepuluh besar. Tapi, kedua anak Inu terpental dari gerbang STPDN karena dihadang permintaan uang sogok oleh para "pejabat pintu masuk" yang besarnya mencapai Rp 70 juta.
Putra Inu kemudian banting setir masuk ke kedokteran di sebuah universitas negeri. Apakah pihak Departemen Dalam Negeri, sebagai departemen yang membawahkan institusi ini, naif adanya fenomena sogok dan suap ini? Seorang petinggi Departemen Dalam Negeri yang berkompeten terhadap nasib STPDN membisikkan fakta ini kepada TEMPO, pekan lalu: "Ada beberapa pejabat yang menemui saya secara langsung untuk meminta agar anak mereka diloloskan ke STPDN." Si petinggi menolak. Alasannya? "Ya, jelas saya tolak, karena hasil tes mereka jelas-jelas di bawah standar."
Kembali ke soal pemotongan gaji, apa pasalnya hingga gaji para mahasiswa dipangkas saban bulan? Nyoman mengaku menerima laporan sejumlah mahasiswa soal potongan tersebut. Besarnya sekitar Rp 65 ribu per orang. Tapi, menurut Nyoman, para mahasiswa itu menjelaskan bahwa pungutan tersebut dipakai untuk mendanai kegiatan ekstrakurikuler, yang susah diambil dari anggaran kampus. Toh, dia berjanji "akan meneliti pemakaian dana-dana tersebut".
Barangkali Nyoman harus meneliti ke ruang-ruang makan dan restoran di kampus tersebut. Soalnya, sangkaan juga muncul bahwa makan-minum para mahasiswa di sana sudah lama pula jadi ajang cari untung. "Menu makan para mahasiswa itu terkesan asal-asalan," kata Inu Kencana (lihat, Serba Cekak di Ruang Makan). Dan para mahasiswa kerap meruapkan kekesalan urusan menu ini di ruang kelas.
Sejatinya, berapa besar biaya sekolah para calon lurah dan camat itu sehingga kebutuhan dasar—makan dan minum—bisa keteter? Sumber TEMPO di STPDN menyodorkan dokumen penerimaan dan belanja kampus tersebut (lihat tabel). Total dana yang diserap kampus itu saban tahun sekitar Rp 29 miliar lebih." Sekitar Rp 13 miliar lebih ditanggung oleh pemerintah pusat. Kekurangannya ditutup oleh setiap mahasiswa—dibayarkan langsung ke STPDN oleh pemerintah daerah asal praja tersebut.
Ketika dikonfirmasi soal besaran anggaran dana untuk STPDN ini, Siti Nurbaya, Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, mengaku belum tahu angka detailnya. "Anggarannya diatur secara otonom oleh STPDN sendiri. Tapi saya sendiri sedang berusaha mengoleksi data-datanya," Siti menjelaskan via telepon.
Kampus di kaki Bukit Manglayang itu ibarat gudang rahasia yang habis kebobolan. Semua aib dan rahasia terkuak keluar, mengundang masuknya tim independen dan juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Di tengah suasana yang serba muram ini, gerbang kampus tiba-tiba dipenuhi suasana riang pada akhir pekan silam. Para mahasiswa kini boleh mencicipi rezeki yang tak pernah mereka kecap selama bertahun-tahun: pesiar ke kota di akhir pekan.
Wenseslaus Manggut, Adi Prasetya, Hanibal W.Y.W., Jobpie S., Sudrajat
Belanja Dalam Setahun
Kebutuhan dana operasional: Rp 29,462 miliar
Sumbangan APBN: Rp 13,247 miliar
Sumbangan APBD: Rp 16,247 miliar
Sumber: Investigasi TEMPO & STPDN