Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sasawat Limpanich keluar dari rombongan panjang peserta demonstran anti-pemerintah yang melewati perempatan Jalan Sukhumvit dan Jalan Payathai di Bangkok, Senin pekan lalu. Ia dan ibunya berada hampir di baris paling belakang rombongan pengunjuk rasa yang panjangnya lebih dari satu kilometer dan menutup satu lajur Jalan Sukhumvit serta sebagian lajur lain yang berlawanan arah itu.
Butuh waktu lebih dari setengah jam untuk menyaksikan rombongan itu dari barisan paling depan hingga paling belakang. Mereka memprotes kebijakan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra terkait dengan Undang-Undang Amnesti dan Internal Security Act setelah protes anti-pemerintah marak. "Kami ingin Yingluck mundur," kata Sasawat kepada Tempo. Sebuah peluit, yang menjadi senjata dalam protes, menggantung di leher pria 32 tahun ini.
Sasawat dan ibunya bertempat tinggal di Phuket—berjarak 692 kilometer dari Bangkok. Mereka sengaja datang tiga hari sebelumnya untuk bergabung dengan aksi antipemerintah. Sebulan terakhir, Bangkok digempur demonstrasi anti-pemerintah. Para peserta demonstrasi berasal dari kubu oposisi, kelas menengah penduduk kota, dan warga Thailand bagian selatan. Mereka mengulangi gerakan protes 2008.
Gerakan kali ini dipimpin Suthep Thaugsuban, bekas wakil perdana menteri dari partai oposisi, Partai Demokrat, dan jenderal purnawirawan Boonlert Kaewprasit, yang menggulingkan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra. Demonstran anti-pemerintah sempat menduduki 13 lokasi, termasuk melumpuhkan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Beberapa kali pendukung pemerintah menggelar aksi tandingan. "Kami ingin melumpuhkan pemerintahan," ujar Suthep di depan pendukungnya, seperti dikutip Bangkok Post. "Jika tidak ada yang memprotes, rakyat akan menjadi budak rezim Thaksin selamanya."
Suasana di beberapa lokasi aksi mirip perayaan. Misalnya di jalan sekitar Monumen Demokrasi. Pemrotes yang sibuk berorasi memenuhi jalanan atau sekadar ngobrol. Beberapa pedagang kaki lima memanfaatkan momen ini untuk berjualan atribut demo, seperti peluit dan ikat kepala.
Menurut Sasawat, aksi jalanan itu dipicu oleh rencana partai berkuasa, Pheu Thai, mengusulkan Undang-Undang Amnesti. Aturan hukum ini berpeluang menjadi jalan bagi kakak Yingluck, Thaksin Shinawatra, mendapatkan pengampunan dan bisa kembali ke Thailand dari pengasingan sejak 2006. "Keluarga Thaksin Shinawatra banyak melakukan korupsi, juga mengemplang pajak," katanya.
Meski banyak orang turun ke jalan, tak sedikit juga penentang pemerintah yang tak bergabung dengan pawai atau aksi menduduki kantor-kantor pemerintah. Chutitep Rattaseri, 40 tahun, misalnya. Saat sedang di stasiun BTS Siam dan mendengar rombongan demonstran lewat, ia langsung turun. Di depan Bangkok Art and Cultural Center, ia segera mengeluarkan peluit dan meniupnya. "Peluit ini selalu saya bawa ke mana-mana," ucap Asisten Direktur Pelaksana Teknologi Informasi Square Company Limited ini.
Asisten profesor di Departemen Pendidikan Universitas Kasetsart, Nongluck Manowaluilou, juga menyatakan dukungannya terhadap tuntutan para pemrotes. Tapi, karena sedang hamil lima setengah bulan, dia tidak bisa bergabung dengan para pemrotes di jalanan. "Kalau bunyi peluit tak mempengaruhi organ pendengaran janin, saya pasti akan bergabung," katanya.
RUU Amnesti memang sudah dibatalkan. Tapi, menurut Nongluck, masih banyak peraturan lain yang ditentang rakyat. Salah satunya rencana utang 2 triliun baht. Dia mendesak pemerintah mencabut kebijakan utang itu. "Kami tidak tahu tujuannya apa dan apa yang hendak pemerintah lakukan dengan uang itu. Rakyat akan menderita dengan utang itu," ujar perempuan 28 tahun ini.
Selain di jalanan, Yingluck mendapat serangan oposisi di parlemen. Oposisi sempat mengancam akan menggelar mosi tidak percaya atas kebijakan pemerintah. Namun kekuatan Partai Pheu Thai di parlemen mampu menyelamatkan Yingluck dari upaya penjungkalan dari kursi perdana menteri. Yingluck mendapat dukungan 297 suara dari koalisi, sementara 134 suara oposisi melawannya dan 5 anggota parlemen abstain. Dia bersama Menteri Dalam Negeri Charupong Ruangsuwan tersenyum setelah mendengar kabar kemenangan itu.
Serangan di jalanan dan parlemen merupakan akumulasi kekecewaan kelompok terpelajar Thailand atas upaya Thaksin agar bisa kembali ke negaranya. Dia menggunakan Partai Pheu Thai dan adiknya, Yingluck, sebagai boneka untuk mengajukan rancangan Undang-Undang Amnesti. Rancangan itu memberikan pengampunan kepada hampir semua orang yang menghadapi tuntutan hukum sesudah kekacauan politik pada 2004-2010. Komisi antikorupsi mengatakan RUU itu akan membuyarkan lebih dari 25 ribu kasus korupsi. Dari jumlah itu, sekitar 400 kasus melibatkan politikus senior dan 670 kasus sudah memasuki tahap dakwaan.
Beberapa kali Yingluck dan beberapa menteri bertemu dengan Thaksin di Dubai dan Laos. Mereka menyiapkan strategi agar Thaksin bisa kembali dan berkiprah di politik. Thaksin digulingkan melalui kudeta militer pada 2006. Dia dituduh melakukan korupsi dan menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan bisnisnya. Pengadilan telah mengganjarnya hukuman dua tahun penjara melalui sidang in absentia. Selain itu, pengadilan menyita aset miliknya senilai US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 17,7 triliun.
Untuk mengegolkan RUU itu, Partai Pheu Thai berusaha merangkul oposisi. Saat itu, mantan perdana menteri Abhisit Vejjajiva dan wakilnya, Suthep Thaugsuban, sedang menjalani proses pengadilan terkait dengan kasus pembunuhan massal dalam aksi duduk Kelompok Kaus Merah pada 15 Mei 2010. Lebih dari 90 orang tewas dan ratusan terluka. Dalihnya, RUU itu bisa menyelamatkan Abhisit dan Suthep dari jeratan hukum. Namun Abhisit menolak tawaran. "Kami tidak mau mengorbankan negara dengan membarter kasus ini dengan RUU itu," katanya seperti dikutip dari Bangkok Post.
RUU itu sempat lolos di majelis rendah. Kekuatan Pheu Thai yang mayoritas di parlemen menjadi penentu. Namun usulan itu gagal di Senat setelah ada respons publik yang mengecam RUU tersebut dan munculnya tudingan bahwa ada upaya mengembalikan Thaksin setelah lima tahun berada di perantauan.
Jalan untuk Thaksin bukan hanya dari RUU Amnesti. Pada 2011, Kementerian Kehakiman mengajukan grasi bagi terpidana, termasuk di dalamnya Thaksin. Grasi ini bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun Raja Bhumibol Adulyadej yang ke-84. Atas kritik keras publik, pengajuan nama Thaksin dibatalkan. Menteri Kehakiman Pracha Promnok mengatakan grasi yang akan diajukan tidak mencakup terpidana kasus narkoba dan korupsi. "Termasuk buron Thaksin," ujarnya kepada Sydney Morning Herald.
Yingluck tidak pernah menyerah. Dia sempat mengajukan rekonsiliasi pada awal pemerintahannya, Juni 2011. Mereka yang terlibat adalah Jenderal Sonthi Boonyaratglin, pemimpin kudeta terhadap Thaksin; Kelompok Kaus Merah, pendukung Thaksin; dan Kaus Kuning, oposisi. Rancangan itu menyebutkan proses politik yang terjadi antara 15 September 2005 dan 10 Mei 2011 tidak melanggar aturan hukum. Semua yang terlibat dalam kisruh politik itu mendapat pengampunan, jika kasusnya masuk tahap penyidikan harus dihentikan, dan jika si pelaku telah ditahan harus dilepaskan. Sedangkan hak-hak politik dikembalikan seperti semula. Mereka juga mengusulkan penggunaan konstitusi 1997 daripada konstitusi 2007, ciptaan rezim kudeta yang menggulingkan Thaksin. Konstitusi itu telah menutup pintu bagi mereka yang berkasus untuk masuk jajaran pejabat dan senator.
Oposisi menentang keras upaya itu. Mahkamah konstitusi juga menolak penggunaan konstitusi 1997. Alasannya, konstitusi lama sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Suthep mengatakan akan berhati-hati menghadapi strategi Thaksin untuk kembali. "Kami tidak ingin ada lagi rezim Thaksin. Mereka telah membodohi rakyat," katanya seperti dikutip dari The Nation.
Eko Ari Wibowo, Purwani Diyah Prabandari (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo