Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vinny Tri Dewi tak menyangka pembicaraan 2 November malam lalu itu merupakan obrolan terakhir dengan suaminya, Wirya Wiguna. Waktu itu Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Pakuan Kota Bogor tersebut menelepon istrinya di Bandung. Wirya, 52 tahun, meminta Vinny membawa kedua anaknya pulang ke Bogor. Alasan Wirya, awal pekan berikutnya dia akan bertugas ke Surabaya.
Sebenarnya, tanpa diminta, Vinny sudah bersiap pulang. Sudah dua pekan dia tak bertemu dengan suaminya. Keduanya memang tinggal berjauhan. Wirya di Bogor, sedangkan Vanny sebagai notaris di Bandung. Di kota itu pula dua anak mereka bersekolah.
Yang membuat Vinny waswas, malam itu suaminya mengaku dikejar-kejar beberapa orang. Mereka meminta Wirya mencabut laporan ke polisi. Bila mau, dia dijanjikan jabatan direktur di perusahaan air minum milik Pemerintah Kota Madya Bogor itu. Vinny saat itu menyarankan Wirya mencabut laporan tersebut. "Biar kita tenang, cabut saja, Pak," ujarnya.
Wirya menolak. Alasannya, dia melapor ke polisi bukan karena ingin jabatan. "Saya berjuang untuk kebaikan bersama di PDAM," kata Wirya seperti ditirukan Vinny ketika ditemui Tempo di rumahnya di Griya Indah Bogor, Selasa pekan lalu.
Di balik sikap Wirya, Vinny membaca suaminya tengah dilanda kekhawatiran. Sudah hampir dua bulan Wirya kerap menginap di rumah teman atau saudaraÂnya. Kalaupun pulang ke rumahnya di daerah Kedung Badak, Wirya selalu datang ketika hari sudah gelap. Esoknya, saat pagi buta, ia sudah pergi.
Dua jam setelah berbicara lewat telepon malam itu, Vinny dikagetkan oleh pesan yang dikirim secara serempak (broadcast) dari BlackBerry suaminya. Pesan itu mengaÂbarkan Wirya mengalami kecelakaan. Keluarga atau kenalan diminta datang ke Rumah Sakit Azra, Bogor.
Semula Vinny tak percaya. Tapi, beberapa saat kemudian, saudara Wirya menelepon membenarkan kabar itu. Vinny pun segera ke Bogor, ke Rumah Sakit Azra. Tiba di rumah sakit pukul 02.00, ia melihat suaminya dalam keadaan koma terbaring di ruang perawatan khusus.
Pagi harinya Wirya dipindahkan ke Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. Tak pernah siuman sejak kecelakaan itu, pada 19 November lalu, Wirya meninggal. "Kini kami yang ketakutan," ucap Vinny.
Braaak! Suara keras itu menghentikan petikan gitar Taufik, 25 tahun, yang tengah mengamen bersama keponakannya. Dari arah lampu merah perempatan Salak di kawasan Jalan Pajajaran, Bogor, Taufik mendengar orang berteriak. "Woi, ada orang kecelakaan!"
Malam itu, sekitar pukul 21.30, lalu lintas perempatan Salak masih ramai. Jalan pun lumayan terang. Taufik bergegas mendekati sumber suara. Di tengah jalan, sekitar tujuh meter dari trotoar, dia melihat tubuh lelaki tergeletak. Badannya menelungkup dengan kepala menyamping. Di sebelah kanannya teronggok sepeda motor jenis bebek. Di belakangnya ada helm yang tercecer.
Ketika lampu hijau dari arah Tugu Kujang mulai menyala, Taufik memberi tanda agar semua kendaraan melambat. Dia tidak bergabung menggotong tubuh korban ke trotoar. Di trotoar, kian banyak orang mengerumuni korban tanpa melakukan apa pun. Kerumunan itu membuat lalu lintas kendaraan tersendat.
Pada saat itulah melintas Faisal, yang tengah membonceng temannya. Semula dia mengira ada tawuran. Tapi, begitu melihat ada lelaki berkubang darah di trotoar, Faisal langsung turun. Ia menghentikan sebuah angkutan kota dan meminta sopir membawa korban ke Rumah Sakit Azra.
Di rumah sakit, Faisal mengambil telepon BlackBerry dari saku korban. Dia menghubungi 15 nomor telepon yang terakhir dihubungi telepon itu. Kepada Tempo yang menemuinya Selasa pekan lalu, ia mengaku, dari semua nomor itu, hanya beberapa yang tersambung. "Itu pun sebagian seperti tak percaya." Faisal pun memakai jalan pintas: mengirim pesan secara serempak ke semua kontak di telepon itu. Salah satunya diterima Vinny.
Kecelakaan dan kemudian tewasnya ÂWirya menjadi pembicaraan ramai publik Bogor, khususnya para karyawan PDAM Tirta Pakuan, salah satu perusahaan daerah Kota Bogor yang terbilang paling sehat. Ini karena Wirya saat itu tengah "berseteru" dengan petinggi perusahaan daerah tersebut.
Sampai pekan lalu, Kepolisian Resor Bogor Kota sudah memeriksa 20 saksi yang diharapkan bisa menjelaskan perihal kecelakaan dan tewasnya Wirya. Faisal dan Taufik termasuk yang dimintai keterangan. Hanya, sejauh ini, menurut Kepala Polres Bogor Kota Ajun Komisaris Besar Bahtiar Ujang Purnama, saksi umumnya menyatakan tak tahu bagaimana persisnya Wirya terjatuh. "Mereka hanya melihat Wirya setelah tergeletak," ujar Bahtiar.
Sebenarnya di perempatan Salak itu terpasang dua kamera CCTV. Posisi kamera itu berhadapan, persis mengarah ke titik Wirya terjatuh. Namun kamera itu tak berfungsi. "Kamera mati sejak sebelum kejadian itu," kata Kepala Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Kota Bogor Suharto. "Servernya kena petir. Belum diperbaiki karena sulit mencari spare part-nya."
Sehari sebelum malam nahas itu, 1 November lalu, Wirya Wiguna menemui kuasa hukumnya, Sugeng Teguh Santoso, di Hotel Salak, Bogor. Malam itu Sugeng ditemani seorang temannya. Adapun WirÂya datang bersama seorang anggota staf PDAM Tirta Pakuan. Kepada Sugeng, WirÂya bercerita bahwa dia dikejar-kejar orang yang memintanya menarik surat kuasa untuk Sugeng. Wirya juga bercerita dia diminta mencabut laporannya ke polisi. "Kalaupun laporan itu dicabut, kasusnya tak akan berhenti. Itu bukan delik aduan, Pak," ujar Sugeng malam itu.
Wirya menempuh jalur hukum setelah ia terpental dari penjaringan calon Direktur PDAM Tirta Pakuan akhir tahun lalu. Kala itu, dia bersaing dengan lima calon untuk memperebutkan posisi direktur umum dan direktur teknik. Namun, pada 14 Desember 2012, Wali Kota Bogor Diani Budiarto mengangkat Untung Kurniadi sebagai Direktur Umum dan Hendry Darwin sebagai Direktur Teknik PDAM Tirta Pakuan.
Bersama calon direktur lain yang terpental, Syaban Maulana, Wirya menggugat keputusan Wali Kota ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Bandung. Wirya dan Syaban menunjuk Abdul Rahman Tuhepaly sebagai kuasa hukum mereka. Gugatan mereka kandas. Pada 16 Mei 2013, PTUN Bandung menolak gugatan itu. Tak menyerah, Wirya mengajukan permohonan banding. Kali ini dia menunjuk Sugeng Teguh sebagai pengacaranya yang baru.
Pada 20 Mei lalu, Sugeng melaporkan Untung Kurniadi ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Kali ini Sugeng menuduh Untung memalsukan gelar dan persyaratan calon direksi PDAM. Sebelum menjadi Direktur PDAM, Untung dikenal sebagai wartawan dan pengurus sebuah organisasi pemuda. Ia juga menjadi direktur sejumlah perusahaan di Kota Hujan.
Laporan pemalsuan itu dilimpahkan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat pada 14 Juni lalu. Sejauh ini Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat sudah memeriksa belasan saksi, termasuk Untung sebagai saksi terlapor. Perkara itu kini memaÂsuki tahap penyidikan.
Kepada Tempo, Untung membenarkan telah dua kali diperiksa polisi. Tapi dia membantah pernah meminta Wirya mencabut laporan ke polisi. "Buat apa? Yang lapor kan Sugeng, bukan Wirya," kata Untung. Soal benar-tidaknya tuduhan Sugeng, Untung mempersilakan polisi membuktikannya.
Untung juga menolak dikaitkan dengan kecelakaan Wirya. Dari awal dia mengaku tak berseberangan dengan Wirya. Soalnya, Wirya melamar posisi direktur teknik, sedangkan dia melamar direktur umum. Kini, sebagai atasan, Untung justru mengaku berkepentingan agar Wirya tetap hidup dan mengabdi di PDAM. "Dia orang pintar dan berpengalaman. Saya kehilangan," ucap Untung, yang kini pejabat sementara Direktur Utama PDAM Tirta Pakuan.
Toh, Sugeng tetap curiga bahwa kliennya tak mengalami kecelakaan biasa. Itu sebabnya, dua hari setelah Wirya terjatuh dari sepeda motor, Sugeng mendorong kolega Wirya membentuk tim pencari fakta. Atas izin keluarga, ketika Wirya dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, Sugeng meminta pendapat ahli forensik dari Universitas YARSI, Ferryal Basbeth.
Setelah menganalisis foto tulang kepala Wirya serta hasil MRI dan CT-scan, pada 14 November lalu, Ferryal memberi keterangan tertulis soal luka di kepala Wirya. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia ini, Wirya mengalami patah tulang kepala pada sisi kiri akibat trauma tumpul.
Mengutip tulisan jurnal Forensic Sci terbitan Juli 2009, Ferryal menyebutkan cedera pada bagian itu lebih sering berhubungan dengan pukulan. Adapun patah tulang kepala pada sisi kanan lebih sering akibat terjatuh.
Menurut teori forensik, demikian menurut Ferryal, trauma tumpul bisa terjadi karena benda tumpul yang bergerak ke arah korban yang diam—artinya korban dipukul—atau korban bergerak pada benda tumpul yang diam. Yang terakhir ini berarti korban jatuh. Saat ditanya bagaimana detail trauma tumpul yang terjadi di kepala Wirya, Ferryal menolak menjelaskan. "Itu bukan konsumsi umum," katanya kepada Tempo.
Berbekal pendapat Ferryal itu, pada 20 November lalu Sugeng melaporkan dugaan penganiayaan Wirya ke Polres Bogor. Dia meminta polisi tak berkutat pada kesimpulan awal Wirya meninggal karena kecelakaan lalu lintas. "Kemungkinan dia meninggal karena dianiaya juga harus diselidiki," ujar Sugeng. Dia memberi kemungkinan: Wirya dianiaya, dipukul, lalu terjengkang dari sepeda motornya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Kota Condro Sasongko mengatakan polisi masih terus mengumpulkan bukti dan keterangan. "Bila ada yang tahu detail peristiwa itu, mohon melapor," katanya. Polisi kini juga berencana memanggil Ferryal sebagai saksi ahli. "Sudah diminta, tapi jadwalnya belum pas," ujar Ferryal.
Jajang Jamaluddin, M. Sidik Permana (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo