MENJELANG saat-saat akhir kampanye Presiden Ferdinand Marcos, Rabu pekan silam, masa sudah memenuhi Taman Luneta, Manila, sejak siang. Tapi tokoh yang ditunggu-tunggu itu baru muncul sekitar pukul 4.30 sore. Kehadirannya disambut acungan poster dan yel berbunyi: Marcos Pa Rin, Marcos Pa Rin -- masih Marcos, selalu Marcos. Sementara itu, tiga helikopter berputar-putar di atas menjaga keselamatan kepala negara itu. Namun, tontonan gratis ini terganggu oleh hujan yang turun tiba-tiba. Massa Kilusang Bagong Lipunan (KBL), partai yang kini berkuasa, lari memencar ke segala arah, tapi belasan ribu lainnya yang didatangkan dari luar kota basah kuyup. Di hadapan calon-calon pemilihnya, Marcos menyerukan "rujuk dan persatuan". Sedangkan kepada oposisi diperingatkannya agar "tidak memancing kerusuhan". Menurut Marcos, sikap toleran pemerintahnya jangan ditafsirkan sebagai kelemahan. Suara Presiden Filipina ini tidak begitu mantap, satu kekurangan yang dicoba diimbangi Imelda dengan suara agak melengking, dan mata berkaca-kaca. Dalam urusan kampanye dan propaganda, Marcos memang tidak tertandingi di seantero Filipina. Semua tersedia untuknya -- mulai dari media cetak, jaringan tv, pesawat terbang, dan . . . air mata Imelda. Untuk menggarap pedesaan ia bisa mengandalkan 41.619 kapten Barangay -- setingkat lurah di sini. Sedangkan di kota-kota besar, Presiden mengerahkan ribuan anggota KBL. Perkara uang jangan ditanya lagi. "Terus terang, saya yakin 85 persen warga Barangay 17 akan memilih Marcos," ujar seorang kapten Barangay yang tidak mau disebut nama kepada wartawan TEMPO, Seiichi Okawa. Alasannya, orang-orang miskin di daerahnya, Tondo, di pinggiran Kota Manila, mendapat pembagian tanah murah dari pemerintah yang harganya cuma 5 peso per meter persegi. Sewa rumah juga ringan, P 84-134 (sekitar US$ 4-6) per bulan. Selain itu, untuk mereka juga dibangun gedung pertemuan, pusat perawatan anak-anak, serta lapangan basket. Dan, mereka juga boleh meminjam uang, lewat Kilusan Kabuhayan at Kaunlaran (KKK) -- instansi pemerintah yang mengurus kredit kecil, khusus untuk menunjang industri rumah. "Kami boleh meminjam P 10.000 dari KKK untuk segala bidang usaha," kata Donato Tordo, 53, seorang penjual daging babi di Barangay 11, Tondo. "Itu berkat KBL." Ia memastikan, di kelurahannya itu 80 persen rakyat akan memilih Marcos. Sistem Barangay ini diterapkan Marcos 13 tahun silam, dan kini tak ubahnya pohon beringin, mengakar ke rakyat di bawah dan lewat KBL bersambung ke atas, ke Malacanang. Sebagai mesin politik di tangan Marcos, KBL, Gerakan Masyarakat Baru, boleh mendapat acungan jempol. Sangat berpengalaman dalam seluk-beluk pemilu, KBL sudah mulai merencanakan desain poster stiker, bendera kecil, dan baju-baju kaus di saat pihak oposisi masih kelabakan menetapkan calon presiden dan wakilnya. Dan, karena tekanan krisis ekonomi kian berat menimpa rakyat, Marcos menugasi KBL agar menghibur mereka dengan "Hadiah Pemilu" -- jumlahnya berkisar P 30-60. Seorang peserta rapat, raksasa di Luneta, Rabu lalu bercerita tentang "Hadiah Pemilu" itu kepada TEMPO. Diakuinya, banyak peserta kampanye datang ke sana, semata-mata karena P 30 yang mereka terima. Tapi, pegawai negeri yang tidak mau disebut namanya ini juga berkisah tentang selembar kertas yang dibagi-bagikan orang KBL. Di kertas itu mesti ditulis nama yang bersangkutan berikut nama 10 tetangga dengan alamat lengkap. "Maksudnya jelas, supaya kami membujuk tetangga memilih partai yang berkuasa," katanya polos. Kaum guru -- yang umumnya bertugas di tempat pemungutan suara (TPS) -- juga udak luput dari sasaran KBL. Para guru tidak saja memperoleh uang, rata-rata P 50, tapi juga sebentuk perhiasan, asalkan mereka bisa menjamin suara penuh untuk Marcos. Tidak cuma itu. Menurut Association of Concerned Teachers (ACT), KBL telah menyelenggarakan tiga kali pesta Natal bagi mereka, Desember lalu. Dalam pesta itu, 200-300 guru dan kepala sekolah hadir, lalu dihibur dengan undian, yang memungkinkan para pendidik itu mengantungi uang tunai atau barang senilai P 500-1.000. Di samping itu, juga menjelang Pemilu, harga bensin diturunkan dari P 7,75 menjadi P 6,75 per liter. Gaji pegawai negeri dinaikkan 10 persen, dan ditambah subsidi P 150 per bulan untuk mereka yang gajinya di bawah P 2.500 dan P 50 untuk yang gajinya di atas P 2.500. Sekalipun kecil, untuk subsidi itu pemerintah harus mengeluarkan dana P 255 milyar per tahun. Bersamaan dengan itu harga semen diturunkan, dan pajak tidak diperberat. Kaum petani dihibur dengan kenaikan harga kelapa, tembakau, dan pembagian 700 hektar tanah negara kepada mereka yang tidak punya. Kapten Barangay ditenangkan dengan dana taktis pemilu, asalkan mereka mau mengamankan dukungan suara bagi Presiden. Dengan dana itu, popularitas Marcos berikut kekuatan KBL, yang menjangkau 75 persen dari seluruh wilayah Filipina, bisa tetap dipertahankan. Dalam upaya mempengaruhi pendapat rakyat, Marcos juga mengubah slogan kampanye yang dianggapnya tidak efektif. Sebelum Yel Marcos Pa Rin, KBL memakai slogan Subok Sa Krisis, artinya: sudah diuji lewat krisis. Tapi Partai Oposisi Unido menangkis dengan slogan Subok Nang Subok Krisis Pa Rin, yang artinya, "Biar sudah diuji, krisis tetap ada". Merasa ditonjok, slogan itu kontan diganti dengan Marcos Pa Rin, dan pada saat yang sama disebarkan slogan yang menjelekkan Corazon Aquino: Aquino Awang Alam -- Aquino tidak tahu apa-apa. Sejak mula, Marcos memang berusaha keras menjatuhkan lawannya, Cory Aquino, yang sebagai politikus baru berpengalaman 55 hari, yakni sejak kampanye berlangsung. Keamatiran Cory itu digempur habis-habisan. Lewat tv, misalnya, dimunculkan film propaganda pendek dengan gambar-gambar korban yang jatuh akibat pemberontakan tentara rakyat baru (NPA), yang juga dikenal sebagai gerilyawan komunis, dan pemberontakan Moro, aksi Muslim di Mindanao. Propaganda itu kemudian diselang-seling begitu rupa dengan gambar Cory, hingga terkesan bahwa Filipina akan semakin parah andai kata Cory menang. Tapi pihak oposisi tidak tinggal diam. Cory membalas dengan film dokumenter yang menampilkan adegan bentrokan polisi dan mahasiswa dalam satu demonstrasi. Di situ, Cory tampil dan bertanya, "Apakah Anda mengharapkan hal ini terjadi atas diri anak Anda?" Dua hari menjelang Pemilu, perang tv ini ditingkatkan Marcos dengan satu film dokumenter baru. Dengan latar belakang gambarnya sendiri, film itu dipenuhi kata-kata mentereng, "Untuk sebuah negeri yang berada dalam krisis, diperlukan seorang presiden dengan syarat-syarat: kepemimpinannya bertaraf internasional, matang dalam politik, tidak asing dengan struktur pemerintahan, punya keunggulan intelektual, mampu menghadapi pemberontak, dan lain sebagainya." Film ini jelas menyindir Cory, yang dianggap tidak memenuhi syarat sama sekali Surat kabar pemerintah Bulletin Today, yang oplahnya kini disaingi koran oposisi Malaya, ikut meramaikan perang urat saraf itu dengan iklan besar satu halaman. Ketika isu yang meragukan kepahlawanan Marcos tersebar, KBL muncul dengan iklan berbunyi, "Apa yang dilakukan ayahmu ketika Jepang datang?" Selanjutnya, dibongkar kerja sama mertua Cory, Benigno Aquino Sr, juga ayah Salvador Laurel, dengan pemerintahan pendudukan Jepang di Filipina. Iklan ini tidak syak lagi menuding keluarga Cory dan Laurel sebagai kolaborator Jepang, sementara Marcos justru bergerilya melawan Jepang. Kemudian menyusul lagi iklan satu halaman dengan pertanyaan pedas, "Mengapa buruh tani yang menyewa tanah keluarga Cojuangco (orangtua Cory) memilih Marcos? Jawabnya, juga tertulis di iklan itu, ialah "ayah Cory tidak menepati janjinya untuk membagi-bagikan tanah pada mereka." Gara-gara iklan ini satu rombongan buruh tani melancarkan protes ke rumah Cory di Times Street, Manila. Pukulan terakhir KBL dilayangkan lewat iklan satu halaman, yang keluar dua hari sebelum Pemilu. Iklan itu nyaris kosong, cuma diisi satu kalimat berbunyi, "Halaman kosong ini sengaja disediakan untuk program pemerintahan Cory." Cory dengan ini lagi-lagi diremehkan,- dianggap tidak mampu menyusun program kerja, andai kata ia menjadi presiden Filipina. Tidak jelas benar apakah serangan bertubi-tubi itu mencapai sasaran atau tidak. Tapi Marcos dan KBL telah berhasil menunjukkan kepada khalayak betapa profesionalnya mereka. Sementara itu, orang banyak juga tahu bahwa KBL tidak saja bersikap keras terhadap lawan politik mereka, tapi juga bisa keras terhadap rakyat kecil. Seorang pemuda berusia 23 tahun yang keberatan disebut namanya bercerita kepada TEMPO tentang kunjungan staf Jawatan Perumahan Nasional (NHA) ke daerah miskin Tondo, Desember lampau. Mereka mendatangi setiap warga di sana dan bertanya, "Pilih siapa?" Mereka yang menjawab KBL akan dibebaskan dari kewajiban membayar sewa rumah. Sebaliknya, mereka yang bermaksud memilih partai oposisi Unido diancam akan diusir atau, paling kurang, aliran listrik dan air ke rumahnya akan diputus. Pertanyaan "Pilih siapa?" juga diajukan kaki tangan KBL kepada pegawai negeri di berbagai kantor di ibu kota. Menjawabnya tentu tidak sulit. Tapi, seorang karyawati dalam satu wawancara dengan Okawa terus terang menyatakan kehawatirannya. "Kemungkinan besar setelah Pemilu saya dan teman-teman dipecat," ujarnya cemas. Dia belakangan baru sadar bahwa pertanyaan polos itu bisa menjebak. Dan KBL ternyata ketat sekali menggiring mereka. Dua hari sebelum Pemilu, misalnya, para kepala kantor mengumpulkan pegawainya, lalu berpidato tentang keberhasilan pemerintahan Marcos dan tentang tekad mereka memilih Marcos. Sebelum bubar, bapak-bapak itu berpesan, "Pilihlah calon Anda sesuai dengan akal sehat Anda." Ini adalah sejenis tekanan halus yang memaksa orang memilih calon berdasar perintah otak saja, tanpa menghiraukan suara hati nurani. Sekalipun begitu, masih ada yang lebih halus dari itu. Awal Januari lalu, Nyonya Castro (bukan nama sebenarnya), menerima sepucuk surat berstempel Istana Malacanang dengan tanda tangan Presiden Marcos di bawahnya. Surat itu ditulis tangan sangat rapi dan gaya bahasanya halus sekali. Di situ Marcos -- kalau memang dialah pengirimnya -- menyebut-nyebut pemberontakan komunis, kesulitan ekonomi, dan Pemilu yang harus dihadapi bersama. Untuk itu, Marcos secara pribadi mengimbau agar -- demi tanah air -- Pemilu dapat dijadikan tumpuan untuk membina hubungan baru. Apa maksudnya? Sebagai istri seorang diplomat yang pernah bekerja untuk Marcos, nyonya itu mengerti pesan tersembunyi yang dikirimkan Istana Malacanang. Ia tahu sang presiden menghendaki dukungan suara sebanyak-banyaknya dan, kalau perlu sekali, ia mengharapkan dukungan itu dari rekan-rekan lama yang kini menjauhkan diri, terutama sejak pembunuhan Benigno (Ninoy) Aquino, lawan tangguh Marcos, 21 Agustus 1983. Adapun nyonya itu bersama suaminya termasuk kelompok seperti itu yang jumlahnya mungkin tidak seberapa, tapi masih diperhitungkan Marcos. Terpilih pertama kali sebagai presiden pada 1965, Marcos boleh dikatakan tidak pernah mendapat kesulitan dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. "Dia terlalu pintar, terlalu cemerlang," kata orang-orang di Manila dengan perasaan kagum bercampur takut. Mungkin karena kecemerlangan itu pula, manakala masa jabatan Marcos yang kedua hampir berakhir, September 1972, ia memberlakukan UU Darurat. Dengan kekuasaan penuh selama 12 tahun, bahkan hingga sekarang, walaupun tanpa UU Darurat ia masih dipersenjatai berbagai hak istimewa, hingga wewenangnya tidak bisa diganggu gugat. Apalagi dengan parlemen yang dlkuasai KBL, tertutuplah kemungkinan bagi oposisi mengontrol pemerintah. Dalam kondisi politik seperti itu, pihak oposisi menyatakan boikot terhadap pemilu presiden, Juni 1981, sehingga Marcos menang mutlak dengan amat mudah. Marcos tetap bersinggasana dengan aman di Malacanang, hingga pembunuhan Aquino, 1983. Sesudah tragedi Aquino terjadi rakyat turun ke jalan dan berbagai gelombang protes meletup tanpa henti. Di bawah tekanan seperti ini, UUD ditinjau kembali, dan jabatan wakil presiden, yang dihapuskan pada 1973, dihidupkan kembali, Januari 1984. Harapan pihak oposisi mulai tumbuh manakala dalam pemilu parlemen (Batasang Pambansa), Mei 1984, mereka memenangkan hampir sepertiga dari 183 kursi. Untuk pertama kali dalam belasan tahun, KBL seperti kena sodok. Menyongsong pemilu kilat 7 Februari, Uskup Agung Manila, Kardinal Sin, juga melontarkan sodokan buat KBL. Dia memang tidak melarang rakyat menerima hadiah P 30 dari KBL, tapi diperingatkannya agar "Jangan sampai uang itu mempengaruhi kesadaran mereka." Felix Bautista, Pemimpin Redaksi Mingguan Veritas, menambahkan bahwa sebagai mesin politik, KBL tidaklah bekerja sebaik yang diduga orang. Alasannya? "Para kapten Barangay menggelapkan sebagian dana taktis yang diberikan Marcos," katanya mengemukakan contoh. "Tapi, Marcos pasti menang. Hanya saja, kemenangan itu diatur setipis mungkin, supaya kecurangan KBL dalam penghitungan suara tidak terlalu kentara." I.S. dan S.O.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini