TIDAK ada lagi gejolak di Filipina ketika hari pemilu tiba, Jumat pekan silam. Riuh rendah kampanye sudah berakhir. Pada hari itu, 26,2 juta pemilih dengan tenang dan berdisiplin menggunakan hak pilihnya pada 85.000 precinct -- sama dengan tempat pemungutan suara (TPS) di sini -- yang tersebar di 74 provinsi. Paling tidak selama delapan jam pemungutan suara, dari pukul 7 pagi sampai pukul 3 siang, keadaan relatif normal. Dan, ini benar-benar di luar dugaan. "Kami menginginkan perubahan." Itulah alasan banyak pemilih kalau ditanya mengapa mereka ikut pemilu. Waswas dan rasa takut pada mereka bukan tidak ada. Apalagi menjelang pemilu, para perusuh, sebagian bersenjata, telah melancarkan intimidasi dan memancing kerusuhan di berbagai tempat. Sehari sebelum pemilu, misalnya, dua orang anggota partai oposisi UNIDO ditembak mati di Davao, Mindanao. Pada waktu bersamaan, 2.200 kotak suara, yang sudah terisi penuh, ditempatkan di daerah pemilihan Lanao. Hal-hal seperti itu agaknya sudah tidak membuat rakyat kaget lagi. Contohnya, pada hari Jumat, banyak calon pemilih kehilangan hak suara, hanya karena nama mereka tidak tercantum dalam daftar pemilih. Di Manila saja, diperkirakan 350.000 dari 4,4 juta warga yang berhak memilih mengalami nasib serupa. Tapi mereka memprotes dengan tertib. Tidak ada gebrakan, tidak ada kemarahan. Gebrakan dan kejutan justru datang dari Ferdinand Marcos dan Corazon (Cory) Aquino, dua calon presiden yang akan menentukan jalan sejarah negeri ini. Kendati masa kampanye sudah berakhir, Marcos ternyata belum terbebas dari tingkah laku jor-joran. Dalam satu keterangan pers di Batac, Ilocos Norte, Marcos menyatakan bahwa ia akan menang dengan keunggulan suara 63 persen. Di Manila, sepulang dari Batac -- kampung kelahiran Marcos, dan tempatnya memasukkan suara -- ia untuk kedua kali meramalkan akan menang dengan keunggulan 2,1 juta suara. Cory rupanya tidak mau ketinggalan. Sesudah memasukkan surat suara di sebuah TPS di Tarlac, kepada khalayak yang berkumpul di sekelilingnya, Cory berkata, "Hari ini adalah hari saya. Saya tidak pernah merasa begitu yakin seperti sekarang. Saya akan menang, berkat bantuan semua rakyat Filipina. Dan saya berterima kasih pada Anda semua, semoga kita berjumpa lagi dalam upacara pelantikan saya." Sabtu esoknya, dalam sebuah konperensi pers di Makati, Manila, Cory pada kesempatan itu untuk pertama kali diperkenalkan sebagai "presiden terpilih", padahal pemilu baru beberapa jam saja berakhir, dan penghitungan suara jauh dari selesai. Memang, menurut catatan National Citizens Movement for Free Election (Namrel), Cory unggul dengan hampir satu juta suara. Tapi, itu tentu bukan alasan untuk memastikan bahwa seorang kandidat sudah bisa dipanggil sebagai "presiden terpilih". Hal lain yang juga agak mengejutkan ialah imbauan Cory kepada Marcos supaya mengaku kalah. Kalau tidak, Marcos akan berhadapan dengan demonstrasi besar-besaran. Ancaman serupa memang sudah dicanangkan Cory dalam masa kampanye. Dan, Marcos bukan tidak tahu. Bahwa ancaman yang sama masih dilontarkan sesudah pemilu, agaknya ini di luar kebiasaan umum yang berlaku. Mengapa Cory begitu gencar dan begitu menentang? Bagi Cory, kini, masalahnya, cuma satu: menang atau tidak. Sesudah belajar dari pengalaman suaminya, Benigno Aquino, yang dipenjarakan 8 tahun sebagai tahanan politik lalu ditembak mati tanpa jelas siapa pembunuhnya, Cory menampilkan sikap politik yang berbeda. Ada kesan ia cenderung berperan sebagai pengambil inisiatif mendahului sebelum didahului lawan. Ia tidak saja menyarankan Marcos mengaku kalah, tapi juga bicara tentang "masa peralihan yang mulus menjelang terbentuknya pemerintahan baru." Sikap jor-joran Cory itu menular cepat ke segenap lapisan oposisi di Manila. Mereka membanjiri pekarangan gereja Santo Domingo, Ahad lalu, menunggu kedatangan Cory dan calon wakil presiden Salvador Laurel, yang bersama-sama akan menghadiri misa sore di situ. Ketika kedua tokoh itu muncul, peserta misa segera menyambut dengan pekikan: "Cory, Cory, Cory." Dan, Uskup Teodoro Bacani tanpa canggung membahasakan Cory dan Laurel dengan sebutan "Presiden" dan "Wakil Presiden". Tidak ada peserta misa yang terkejut mendengar itu, kecuali serombongan wartawan asing. Disaksikan beribu pasang mata, Cory, yang hari itu menggunakan gaun abu-abu, naik ke mimbar. "Belum pernah saya merasa bangga seperti sekarang," ucapnya dengan wajah berseri-seri. "Marilah kita berdoa agar masa peralihan ini berlalu tanpa darah mengalir, dan tanpa korban lebih banyak." Sementara itu, di luar gereja, Chino Roces, penerbit Manila Times, melontarkan pidato singkat. "Seandainya Cory dan kita ditipu Marcos, kita harus siap berdemonstrasi ke Malacanang," kata Roces. Kemudian, seorang ibu rumah tangga, janda Kolonel Yap, penerbang yang mengundurkan diri dari angkatan udara Filipina, mengajak massa meneriakkan slogan oposisi: Sobra Na. Tama Na. Palitan Na. Sudah terlalu cukup. Hentikan. Gantikan. Dengan itu kemenangan Cory sudah mendapat legitimasi dari massa oposisi. Mereka yakin wanita ini akan menang. Dan, lebih dari itu mereka juga yakin bahwa Marcos akan berbuat apa saja untuk membatalkan kemenangan tersebut. Bagi mereka, sekarang atau nanti sama saja: Cory harus menang. Karena panggilan "Presiden" sudah diucapkan Uskup Bacani kepada Cory, maka tidak syak lagi Gereja Katolik secara tidak langsung sudah mengabsahkan kemenangan itu. Untuk pertama kali Gereja sebagai satu lembaga agama sudah tidak lagi netral, karena terang-terangan memihak Cory. Dalam kata lain Gereja sudah bertindak lebih dari satu Pressure Group suatu hal yang mungkin di luar perhitungan Presiden Marcos. Sekalipun begitu, masih terlalu pagi untuk meramalkan ini- itu. Berbagai skenario sudah diramalkan banyak orang sebelum pemilu, tapi tetap saja ada kejutan baru. Misalnya, sikap partisan yang ditunjukkan Gereja Katolik itu. Tapi yang pasti Cory sudah menawarkan alternatif kepada Marcos: transfer kekuasaan atau demonstrasi. Di balik itu, masih ada isyarat bahwa Cory tidak pendendam dan tidak suka kalau Filipina berlumuran darah. Dan, Marcos, yang tiap kali menyerukan "rujuk nasional", bukanlah tipe pemimpin yang mudah digertak atau diimbau-imbau. Jika Cory pada Sabtu siang sudah menyerukan supaya Marcos mengaku kalah, presiden itu sebaliknya tidak melihat alasan untuk berbuat demikian. Marcos sudah dilaporkan bahwa ia menang pada 10 dari 12 daerah pemilihan ini dikemukakannya dalam satu konperensi pers di Istana Malacanang, sehari sesudah pemilu. Dalam kesempatan itu ditegaskannya pula bahwa penghitungan suara yang dilakukan Comelec (Komisi Pemilu), lembaga resmi penyelenggara pemilu, ataupun dilaksanakan Namfrel, sama sekali tidak resmi. "Hanya Parlemen (Batasang Pambansa) yang berhak mengumumkan hasil resmi pemilu sesudah lebih dulu mengadakan pengecekan penghitungan suara. Dan, sesuai dengan UU Pemilu, hasil parlemen itulah yang sah dan resmi," kata Marcos. Di Parlemen, mayoritas dikuasai KBL, partai yang kini memerintah. Dengan KBL di Parlemen, Marcos memang dapat mendiktekan berbagai kehendaknya, tapi ada beberapa faktor yang mesti diperhitungkannya. Pertama, potensi massa oposisi yang, walaupun longgar, ternyata, lewat pemilu, kini justru semakin kuat. Kedua, citranya tampak sulit dipertahankan, terutama sejak pembunuhan Senator Benigno Aquino, Agustus 1983. Ketiga, faktor kehadiran para peninjau asing, khususnya tim Amerika Serikat yang dipimpin Senator Richard Lugar, sebagai "wasit" pemilu. Walaupun status mereka peninjau, Lugar dan kawan-kawan bisa menjadi kerikil tajam, yang bisa membuat Marcos tergelincir. Buktinya, dalam keterangan persnya Ahad lalu, Lugar menyesalkan penghitungan suara yang bukan saja lambat, tapi "beringsut-ingsut". Mengapa? "Ini tak lain karena adanya strategi yang disengaja," tuduh Lugar. Tidak cuma itu. Dalam siaran via satelit ke Washington, Lugar melaporkan penghitungan Comelec "sangat mencurigakan". "Kami benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana hasilnya," ucap Lugar. Pernyataan Lugar itu seperti gayung bersambut di kantor pusat Comelec. Sebanyak 30 operator komputer yang bertugas di sana tiba-tiba mengundurkan diri. Alasan mereka, tidak mau terlibat dalam manipulasi penghitungan suara. Dan mereka juga tahu bahwa sejak Sabtu Ketua Parlemen Nicanor Yniguez sudah mengumumkan bahwa lembaga itu akan mengadakan pengecekan terhadap penghitungan suara. Terlepas dan risiko yang akan mereka hadapi, sikap 30 operator itu secara tidak langsung memastikan bahwa Comelec memang melakukan kecurangan dalam penghitungan suara. Menurut catatan mereka, Ahad malam, Marcos mengumpulkan 3.056.236 suara, Cory 2.903.348. Sedangkan Namfrel mencatat: Marcos 4.806.166 suara, dan Cory 5.576.319 pemilih. Heboh soal penghitungan suara ini belum mencapai klimaks ketika ada isu agar penghitungan dihentikan saja. Alasannya, bisa menimbulkan kerusuhan dan pertentangan pendapat. Alasan ini agak dicari-cari, karena rakyat Filipina, khususnya warga Manila, mengikuti hasil-hasil pemilu, baik dari Comelec maupun Namfrel, dengan sikap dewasa. Mereka dengan teliti memperhatikan papan penghitunan suara yang dipasang di banyak tempat strategis, dan ada pula yang mencatat. Sebegitu jauh tidak pernah terjadi bentrok seperti yang dikhawatirkan Comelec. Banyak pengamat memang memperkirakan penghitungan suara akan rawan. Dalam pemilu terdahulu, penukaran kotak suara termasuk kecurangan yang tidak bisa dilawan. Tapi sekarang, sekitar 500.000 sukarelawan Namfrel yang bertugas di seluruh Filipina -- kecuali di daerah yang mereka anggap rawan -- telah mengawal kotak suara bagaikan mengawal nyawa sendiri. Mereka berbaris bergandengan tangan, menduduki atau memijakkan kaki di kotak suara beramai-ramai, atau menggendongnya seperti bayi. Tak jarang mereka itu harus berhadapan dengan Goon, perusuh bersenjata yang tidak jelas identitasnya. Seorang petugas Namfrel telah gugur dalam menjalankan tugas mulia itu. Tapi dalam pandangan Marcos, "Namfrel sangat energetik dalam melanggar UU." Ia menuduh lembaga swasta ini berbuat sedemikian rupa hingga menguntungkan Cory. Sedangkan pihak-pihak tertentu berpendapat bahwa Namfrel, yang dipimpin Joce Concepcion itu, pada mulanya memang tidak memihak, tapi belakangan kentara sekali mereka condong pada oposisi. Betapa tidak. Petugas Namfrel yang gugur, Rodrigues Ponche Jr., mati ditembak di Roxas City, Capiz, ketika mempertahankan kotak suara yang dipercayakan kepadanya. Sementara itu, di kawasan-kawasan Makati banyak petugas Namfrel yang diusir keluar TPS di bawah todongan senjata. Di sekolah tinggi Jolo, Mandaluyong, lima orang Goon -- perusuh -- menembakkan senjata, lalu melarikan kotak suara. Ada pula beberapa biarawati, yang bekerja untuk Namfrel, diusir tentara dari TPS. Paling sedikit ada 27 kasus pencurian kotak suara, satu di antaranya dilakukan secara terang-terangan dan tak bisa dicegah petugas Namfrel, karena malingnya orang-orang bersenjata. Dalam keadaan terancam seperti ltu, amat sulit bagi sukarelawan Namfrel, yang sebagian besar masih remaja, untuk tidak memihak. Ketegasan sikap mereka terlihat ketika lebih dari 100 remaja melakukan piket di depan pintu Balai Kota Mandaluyong, Manila, Ahad lalu. Mereka, khawatir akan ada manipulasi, menongkrongi 28 kotak suara yang tertahan di sana, karena belum diperiksa petugas distrik. Tapi, polisi yang bertugas di situ merasa tidak senang. Remaja Namfrel diusir dan hampir saja terjadi bentrokan. Seperti diketahui, tiap kotak suara sesudah selesai penghitungan harus dibawa dari TPS ke Balai Kota untuk diperiksa lagi di sana. Perampasan biasanya terjadi dalam perjalanan antara TPS dan Balai Kota. Pemilu, dalam pengertian pemungutan suara, memang tertib. Berbagai kekerasan baru muncul setelah itu. Pada 24 jam pertama, di seluruh Filipina, tercatat 66 orang tewas sebagai buntut Pemilu. Angka itu meningkat terus, belum lagi terhitung yang cedera berat dan luka-luka ringan. Sampai Selasa pagi pekan ini, sudah 93 orang meninggal, dan diperkirakan jumlah ini akan melonjak pada minggu-minggu mendatang. Situasi memang mulai serba tidak pasti. Sabtu lalu, Artemio Fernandez, kakak anggota Parlemen Jolly Fernandez dari oposisi ditembak mati di Masbate. Pembunuhnya Sersan Polisi Modesto Talion, melakukan itu di depan sekitar 120 orang yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dikhawatirkan aksi-aksi sepihak, baik dari perusuh bersenjata maupun petugas keamanan, bisa meluas. Sementara itu, beredar isu tentang pendekatan yang dilakukan Eduardo Cohuang Co., pengusaha kaya dari kelompok Marcos, yang diutus berunding dengan Cory di Tarlac. Baik Eduardo -- keponakan Cory maupun Cory sendiri membantah desas-desus tersebut. Dalam pada itu, golongan kiri Bayan, yang semula menempatkan diri di luar percaturan, kini menunjukkan tandatanda mendekati kelompok oposisi. Golongan radikal, yang umumnya terdiri dari mahasiswa dan kaum intelektual, juga ikut terjun meramaikan pemilu dengan sasaran menghajar Marcos. Semula berada di bawah pimpinan Pengacara Lorenzo Tanada, kelompok ini kemudian merintis jalan sendiri, dan muncul sebagai grup yang cukup potensial, terutama sejak pembunuhan Aquino, 1983. Dua kekuatan lain, gerilyawan komunis NPA dan pemberontak Muslim MNLF di selatan, akhir-akhir ini juga tampak semakin galak. Sekalipun begitu, banyak pengamat memastikan "ancaman merah" tidak segawat seperti dikhawatirkan pemerintah AS. "Ancaman sebenarnya datang dari Marcos sendiri," kata Tanada kepada koresponden TEMPO, Okawa, dua pekan lalu. Sekalipun begitu, satu tindakan penting telah diambil parlemen, Senin sore, ketika lembaga ini memutuskan akan membentuk panitia khusus, yang terdiri dari 4 anggota KBL dan 4 anggota UNIDO, serta dipimpin seorang ketua dari KBL. Tugas mereka melakukan penghitungan, yang paling lambat dua mmggu sudah bisa diketahui hasilnya. Di Manila, perintah siaga diperpanjang sampai waktu yang tidak ditentukan. Tapi kegiatan sehari-hari sudah kembali seperti biasa. Tapi siapa pun yang akan keluar jadi pemenang, keadaan belum dengan sendirinya berubah. Andai kata Marcos terpilih kembali, kuat dugaan akan terjadi kerusuhan di seluruh negeri. Seperti diramalkan Butz Aquino, demonstrasi kembali menggempur Malacanang. Jika karena Cory ditangkap, "Anak saya akan menggantikan saya," katanya. Bagaimana jika Cory menang? "Marcos akan kabur, entah ke mana," demikian Butz Aquino pada Okawa pekan lalu. "Dan kami akan menata kembali lembaga demokrasi di negeri ini." Isma Sawitri & Seiichi Okawa di Manila
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini