KETIKA Ferdinand Marcos terpilih sebagai kepala negara Filipina pada 1965, Presiden AS Lyndon Johnson segera menyebutnya sebagai "tangan kanan saya yang ampuh di Asia". Tahun 1969, sewaktu Ronald Reagan, saat itu menjabat Gubernur California, mengunjungi Filipina sebagai utusan pribadi Presiden Richard Nixon, ia kabarnya sangat terkesan oleh kebijaksanaan Marcos yang sangat anti-Komunis. Pada 1972, saat Marcos menjadi diktator, Washington tampak tidak keberatan. Bahkan sembilan tahun kemudian, Wakil Presiden AS George Bush, dalam pidatonya di depan Marcos di Manila, berkata, "Kami berdiri bersama Anda. Kami mencintai tindakan-tindakan Anda yang berpegang pada proses demokrasi." Dua tahun setelah itu, tokoh oposisi Benigno Aquino, suami Corazon Aquino, mati tertembak di lapangan terbang Manila. Meski belum jelas terlibatatau tidaknya Marcos dalam penembakan Senator Aquino, yang pulang dan pengasingan di AS itu, sikap Washington terhadap Manila tidak lagi semanis dulu. Mula-mula memang cuma berita surat kabar dan laporan televisi. Tapi cerita kurang enak dari Manila -- makin menaiknya bahaya Komunis, memburuknya ekonomi, timbulnya sikap antiAmerika -- akhirnya sampai juga ke Gedung Putih lewat Laksamana William Crowe, Panglima Tentara Amerika di Pasifik pada 1984. Waktu itu, Crowe, sekarang menjabat Ketua Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang, melaporkan kepada Reagan masalah makin rontoknya posisi politik Marcos. Sementara itu, hubungan Washington-Manila yang begitu vital -- di Filipina, ada dua pangkalan militer Amerika: di Teluk Subic dan Clark -- menghantui Gedung Putih untuk tidak membiarkan Marcos berbuat sekehendaknya. Lebih-lebih setelah AS kehilangan Syah Reza di Iran pada 1979, dan Presiden Somoza di Nikaragua, setahun kemudian. Sejak laporan Crowe itu, Reagan mulai mengirimkan utusan-utusan pribadinya ke Manila. Dan, tidak semuanya diketahui orang banyak. Bukan saja karena Reagan menghindari kesan paternalistis terhadap Filipina, tapi juga agar tidak menarik perhatian lawan-lawan politiknya di dalam negeri. Sebab itu, yang diketahui umum pada saat kunjungannya hanya sejumlah kecil utusan saja -- di antaranya Direktur CIA, dinas rahasia AS, William Casey, dan Senator Paul Laxalt. Casey, yang berkunjung ke Manila, Mei tahun silam, bertugas membujuk Marcos agar secepat mungkin melakukan reformasi politik sebagai "prasyarat bagi reformasi ekonomi". Sedangkan Laxalt, kawan dekat Reagan, mengadakan lawatan ke Filipina Oktober tahun silam, tatkala keluarga Marcos sudah menjadi bulan-bulanan anggota Kongres dan pers Amerika, guna menyampaikan keprihatinan AS terhadap meningkatnya ancaman Komunis dan kemerosotan ekonomi sekutunya itu. Tidak lama kemudian lahirlah gagasan pemilihan umum --dan telah dilaksanakan pekan silam. Sementara itu, sikap anti-Marcos di Amerika makin tak terkendali. Mula-mula hanya di Kongres, tapi di hari-hari terakhir menjelang pemilu hampir serentak pers Amerika melancarkan serangan ke alamat Marcos dan keluarganya. Di Kongres, tokoh utama anti Marcos ialah Stephen Solar, anggota Parti Demokrat dari New York. Solar, yang juga ketua Komite Asia Pasifik di Kongres, bukan cuma berhasil mengurangi bantuan militer terhadap Filipina, tahun silam, tapi juga populer dengan dakwaannya kepada Marcos dan Imelda, yang dituduhnya mengkorupsi bantuan Amerika, dan serta menanamkannya kembali di Amerika. Marcos tentu saja menolak dakwaan tersebut, bahkan balik menuduh Solar sebagai cuma ingin mempengaruhi hasil pemilu di Filipina. Ketika "perang" dengan Solar belum lagi usai, Marcos harus pula berurusan dengan harian The NeW York Times, yang menuduhnya memalsukan fakta sejarah dengan mengaku-aku sebagai pahlawan pada Perang Dunia II. Menurut penyelidikan pada arsip tentara AS, kata koran New York itu, Marcos sama sekali bukan apa-apa pada Perang Dunia II lalu. Betulkah? Juru bicara Marcos menjelaskan bahwa di Manila orang tidak terkejut dengan berita surat kabar The New York Times itu, karena "dalam sepuluh tahun terakhir ini koran tersebut memang telah menugasi seorang wartawannya untuk menggali semua kebobrokan Marcos." Sementara itu, Marcos sendiri juga mengimbau teman-teman seperjuangannya membantah kebohongan berita itu. Menjelang pemungutan suara, tatkala ketakutan akan adanya kecurangan pada penghitungan suara mulai melanda Amerika, sejumlah peninjau dari AS dan berbagai negara berdatangan di Manila. Tapi citra apa yang akan mereka ubah? Sebab, Kepala Staf Gedung Putih Donald Regan, akhir bulan silam, menjelaskan kepada pers bahwa, "Amerika Serikat akan bekerja sama dengan pemenang pemilu di Filipina, meski sang pemenang mendapatkannya dengan berlaku curang." Selanjutnya, ia menambahkan, "toh di dunia ini banyak pemerintah yang berkuasa lewat pemilihan yang tidak bersih." Yang menarik, sehari sebelumnya Presiden Reagan masih bicara tentang pemilu yang bersih di Filipina. Katanya: "Kalau pemilu itu bersih, dan pemerintah melakukan reformasi politik, Manila boleh berharap tambahan bantuan dari Washington." Mengingat dekatnya hubungan pribadi antara Reagan dan Regan, tidak sulit menebak bahwa Regan juga bicara untuk atasannya. Apalagi, beberapa pekan silam, Marcos juga menjelaskan kepada wartawan, bahwa ia dan Reagan tidak ada persoalan. Yang ada cuma dengan para birokrat serta sejumlah anggota Kongres. Jika memang demikian halnya, maka desakan reformasi politik -- menjadi sebab adanya pemilu pekan silam -- yang dipompakan Washington kepada Manila tampaknya lebih merupakan produk sampingan dari percaturan politik dalam negeri AS daripada suatu keinginan melihat Marcos melakukan reformasi politik. Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini