KETIKA Jaime Ongpin, Luis Villafuerte, John Osmena, dan kawan-kawan mengupayakan Konvensi Penyatuan Nasional (National Unification Convention) antara semua kekuatan politik di luar KBL di Filipina, mereka tentu tidak bermimpi. Banyak orang skeptis tentang usaha yang nyaris mustahil dilakukan di alam psikologi politik oposisi yang lagi kacau saat itu. Bagaimana tidak. Tidak satu pun kekuatan oposisi terorganisasi dengan baik. UNIDO, yang agak mendingan, dipimpin oleh orang-orang bekas begundal Marcos juga. Sedangkan lainnya bertumpu pada karisma atau vokalnya pendirian satu dua pemimpin mereka. Sisanya, bahkan hanya mengandalkan retorika dan obral slogan kosong belaka. Pada situasi demikian, tidak mengherankan konsolidasi kekuatan New People's Army pesat berkembang. Tentara rakyat, yang merupakan sayap militer gerakan komunis Filipina itu, dengan cepat merebut simpati rakyat miskin, yang terabaikan kepentingannya bahkan tergusur oleh derap modernisasi ekonomi yang dicanangkan KBL. Gerakan kaum yang peduli pada penderitaan rakyat lalu ogah dikaitkan dengan warna politik oposisi yang brengsek organisasinya. Mereka lalu terjun ke desa-desa. Menyusup ke pedalaman, mengibarkan panji-panji menemani rakyat kecil, soal tanah, soal hak asasi, soal hukum, soal kesehatan, permukiman, penggusuran, dan lain-lain. Di sana, di dalam kepedulian pada jeritan rakyat jelata itu, para pemimpin gerakan civic (civic movement) itu bertemu. Di sana, mereka berdialog. Di sana, apa boleh buat, mereka ketemu NPA! Kenyataan itu mencemaskan anak-anak muda dari kelas menengah yang kurang lebih sudah mapan, tetapi muak dengan kesenjangan antara slogan KBL dan sepak terjang pemegang kekuasaan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Sebagai kelas menengah, mereka masih percaya jalur berpikir sepanjang alur aturan, konstitusi, norma, atau apapun namanya. Biarpun, melihat gelagat pesatnya konsolidasi NPA, mereka hanya yakin tidak ketinggalan kereta, bila dapat dibangun jalur cepat (fast track). Rumusan mereka tentang jalur cepat ialah: memanfaatkan lembaga pemilihan umum menyatukan kekuatan oposisi membangun dukungan luar negeri mengerahkan dana dan daya untuk reformasi secara konstitusional dan meredam of ofensif golongan ekstrem dengan membuka Jalur dialog. Hasil pemilu 7 Februari ini hanyalah satu langkah -- biarpun amat penting -- yang akan menentukan pilihan jalan pembaruan lanjut yang harus ditempuh. Karena itu, kurang relevan menilai skenario purnapemilu dengan tolok ukur keuzuran Marcos atau kenaifan Cory Aquino. Mereka hanyalah pembawa pertanda arah. Ibarat Marcos membawa bendera biru, Cory membawa bendera kuning. Yang penting, bila biru yang jaya, maka skenario perubahan kelam yang akan ditempuh. Bila kuning yang jaya, skenario perubahan waspada yang dilalui. Tegasnya, bila pemilu ini, hasil penghitungan suara -- dengan paksaan dan ancaman, atau karena kecurangan -- mengunggulkan Marcos, tampaknya terpaksa perubahan secara revolusioner yang terjadi. Yang mengerikan, perubahan revolusioner ini harus diperebutkan inisiatifnya. Kekuatan progresif yang berintikan kelas menengah hanya mempunyai dua pilihan, bila ingin mengambil bagian atau berprakarsa dalam memotori perubahan. Pertama, membuat aliansi dengan kekuatan akar rumput (grass root) di dalam negeri dan dukungan pers, opini publik, dan pemerintah Amerika. Kedua, membiarkan NPA mengambil inisiatif, atau terpaksa bersepakat dengan mereka (NPA) dan memotori perubahan bersama-sama. Tentu pilihan itu getir. Tetapi sangat nyata kemungkinannya. Bila Cory Aquino yang unggul dalam penghitungan suara, keadaan menjadi sedikit ringan untuk memotori perubahan lanjut. Penjelmaan baru warlordism dalam politik Filipina produk dari dolnya kekuasaan Marcos dapat dibersihkan. Kepentingan bisnis yang merugikan rakyat dibenahi. Teknokratisme konduk pemerintahan dan administrasi perlu dilempangkan sesuai dengan kehendak rakyat dan konstitusi. Merosotnya citra dan kehormatan angkatan bersenjata dari prajurit, pejuang, dan pembela konstitusi menjadi tukang pukul yang melotot untuk kepentingan penguasa dilempangkan. Pendek kata, bila Cory yang terpilih, alur perubahan, pembaruan, atau reformasi bisa dilakukan secara bertahap, evolusioner, dan "tertib". Termasuk membenahi kedodorannya jaringan mesin politik kelompok Cory Aquino dan Salvador Laurel yang bisa tidak cukup peka menghadapi tantangan pemerintahan sebenarnya. Pers dan pendapat umum Amerika nyata sekali menghendaki adanya perubahan di Filipina. Ini dengan mudah ditebak dari kebijaksanaan pemberitaan, pilihan foto yang dimuat, bahkan memberi tambahan amunisi berupa cerita tentang pahlawan gerilya penggombalan. Demikian pula pemerintah Amerika Serikat, seraya dengan hati-hati, diplomasi tenggang rasa diterapkan. Dikirimnya peninjau pemilu, yang sangat menekankan misi pengawasan kejujuran dan kebersihan penyelenggaraannya, menampakkan warna politik Presiden Ronald Reagan. Bahkan secara implisit Reagan menyatakan nuansa yang mencerminkan suara rakyatnya mengenai pentingnya ada perubahan di Filipina. Sejarah arah dan modus perubahan yang akan terjadi di Filipina dalam waktu dekat ini akan ditentukan oleh hasil pemilu di Filipina 7 Februari 1986. Perjuangan anak muda Filipina itu mengingatkan saya pada usaha mengusir Spanyol, zaman perjuangan Jose Rizal dan kawan-kawan. Jalur evolusioner dipilih oleh Liga Filipina yang, antara lain, dimotori Jose Rizal, pahlawan nasional Filipina. Sedangkan jalur revolusioner dipilih oleh Katipunan ang mga Anak ng Bayang (Perhimpunan Putra Bangsa) yang dipimpin Andres Bonifacio. Sejarah memang suka berulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini