RADEN Mas Wisnu Wibisono Haryo R Suryo terpaksa tinggal di atas mobil minibusnya, berhimpit dengan Istri dan enam anaknya. Rumah "gedongan", yang pernah ia tinggali selama 30 tahun di pusat Kota Surabaya, sudah tak lagi menjadi haknya. Setahun lalu, Pengadilan Negeri Surabaya menyerahkan rumah itu kepada Nyonya Louis Benyamin, selaku ahli waris pemilik lama, Nyonya Lee Sian Khing. "Pengadilan telah membunuh hak hidup perdata bagi keluarga saya," ujar Cicik Rahayu, istri sang raden, yang mendapat kuasa khusus dari suaminya untuk mewakili sengketa rumahnya. Namun, perjuangan Cicik belum juga pupus. Awal bulan ini, ia mengajukan persoalannya ke Mahkamah Agung. Baginya, kekalahannya di pengadilan pertama, yang dikuatkan pengadilan banding Oktober tahun silam, bukan hanya menyangkut soal perampasan hak, tetapi juga penghinaan. Dua pengontrak di rumahnya -- perusahaan pakaian jadi dan toko film -masing-masing diberi pesangon Rp 30 juta oleh pihak pemenang. Sedangkan Cicik hanya ditawari Rp 3 juta. Dan, Suryodirjo, mertua Cicik, oleh hakim hanya dianggap sebagai pesuruh pemilik rumah. "Lho, mana ada kacung punya sopir sersan?" ujar Cicik, menggebu-gebu. Cicik mengaku, bahwa mertuanya, sekitar tahun 1950-an, sudah menjadi penasihat militer. kini setingkat dengan komandan Korem. Cicik juga merasa bahwa penempatan atas rumahnya, yang kini ditaksir Rp 1,5 milyar, juga sah. Betapa tidak. Sebagai penghuni yang sudah puluhan tahun, suaminya telah mendapat Surat Penempatan dari Kantor Urusan Perumahan Surabaya. "Permohonan untuk memperoleh HGB (Hak Guna Bangunan) juga saya lebih dahulu," ujar Cicik. HGB rumah Belanda itu memang sudah habis tiga tahun sebelumnya, ketika Cicik mengurus yang baru, pada 1982. Selain itu, kejanggalan juga muncul selama persidangan berlangsung. Suryo beserta pengacaranya menghilang begitu saja selama satu setengah tahun, sehingga tak pernah hadir satu kali pun. Ia baru muncul kembali menjelang akhir tahun lalu. "Saya takut, karena akan dibunuh Cicik," ujar Suryo. Ketakutan itu, ternyata, bersumber dari ulah seorang pedagang emas di Pasar Blauran, Surabaya. Menurut Suryo, orang yang mendapat kuasa penuh dari Louis itulah yang selalu memperingatkan bahwa Suryo beserta istri muda dan anaknya nomor empat yang masih bayi akan dibunuh oleh Cicik. Jadi, harus bersembunyi, karena pembunuh-pembunuh bayaran sudah disebar. Dan, orang itu pulalah yang mengatur persembunyian Suryo. Semula ia dititipkan di rumah pembantunya. Lalu, karena takut tercium Cicik, Suryo dikontrakkan rumah di Kota Sidoarjo bersama istri mudanya dan anaknya nomor empat yang masih bayi. Supaya lebih aman, belum berapa lama tinggal di kota itu, Suryo lalu diboyong ke Hotel Doho di Kediri, selama lima bulan. "Saya sebenarnya merasa bosan, tapi tak bisa berbuat apa-apa, karena tak boleh pergi bersama istri," ujar Suryo. Dari kota itu, Suryo masih berpindah-pindah lagi ke berbagai kota, dengan bergaya bagai orang kaya. "Naik mobil ada yang bukakan pintu, naik taksi (gelap) boleh pilih Corolla atau Corona," ujar Suryo mengenang. Di samping itu, ia juga masih dibelikan sebuah minibus seharga Rp 1,6 juta, dan perabotan rumah tangga. Tapi mobilnya hanya sempat dipakai dua minggu, karena sering ngadat dan STNK-nya habis. Sementara itu, Cicik sendiri sedang sibuk memperjuangkan nasibnya, gara-gara melacak suaminya. Setelah laporannya ke berbagai Polsek dan Polwil Surabaya tidak pernah mendapat tanggapan, ia malah dicurigai sebagai PKI oleh Satuan Reserse Polda Ja-Tim. Akibatnya, ia terpaksa menghentikan pelacakannya. Jalan mulus baru bisa dilaluinya ketika, beberapa waktu lalu, Cicik berhasil bertemu langsung dengan Mayjen (Pol.) Wik Djatmika, Kapolda Ja-Tim, yang memberi tanggapan serius pada pengaduannya. Kesadaran Suryo baru muncul ketika pedagang yang mengatur hidupnya sudah mulai seret mengeluarkan uangnya. Saat itu, setahun setelah minggat, ia sudah mulai meragukan kebenaran omongan pedagang itu. Sayangnya, ketika muncul kembali, Suryo sudah lebih dahulu menandatangani akta notaris tentang kesediaannya mengosongkan rumahnya dengan menerima imbalan Rp 30 juta. Akta itulah yang menyebabkan majelis hakim mengabulkan gugatan Louis. Bahkan, keputusannya juga bersifat "bisa dilaksanakan dengan serta-merta". Padahal, Cicik sudah berkali-kali menjelaskan di hadapan sidang bahwa suaminya sakit jiwa. Itulah agaknya yang menyebabkan penyakit Suryo baru ketahuan belakangan. Menurut Mayor (Pol.) Sutilah, dari Seksi Psikologi Polda Ja-Tim, yang kini tengah mengusut kasus itu, Suryo ternyata memang mengidap setumpuk penyakit jiwa: lemah mental, inteligensia di bawah rata-rata disertai kepribadian yang tidak matang, canggung dalam menyesuaikan diri, mudah dipengaruhi, dan tidak percaya diri sendiri. Tapi Yahya Wijaya, Ketua Majelis Hakim yang memimpin sidang tingkat pertama mengatakan tidak merasa ikut bertanggung jawab terhadap penyakit Suryo. "Cicik tidak minta pengampunan pada majelis berdasarkan surat dari ahli," ujarnya. Surat itu memang mustahil didapat, karena Suryo sendiri menghilang. Diakuinya, sebagai hakim, ia hanya tahu formalnya saja. "Kalau di balik itu ternyata ada cara-cara mafia, saya tidak tahu," katanya lagi. Tak pelak lagi, Cicik segera membantah pernyataan hakim itu. Sebab, surat kuasa dari suaminya yang ia sodorkan di sidang aslinya tak boleh diambil kembali. Hakim menganggap, tanda tangan di surat itu palsu. "Jadi, hakim tahu adanya penculikan itu," ujar Cicik. Kini, medan pertempuran pun kini sudah mulai pecah di kelompok pedagang emas itu. Pembantunya, Sawer, yang bertugas mengawal Suryo di pelarian membelot. Pedagang itu ternyata tidak memenuhi janji untuk membelikan Sawer sepeda motor atas jasanya menyembunyikan Suryo. Sehingga, menurut sumber TEMPO di kepolisian, sebenarnya Sawerlah yang membebaskan Suryo. Praginanto Laporan Saiff Bakham (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini