Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Top 3 dunia kemarin diawali dari profil kota Beirut di Lebanon yang menjadi kota paling mahal di Arab. Harga-harga di kota ini melambung sementara tak semua penduduknya mampu.
Berita lainnya top 3 dunia adalah tentang calon wakil presiden Donald Trump, JD Vance. Dia disebut membela Israel. Terakhir adalah pelabuhan Israel yang dikabarkan bangkrut karena serangan Houthi, Yaman. Berikut berita selengkapnya:
Duduk di luar kedai kopi di kota pantai Batroun, Sara Khoury menyeruput kopinya sambil menikmati pemandangan laut yang tenang di kampung halamannya. Saat berlibur dari Dubai, tempat dia tinggal sebagai ekspatriat Lebanon berusia 27 tahun, Khoury terkejut dengan tingginya harga-harga di Lebanon, dan menganggapnya sebanding dengan harga-harga di salah satu kota termahal di dunia.
"Lebanon tidak bisa lagi dianggap sebagai negara yang terjangkau; harga-harga tinggi hampir di semua tempat," ujar Khoury, yang bekerja di bidang penjualan di sektor makanan dan minuman, kepada Al Arabiya English. "Ini berlaku untuk restoran, barang kelontong, hotel dan layanan lainnya. Kami melihat harga di restoran-restoran sederhana yang hampir setara dengan restoran-restoran kelas atas di Dubai."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beirut berada di peringkat ke-6 sebagai kota termahal di dunia Arab, hanya kalah dari Dubai, Abu Dhabi, Doha, Riyadh dan Jeddah, menurut laporan terbaru dari Indeks Biaya Hidup tahunan Numbeo. Secara global, kota ini berada di peringkat ke-113 kota termahal dari 178 kota dengan indeks biaya hidup sebesar 45,2 poin. Sebagai perbandingan, Jenewa menduduki peringkat teratas dengan skor 101,7.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun biaya hidupnya tinggi, kualitas hidup di Beirut menurun drastis jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Dalam Indeks Kualitas Hidup Numbeo, kota ini berada di peringkat 171 dari 178 kota di seluruh dunia.
Baca di sini selengkapnya.
2. Posisi Calon Wapres Trump atas Isu Palestina, Israel, Ukraina, dan Cina
Sebagai seorang pemodal ventura dan seorang veteran, J.D. Vance, wakil Presiden pilihan Donald Trump terkenal secara nasional dengan bukunya yang dijadikan film, Hillbilly Elegy. Dia adalah bagian dari aliran Partai Republik yang memperjuangkan pendekatan lepas tangan terhadap kebijakan luar negeri. Kebijakan tersebut memprioritaskan kepentingan AS, meragukan intervensi militer, dan mempertanyakan pendekatan lama AS terhadap aliansi global.
Namun, pendekatan "America First" dari Vance juga memiliki batasan. Berikut ini adalah perspektif kebijakan luar negeri senator yang vokal ini dalam berbagai hal, mulai dari perang Israel di Gaza dan konflik di Ukraina, hingga meningkatnya ketegangan dengan Cina:
Di mana posisi Vance terhadap Israel dan Gaza?
Kebijakan luar negeri Vance dapat diduga sebagai "Amerika yang pertama dengan pengecualian Israel". Ketika Hamas melakukan serangan pada 7 Oktober tahun lalu, Vance menyalahkan pemerintahan Biden karena membiarkan kelompok Palestina tersebut.
"Rakyat Amerika harus menghadapi kenyataan pahit: uang pajak kita mendanai hal ini," ujarnya, beberapa jam setelah serangan tersebut, menurut laporan media.
Dukungan setia Vance terhadap hubungan AS-Israel yang kuat didasarkan pada pandangannya bahwa negara tersebut sangat penting untuk melindungi kepentingan AS di Timur Tengah, menurut Seth Eisenberg, CEO PAIRS Foundation, sebuah organisasi yang berbasis di AS.
"Vance mendukung kelanjutan bantuan militer kepada Israel, menekankan bahwa Israel yang aman berkontribusi terhadap stabilitas regional dan sejalan dengan kepentingan strategis Amerika. Dia menganjurkan kerja sama diplomatik dan pertahanan yang erat, mengakui peran Israel sebagai negara demokrasi di kawasan yang bergejolak," kata Eisenberg kepada Al Jazeera.
Vance telah menolak segala bentuk pembatasan bantuan kepada Israel.
Selengkapnya simak di sini.
3. Pelabuhan Israel Bangkrut akibat Blokade Houthi selama Berbulan-bulan
Pelabuhan Eilat di Israel secara resmi telah dinyatakan bangkrut karena penurunan tajam dalam kegiatan komersial dan pendapatan akibat blokade angkatan laut yang diberlakukan oleh Houthi Yaman terhadap kapal-kapal kargo yang terkait dengan Israel sejak November lalu, seorang pejabat senior telah mengonfirmasikannya.
"Harus diakui bahwa pelabuhan ini berada dalam kondisi bangkrut," jelas CEO Pelabuhan Eilat, Gideon Golber. "Hanya satu kapal yang datang ke sini dalam beberapa bulan terakhir. Pihak Yaman telah secara efektif menutup akses ke pelabuhan."
Awal bulan ini, pelabuhan Eilat meminta pemerintah untuk memberikan bantuan keuangan karena pelabuhan ini tidak aktif sejak Tel Aviv meluncurkan perang di Gaza pada Oktober tahun lalu. Pada Desember, Golber mengatakan bahwa telah terjadi penurunan operasi sebesar 85 persen sejak Angkatan Bersenjata Yaman memulai serangan terhadap kapal-kapal yang terkait dengan Israel di Laut Merah. Dia mengindikasikan pada saat itu bahwa Pelabuhan Eilat mungkin perlu memberhentikan karyawan untuk sementara waktu jika situasi terus berlanjut.
Sementara itu, pelabuhan Ashdod dan Haifa di Mediterania juga bersiap untuk kemungkinan "eskalasi dari Utara dengan Hizbullah," menurut Jerusalem Post. Kedua pelabuhan tersebut berada dalam jangkauan rudal Hizbullah.
Simak di sini selengkapnya.
MIDDLE EAST MONITOR | AL ARABIYA