Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan Potlot 14, pada suatu siang. Rumah yang terletak di gang sempit di kawasan Durentiga, Jakarta Selatan, itu lebih mirip sebuah markas geng ketimbang rumah tinggal. Sekitar 200 anak muda yang menamakan dirinya warga ”Slankers”—alias komunitas penggemar Slank—duduk-duduk di pinggir rumah. Rata-rata mereka berpenampilan serupa: dengan jins kumel, rambut panjang tak beraturan, gaya yang acuh tak acuh, bersandar ke tembok yang penuh dengan grafiti.
”Arek Simo Es Be Ye tidur di Potlot”, ”Turu nang Potlot” (tidur di Potlot—Red), ”Slankers Lampoenk” secara serabutan tertulis di tembok itu sehingga gerombolan grafiti itu akhirnya menjadi selembar ”wallpaper”. Hari ini adalah hari besar untuk para Slankers. Hari ini adalah pertemuan antara komunitas penggemar Slank dan musisi pujaannya.
Kelompok Slank adalah satu-satunya kelompok musik Indonesia yang memiliki komunitas penggemar terbanyak dan fanatik. Jumlah penggemarnya yang terdaftar dalam fans club mencapai hampir setengah juta orang. Hubungan antara kelompok Slank dan para Slankers semakin dekat dengan kegiatan open house di Potlot, tempat setiap Slankers bebas datang, mengobrol, bahkan menginap di ”sarang” tersebut. Tersedia kamar-kamar berukuran dua kali tiga meter untuk para Slankers dari luar kota yang ingin sekadar melepas lelah.
Memang, Slank bukan hanya berhasil meraih sukses melalui delapan albumnya. Nama Slank pun identik dengan gaya hidup. Para Slankers yang fanatik lazimnya mengenakan kaus ketat yang mempertontonkan pusar, dompet yang menggelantung di kanan pinggang, kalung dengan liontin berlogo kupu-kupu yang menunjukkan kaum Slankers, dan mereka akan saling meneriakkan ”Piss!”—pelesetan dari kata ”peace”—pada saat bentrok.
”Mereka adalah kita. Kita adalah mereka,” kata Abdee Negara, gitaris Slank, menjelaskan hubungan antara kelompoknya dan penggemarnya. Kedekatan dengan penggemar merupakan misi terpenting Slank. Maklum, pada masa lalu, kelompok band atau artis biasanya tidak dapat dijangkau oleh para penggemarnya.
Jarak semacam itulah yang ingin diterabas kelompok ini dengan menciptakan komunitasnya—yang tentu saja pada akhirnya berbuntut pada kesetiaan kepada produk dan konser Slank—sehingga batas antara personel Slank dan penggemar mereka makin cair. Kebiasaan curhat (ini bahasa anak muda untuk kata ”mencurahkan hati”—Red) para Slankers kepada personel Slank adalah acara rutin jumpa fans. Bahkan, cerita pribadi tersebut bisa menjadi sebuah lagu. ”Saya pernah diceritain masalah cewek. Dia nangis-nangis ke saya. Hidupnya hancur,” tutur Bim Bim. Lalu, jadilah lagu Jinnabelasan, yang berkisah tentang seorang anak korban keluarga yang pecah.
Apa boleh buat, di mana ada ketenaran, di situ ada kebingungan dan kekagetan.
Untuk alasan apa pun, narkotik dan obat-obatan terlarang kemudian menjadi sebuah pelarian.
Rumah nomor 14 di Gang Potlot itu pun dinamakan ”Pulau Biru”—diambil dari nama salah satu perusahaan penyelenggara tur Slank—tempat Slankers merasa memiliki dunia sendiri. Dunia itu terdiri dari shabu-shabu, putaw, atau sekadar ganja. Menurut Abdee, ketika tiga personel Slank masih kecanduan putaw, uang yang harus dikeluarkan untuk mete (istilah yang berarti mengisap putaw—Red) bisa mencapai Rp 1 juta dalam sehari. Padahal, tiga pengusung Slank—Bim Bim, Kaka, dan Iwan—telah menjadi pecandu putaw selama enam tahun. Bayangkan, berapa ratus juta (atau bahkan miliar) rupiah yang terbuang untuk putaw.
Kegiatan arisan (beramai-ramai berpesta drugs—Red) itu pada akhirnya menjadi lingkaran setan di antara para Slankers dan kelompok Slank. Bahkan ada Slankers yang sengaja memberikan upeti narkotik ke personel Slank. ”Akhirnya, orang-orang menyangka, hal seperti itulah (menggunakan narkotik—Red) yang harus dilakukan Slankers,” tutur Denny M.R., pengamat musik.
Tentu saja Slank bukan satu-satunya kelompok musik alternatif yang memiliki sejarah dengan narkotik. Ari Lasso, bekas penyanyi Dewa 19, juga memiliki kisah serupa.
Mulanya, tim Dewa tak membiarkan tabiat Ari dan Erwin—anggota Dewa yang juga menggunakan narkotik—diketahui publik. Tapi saat itu tampaknya Ari tidak bisa mengontrol pemakaian drugs sehingga perilakunya merugikan anggota lainnya. Kecenderungannya datang terlambat atau bahkan absen pada saat latihan membutuhkan toleransi tinggi rekan-rekannya.
Ketergantungan Ari begitu parah sehingga dia terpaksa bernyanyi sembari duduk dalam sebuah pertunjukan di Manado, akhir 1997. Saking marahnya, Dhani (vokalis dan pemain keyboard sekaligus pimpinan Dewa 19) menendang kursi tempat duduk Ari. Pertunjukan pun bubar.
Dampak penggunaan narkotik memang bisa berakhir perpecahan, seperti yang terjadi pada Ari dengan Dewa 19 dan Thomas Ramdan dengan kelompok Gigi, pada 1997 (kini Ramdan sudah bersih dan kembali diterima bergabung dengan Gigi).
Penggunaan narkotik dan obat terlarang oleh musisi atau pemain band sesungguhnya bukan hal baru. Pada masa lalu, nama Dayan disebut sebagai penyanyi Grass Rock yang meninggal akibat kelebihan dosis. ”Memang pernah ada anggapan, jika tidak menggunakan drugs, dinilai kuno,” ujar Ian Antono, yang mengaku pernah mencoba narkotik di masa lalu.
Namun, tentu saja pemusik—terutama rock—tidak identik dengan narkotik. ”Justru pada dasawarsa 1990 ini penggunaan narkotik tidak terlalu menjadi trend,” kata Denny. Kelompok seperti Pas sama sekali bersih narkotik.
Adalah sebulan silam, di muka puluhan wartawan dan ratusan Slankers, tepat sebelum mereka berangkat konser ke Jepang, para anggota Slank menyatakan perang terbuka terhadap narkotik dan sekaligus pengedarnya.
”Kami merasa bersalah juga. Ketika kami mulai top, drugs ikut-ikutan meningkat penggunaannya di masyarakat. Gua sudah capek. Badan gua hancur. Duit juga ludes. Kita menyatakan perang terhadap drugs. Para Slankers enggak usah, deh, coba-coba barang itu!” kata Bim Bim.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa pesona di balik bubuk putih itu bagi para pemusik?
Fenomena narkotik di antara kelompok-kelompok musik pada 1990-an memang tak lepas dari gelombang pembaruan dalam musik Indonesia. Penggunaan narkotik tampaknya diartikan sebagai gabungan sikap memberontak dan ketidakpedulian. Komunitas ”Pulau Biru” di Gang Potlot merupakan ”mitos” antara kebutuhan drugs dan kemampuan mencipta dan berkarya. ”Tanpa menyetujui penggunaan narkotik, harus diakui bahwa Slank dan komunitasnya telah berhasil menyumbang hasil karya yang di luar tatanan. Misalnya, mereka seolah tak peduli bagaimana membuat lirik,” tutur Denny.
Kelompok band yang bermunculan pada era 1990-an ini memiliki sikap bermusik yang berbeda dengan generasi sebelumnya: mereka tidak taat pakem. Mereka yang berhasil menjadi ikon di antara pemusik generasi baru itu adalah Slank dan Dewa 19, lalu diikuti dengan menjamurnya beragam kelompok musik dari beragam aliran. ”Slank mewakili rock, sedangkan Dewa ada di antara pop dan rock,” kata Ari Lasso, yang kini berkarir solo.
Pembaruan musik melahirkan perkembangan musik di Indonesia yang dinamis dan riuh-rendah. Menurut Suseno M. Hardjo, direktur pelaksana perusahaan rekaman Target Pro, unsur-unsur yang membuat khazanah musik Indonesia masa kini menjadi makin unik adalah menyatunya sikap pemusik, komunitas yang mendukung, kepentingan industriwan musik, dan peran pers. ”Semua itu pada akhirnya memunculkan semacam gaya hidup tertentu,” tutur Seno.
Unsur perlawanan dan pemberontakan itu tidak hanya diekspresikan melalui lirik dan musik yang tidak taat pakem, tetapi juga cara berpakaian.
”Saya memang marah dengan tradisi kita yang mengajarkan feodalisme dan selalu membenarkan orang tua,” kata Bim Bim. Dan tak mengherankan, selain musik yang semaunya, pemusik Slank berikut para Slankers kemudian punya seragam kaus dan ”bahasa komunal” bersama.
Perlawanan kelompok pemusik ini juga ditunjukkan dalam sikap menentang pasar major label. Pemusik-pemusik yang konsisten menggunakan jalur independen—lazim disebut indie label— identik dengan sikap tidak berkompromi dengan distributor besar seperti Sony dan EMI. Pas memulai karirnya dari jalur indie label karena tidak ada satu perusahaan rekaman pun yang menerima jenis musiknya, sedangkan Slank malah memiliki label rekaman sendiri, yaitu Piss Record. Toh, sikap bermusik yang tidak berkompromi dengan pasar itu juga memiliki komunitasnya sendiri yang sudah pasti akan membeli kasetnya.
Unsur pemberontakan dan perlawanan para kelompok ini tentu tidak terlepas dari tradisi Seattle Sound, yang memunculkan aliran pasca-punk, dan berbagai aliran lain yang lekat dengan gaya gitar cepat tapi terkesan ala kadarnya dan—mungkin juga—terkesan seenaknya. Kelompok seperti Pearl Jam, REM, Husker Du, Soul Asylum, Stone Temple Pilots, Velvet Underground, yang mendominasi MTV selama beberapa tahun, menjadi salah satu kiblat mereka bermusik, berpakaian, dan bersikap.
Slank, Dewa 19, Netral, Pas, Gigi, dan para penerusnya masih punya banyak energi dan bakat untuk menunjukkan bahwa pemberontakan yang mereka lakukan akan menghasilkan sesuatu yang kreatif dan abadi. Dan narkotik, seperti yang sudah mereka ikrarkan, agaknya bukan bagian dari alternatif itu.
Bina Bektiati, Ardi B, Dwi Wiyana, Dwi Arjanto, Agus S.R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo