Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gizi dan puisi

25 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DONGENG, seperti juga puisi dan musik, adalah tanah air pertama untuk imajinasi. Kalau seorang anak belajar kenal daerahnya dengan menghafal bukit, sungai, lembah, atau nama gedung dan nama jalan, maka lewat dongeng dan cerita kanak-kanaklah dia mula pertama mempertaut dirinya dengan kebudayaannya. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa Batu Belah, Lutung Kasarung, Kleting Kuning, Bawang Merah Bawang Putih adalah nama-nama yang menandai geografi rohani seorang anak Indonesia - mestinya. Namun, sudah jadi pengetahuan umum, anak-anak di kota-kota lebih hafal dan kenal Gaban, Goggle V, dan berbagai nama dari dongeng teknologi lainnya. Untuk seorang Indonesia yang berada di luar negeri, Bengawan Solo atau Jali-Jali adalah sepotong tanah air. Sebetulnya Yuyu Kangkang, bagi imajinasi sama fungsinya dengan nasi rames untuk lidah, merah putih untuk rasa kebangsaan, atau blangkon dan peci untuk tutup kepala. Dalam arti itu, mengajar seorang anak bahwa dia harus mencintai negerinya tanpa memberinya tumpuan dan "daerah Indonesia" untuk khayalnya adalah perbuatan yang rada sia-sia. Dengan demikian, dongeng dari kebudayaan-kebudayaan daerah untuk anak-anak Indonesia mungkin sama pentingnya dengan pelajaran sejarah untuk para mahasiswa dan GBHN untuk para politikus. Siapa-yang dewasa ini harus mencari bacaan untuk anak-anaknya di bawah sepuluh tahun, niscaya segera mengalami bahwa bukan hanya selera bacaan anak yang menyulitkan tetapi juga persediaan bacaan dengan cerita-cerita Indonesia sangatlah terbatas. Seorang pengarang buku anak-anak dan redaksi majalah anak-anak pernah mengemukakan sebuah sinisme yang tidak membua tertawa. Katanya, "Pilihan kita seperti makan buah simalakama. layaknya. Buku cerita anak-anak yang bagus justru cerita-cerita asing, sedangkan cerita-cerita dari kebudayaan lokal di Indonesia digarap sekenanya saja." Dongeng, cerita rakyat, atau folklore umumnya masih mengalami nasib yang tak banyak bedanya dengan peruntungan bahasa-bahasa daerah. Sebagaimana halnya hubungan bahasa daerah dengan bahasa nasional belum dirumuskan dalam suatu kebijaksanaan kebudayaan nasional, demikian pun berbagai cerita rakyat dan dongeng-dongeng setempat belum mendapatkan tempatnya yang layak dalam kepustakaan bahasa Indonesia. Dongeng, cerita rakyat, dan berbagai karya rekaan adalah bagian dari identitas. Seseorang dapat mengenal dirinya setelah mengenakan seragam pramuka atau safari, tetapi dia pun dapat lebih banyak tahu tentang dirinya karena terkenang pada tokoh Bima atau Parikesit. Referensi rohani kepada dunia khayal sama menentukan dengan sawo matang sebagai warna kulit. Memang, kita catat dengan hormat berbagai usaha penelitian dan pengumpulan serta dokumentasi berbagai bahan tentang cerita rakyat, baik yang dilakukan oleh lembaga maupun oleh perorangan. Usaha seperti itu sangat berjasa mencegah tersingkirnya sebagian warisan budaya dari ingatan zaman kemudian. Walau demikian, masih lebih penting adalah menerjemahkan bahan-bahan itu secara literer menjadi bacaan bahasa Indonesia yang "enak dan perlu", baik bagi pembaca dewasa tetapi terutama untuk pembaca kanak-kanak yang sedang dalam proses menciptakan "tanah air" dalam daya khayal mereka. Seorang ahli antropologi ragawi pernah menjelaskan bahwa jarak yang terlalu besar antara menu dan habitat akan membahayakan kualitas fisik. Apakah secara analog kita dapat berkata, jarak antara menu bacaan anak-anak dan tempat tinggal mereka akan membahayakan kualitas mentalnya? Tulisan ini tidak bermaksud mempropagandakan semacam nativisme dalam bacaan anak-anak, atau menganjurkan agar anak-anak dihindarkan dari bacaan luar, khususnya yang berhubungan dengan ilmu, teknologi, dan industri. Yang diusulkan adalah hal yang lebih sederhana: alam khayal, dunia perasaan, atau lalu lintas fantasi bukanlah sesuatu yang tanpa alamat. Adalah sesuatu yang mengharukan melihat seseorang memegang paspor dengan cap stateless, tetapi adalah suatu tragedi bahwa imajinasi seseorang hanya luntang-lantung tanpa kampung halaman. Kecenderungan ke arah kosmopolitanisme yang mulai muncul dan pasti bakal semakin berkembang di tahun-tahun mendatang barangkali tak dapat dan juga tak perlu dibendung. Tetapi alangkah susahnya membayangkan situasi ketika seseorang hanya tahu ke mana akan pergi dan pergi lagi, tanpa tahu ke mana ia harus pulang atau mengabarkan dirinya. Dengan kata lain, apakah sesuatu yang menguntungkan atau merugikan kalau seorang anak Indonesia dapat dengan mudah terkenang kepada Alice in Wonderland, Ot en Sien, atau Lorelei tanpa tergetar sedikit pun denyut perasaannya kalau mendengar Sangkuriang atau Malinkundang?. Dongeng, kata G. Santayana, dapat dibaca dengan dua cara. Dibaca dengan rasa sinis dia menjadi takhyul, sedangkan dibaca dengan rasa sayang dia akan menjadi puisi. Memang, peningkatan pendapatan tak dapat diciptakan dengan menulis sajak. Demikian pun pesawat terbang tak akan tercipta dengan mendengarkan dongeng. Tetapi kekuatan kebudayaan lebih mirip gerakan bola sodok daripada pantulan tenis meja. Sebuah sajak tidak meningkatkan pendapatan, tetapi tak seorang tahu berapa sebuah sajak pada terbentuknya pemikiran, impian, dan daya juang orang-orang yang menciptakan Wirtschaftswunder. Demikian pun pesawat terbang tak dibangun setelah seseoran mendengar dongeng dari neneknya. Tapi siapa dapat menelusuri kembali apa yang telah dilakukan sebuah dongeng terhadaF pembentukan imajinasi beberapa perencana pesawat terbang atau peneliti aerodinamika? Rumput tumbuh di atas tanah dan khayal manusia tumbuh di ata dongeng yang ditabur setiap malam. Jarak antara kualitas fisi manusia dan perbaikan gizi tidaklah lebih dekat dari jarak antar imajinasi dan intuisi dengan fiksi dan puisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus