KEPERGIANNYA meninggalkan sebuah pertanyaan besar: Apakah yang
akan terjadi? Soalnya, selama ini Tito menentukan segala aspek
kehidupan dan politik Yugoslavia. Dan Tito adalah tokoh
pemersatu berbagai suku bangsa yang mendiami Yugoslavia. Ia juga
tokoh utama dalam memberikan warna yang jelas dalam politik
non-blok di percaturan internasional.
Sudah jauh-jauh hari Tito menyadari betapa sulitnya mencari
pengganti. Apalagi Tito memegang sekaligus 2 kekuasaan yaitu
sebagai kepala pemerintahan dan Ketua Partai Komunis Yugoslavia
(PKY). Kekuasaan yang besar ini akan begitu berbahaya bila kelak
hanya terletak dalam satu tangan. Sementara itu, Edward Kardelj
-- orang dekat Tito yang dibayangkan sebagai calon penggantinya
-- sedang sakit keras. Keadaan ini memaksanya-mencari konsep
baru mengenai kepemimpinan di masa datang. Itu terjadi November
1978.
Tahun itu juga PKY mengajukan suatu sistem kepemimpinan
kolektif.
Dengan sistem ini kekuasaan pada ke dua lembaga itu tidak lagi
berada da lam satu tangan. Di situ ada Presidi um Pemerintahan
Republik Sosiali Federal Yugoslavia yang berjumlah 9 orang
(waktu itu termasuk Tito) Mereka dipilih dari 6 negara-bagiar
dan dari 2 daerah otonom. Secara bergiliran mereka akan menjabat
ketua presidium untuk masa jabatan selama 1 tahun.
Sementara itu pada PKY juga ada presidium yang terdiri dari 23
orang. Di antaranya 22 wakil negara bagian dan daerah otonom,
sedang seorang lagi adalah Menteri Pertahanan Nikola Ljubicic
yang mewakili angkatan bersenjata. Semasa Tito masih hidup
secara rotasi ketua kedua presidium tadi menjadi wakil presiden.
Karena sistem itu rupanya tidak berlaku untuk Tito, yang waktu
itu secara aklamasi terpilih sebagai presiden seumur hidup.
Sewaktu Presiden Tito masuk rumah sakit awal Januari lalu, suatu
latihan kepemimpinan berlangsung. Lazar Kolisevski, 66 tahun,
yang berasal dari Macedonia, menjabat ketua presidium
pemerintahan. Sedang Stevan Doronjski, 61 tahun, yang berasal
dari Serbia, sebagai ketua presidium partai. Mereka mengawali
sistem kepemimpinan kolektif meskipun masih di bawah bayangan
Tito yang terbaring di rumah sakit.
Maka itu, kepergian Tito ini sekaligus merupakan ujian buat
sistem kepemimpinan kolektif. Semula sistem ini dibayangkan akan
bisa mengatasi pertentangan individu yang secara diam-diam
berkembang dalam tubuh partai. Juga tujuannya mengatasi
perlentangan berbagai suku bangsa di Yugoslavia. Terutama antara
Serbia dan Croatia yang masing-masing mewakili 40% dan 20%
dari 22 juta penduduk negara itu.
Kalangan intelektual di Yugoslavia tampaknya meragukan
kemungkinan berjalannya sistem kepemimpinan kolektif ini. Karena
selama ini rakyat Yugoslavia sudah terbiasa berada di bawah
kepemimpinan seorang tokoh karismatis. Jika ini tidak berjalan,
demikian seorang pengamat di Beograd, mungkin akan muncul
seorang tokoh baru sebagai hasil perebutan kekuasaan yang tidak
bisa dihindari dalam tubuh PKY. Atau mungkin muncul seorng
tokoh seperti Stalin, yang secara kejam menyingkirkan
orang-orang yang berbeda paham.
Memang kekhawatiran itu cukup beralasan. Bahkan banyak orang
membayangkan bahwa Yugoslavia mungkin akan jatuh ke tangan
Soviet. Tapi Milovan Djilas, seorang sahahat Tito yang kemudian
menjadi lawan politiknya dan dipenarakannya, melihat arti
perubahan dari persepektif lain. "Perubahan akan ada, karena di
semua negara komunis perubahan akan terjadi setelah munculnya
tokoh revolusioner baru, dan Yugoslavia tentunya tidak
terkecualikan," kata Djilas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini