KORAN tengah bulanan ini tampaknya sudah lama membuat risi
Departemen Penerangan. Berita dan karikaturnya sering dianggap
kelewat pedas. Sudah dua kah Deppen memberi peringatan resmi
kepada Surat Kabar Kampus (SKK) Salemba, Universitas Indonesia.
Peringatan lisan pun sudah pernah disampaikan lewat Prof. Mahar
Mardjono, Rektor UI.
Akhirnya vonis jatuh juga. Sejak 6 Mei, Salemba dilarang terbit
-- Surat Tanda Terdaftarnya dicabut. Pengasuhnya maupun Prof.
Mahar kaget. Sebab menurut Prof. Mahar, ia sudah meminta kepada
Sukarno SH, Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan G!afika, agar
jangan dulu menindak Salemba. "Saya sedang melakukan penataan ke
dalam, dan ini butuh waktu," kata Prof. Mahar mengulang
ucapannya pada Sukarno.
Tapi Deppen rupanya sudah tak sabar. Menurut S.K. Menteri
Penerangan ditandatangani Sukarno. Salemba dinilai telah
melampaui beberapa ketentuan perundang-undangan bagi penerbitan
khusus. Ia dianggap cenderung menjadi koran umum, karena
ternyata dijual di pasaran bebas. Isinya pun dinilai menyerupai
koran umum -- sifatnya cenderung ke arah kegiatan politik
praktis Kendati sudah diperingatkan, sebut keputusan tersebut,.
Salemba tetap belum mengubah kebijaksanaan pemberitaannya.
Pendeknya pembahasan dan pernberitaan Salemba dianggap sudah
tidak ilmiah lagi. "Sudah mengarah kepada pembahasan politis,"
kata Sunarto Sindupranoto, Direktur Bina Pers, Deppen. "Padahal
forum kemahasiswaan itu kan maksudnya forum ilmiah . "
Bahkan Sunarto menuduh SKK itu telah melakukan pembahasan yang
menjurus kepada permainan kekuasaan. Mengkritik dan mencela
pemerintah, dengan menyudutkan pejabat tertentu. Hal demikian,
menurut Surarto, tidak patut dilakukan. "Bukan di Salemba
tempatnya, tapi di pers umumlah tempatnya, " katanya.
Benarkah Salemba berpolitik praktis? "Apanya sih yang politik
Fraktis, saya kok tidak melihat ada politik praktisnya," kata
Prof. Mahar. "Tidak jelas bagi saya tulisan manakah yang
bersifat politik praktis," tambah Wikrama I. Abidin, Pemimpin
Redaksinya.
Kenapa dijual di pasaran bebas? "Untuk mengongkosi biaya
produksi," jawab Prof. Mahar yang juga jadi pelindung koran itu.
"Bisa saja tidak dijual kalau pemerintah mau mensubsidi seluruh
biaya produksi."
Salemba, menurut Antony Zeidra Abidin, Pemimpin Umumnya,
memperoleh subsidi (dari anggaran UI) hanya untuk penerbitan
5.000 lembar. Setelah Knop besarnya sekitar Rp 300 ribu,
sebelumnya hanya Rp 265 ribu. Padahal SKK tengah bulanan
tersebut setiap terbit dicetak 18 ribu. Yang terjual di kampus
UI diperkirakan sekitar 7.000 lembar. Biaya produksinya sekitar
Rp 800 ribu.
Untuk menutupi kekurangan subsidi itulah koran tadi dijual
dengan harga eceran Rp 125/eks. Pun iklan yang masuk dengan
tarif rendah (Rp 300/mm kolom) dan komisi tinggi (sampai 30%),
semata-mata dilakukan untuk menutup ongkos produksi. "Jadi tidak
benar kami komersial. Karena sesungguhnya kanli tidak cari
untung," lanjut Antony.
Tapi bagi Sunarto, penjualan untuk umum tadi kurang logis.
Karena diangapnya bisa mengganggu kepentingan bisnis koran umum.
"Lha kalau disubsidinya dalam jumlah tertentu, sebaiknya juga
dicetak dalam jumlah tertenru pula. Jangan berlebihan," ujar
Sunarto.
Dengan alasan dianggap komersial juga, Laksusda Kodam V Jaya 3
tahun lalu pernah menindaknya. 700 Salemba yang beredar di
Lapangan Banteng Jakarta, disita petugas Laksusda Jaya.
Kampus
Tapi tak cuma Salemba yang kena. Deppen ternyata sejak 5 April
juga telah mencabut Surat Izin Terbit (SIT) majalah bulanan
Kampus, Institut Teknologi Bandung. Alasan pokok pencabutan,
antara lain, perubahan bentuk Kampus dari majalah bulanan ke
surat kabar bulanan tidak minta persetujuan Deppen. Kecuali itu,
perubahan pergantian pimpinan umum, redaksi, dan tempat cetaknya
juga tidak dilaporkan.
Apalagi pada edisi Januari, sebut keputusan itu, Kampus tampil
dengan pemberitaan yang dinilai memperuncing situasi. Hal
tersebut jelas bertentangan dengan kebebasan pers yang
bertanggung jawab. Pengasuh koran bulanan itu juga kaget. Mereka
tidak tahu, kalau setiap perubahan penerbitan, dan pergantian
pimpinan harus diberitahukan. "Seharusnya kami ditegur, atau
diperingatkan dulu," kata Achmad Sugeng, Pemimpin Umumhya.
Sebelum Salemba dan Kampus ditutup, GeloYa Mahasiswa, koran
kampus Universitas Gajah Mada, dibredel rektornva sendiri
Oktober tahun lalu. Media ITS, Surabaya, dan Alma Mater,
Institut Pertanian Bogor, konon masih sulit terbit.
Akan semakin sehatkah kampus tanpa koran? Antony Zeidra Abidin
dan Prof. Mahar mengkhawatirkan kemungkinan makin gampang
tersebarny. kabar tidak benar di dalam kampus. "Saya takut
anak-anak (mahasiswa) membuat koran gelap. Saya tidak akan bisa
mengontrol dan mempertanggungjawabkannya," ungkap Prof. Mahar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini