Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELALUI mesin faksimile, surat itu dikirim Indonesia Corruption Watch kepada pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis pekan lalu. Isinya permintaan melakukan supervisi terhadap kasus dugaan korupsi di Kedutaan Besar Indonesia di Thailand yang tengah disidik Kejaksaan Agung. Surat itu dikirim setelah awal Januari lalu lembaga penggiat antikorupsi tersebut mendatangi kantor Komisi dan melaporkan adanya upaya penghentian kasus itu. "Kalau perlu, kasusnya diambil alih," kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho kepada Tempo.
Kasus itu sendiri mulai diusut kejaksaan pada Juni tahun lalu. Saat itu, kejaksaan mencatat, dari sisa anggaran kedutaan 2008 sebesar Rp 7 miliar, baru Rp 5,2 miliar yang dikembalikan ke kas negara. Sisanya diduga ditilap. Setelah diselidiki, awal Oktober 2008, kejaksaan menetapkan Wakil Kepala Perwakilan RI di Thailand, Djumantoro Purbo, dan bendahara kedutaan Suhaeni sebagai tersangka.
Dua pekan berlalu, giliran Duta Besar Mohammad Hatta yang ditetapkan sebagai tersangka. Langkah itu dilakukan setelah enam penyidik terbang ke Bangkok memeriksa 22 orang saksi. Di Negeri Gajah Putih penyidik menyita duit Rp 966 juta dari brankas Suhaeni dan Rp 332,5 juta dari safe deposit box sebuah bank swasta. Duit itu diduga bagian dari dana taktis Duta Besar Mohammad Hatta. Kendati diancam hukuman 20 tahun penjara, ketiganya tidak ditahan karena dianggap kooperatif. Hatta bahkan masih menjadi duta besar, tapi dua tersangka lain dicopot dari jabatan mereka.
Gelagat kasus itu hendak dipetieskan, menurut Emerson, mulai tampak pada awal Desember 2008. Ketika itu, kejaksaan menyatakan perlu mengkaji opsi kesalahan administrasi dalam penggunaan dana taktis tersebut. Dalihnya, tak ada lagi kerugian negara, karena Hatta telah mengembalikan kekurangan dana yang diduga diselewengkan, yaitu Rp 600 juta. "Penggunaannya juga bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk kepentingan umum," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy.
Butuh satu bulan kejaksaan "menggodok" dua opsi itu: dugaan korupsi atau kesalahan administrasi. Penyidik pun harus kembali terbang ke Bangkok untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Setelah tahap penyidikan kelar, medio Januari lalu, menurut Marwan, usul penghentian kasus itu disampaikan kepadanya. Alasannya, penyidik tidak menemukan cukup bukti dugaan tindak pidana korupsi. "Ini baru usulan penyidik, masih perlu dikaji pimpinan," kata Marwan.
Sebaliknya, sumber Tempo menuturkan rencana penghentian melalui penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) itu bukan usul penyidik. Menurut sumber itu, usul tersebut justru "diorder" dari atas. Alasannya, kasus itu telah menyeret orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Djumantoro Purbo, misalnya. Dia adalah anak Letnan Jenderal (Purnawirawan) Purbo Suwondo, mantan Ketua Legiun Veteran RI dan mantan Wakil Gubernur Akademi Militer. Hatta juga diperhitungkan. Dia adalah politikus dan mantan Ketua Fraksi Partai Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat. "Ada tekanan besar dalam kasus ini," katanya.
Adanya "intervensi" itu yang membuat fokus kasus ini berbelok ke arah kesalahan administrasi semata. Menurut sumber itu, para penyidik pun sempat dongkol karena mereka telah bekerja keras mengusut kasus tersebut. Karena locus delicti (tempat kejadian)-nya di Bangkok, mereka pun harus bolak-balik ke sana. Belakangan, kata dia, keluar audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang sebelumnya diminta kejaksaan. Hasilnya, ada kerugian negara dalam kasus itu. "Jika dihentikan, alasannya sumir," si sumber menambahkan.
Dalam audit BPKP yang dikirim ke kejaksaan 14 Januari lalu itu-yang salinannya diperoleh Tempo-kerugian negara tercatat US$ 2.485 dan 5.249 ribu baht. Total sekitar Rp 1,6 miliar. Nilai tersebut dihitung dari dana taktis kedutaan yang dikumpulkan atas perintah Duta Besar Mohammad Hatta. Dananya berasal dari sisa daftar isian pelaksanaan anggaran 2008 yang tidak disetor ke kas negara, dan sisa penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Cha-Am/Hua-Hin serta KTT ASEAN di Pattaya yang diselenggarakan Maret dan April 2009.
Modus penambangan dana taktis itu, menurut audit, beragam. Di antaranya memanipulasi pertanggungjawaban keuangan untuk staf lokal dan guru Indonesia di Bangkok, pengumpulan uang perjalanan dinas fiktif, dan uang pemberian dari rekanan yang mendapat proyek kedutaan. Dalam pelaksanaannya, BPKP menemukan bukti sebagian dana itu digunakan untuk keperluan pribadi Duta Besar, seperti untuk golf, cendera mata, dan persekot. Praktek itu dianggap menabrak sejumlah peraturan, termasuk Undang-Undang Keuangan Negara.
Dari hasil audit BPKP itu, menurut Emerson, tidak ada alasan kejaksaan menghentikan kasus tersebut. ICW mencurigai ada pesanan dari pihak tertentu di balik upaya itu. "Di audit itu jelas-jelas disebut ada kerugian negara," katanya. Namun tudingan tersebut dibantah Marwan. "Itu gosip tetangga, ini masalah hukum," ujar Marwan. Adanya kerugian negara versi BPKP, kata Marwan, tidak bisa dipakai acuan karena prosesnya dilakukan sebelum duitnya dikembalikan. Padahal dalam audit BPKP itu juga dicantumkan dana yang telah disita penyidik, termasuk yang dikembalikan.
Menurut kuasa hukum Mohammad Hatta, Sirra Prayuna, rencana penghentian kasus itu sudah benar. Sejak awal, kata dia, tak ada kerugian negara karena dana dipakai untuk kepentingan umum. "Memang tidak cukup bukti, bukan karena pertimbangan lain, politik misalnya," ujarnya. Hal senada disampaikan pihak Djumantoro. Melalui kuasa hukumnya, Palmer Situmorang, Djumantoro membantah jika dikatakan keluarganya mengintervensi kasus itu. "Itu bohong besar, klien saya memang tak bersalah, pantas bebas," katanya.
Terlepas dari pro dan kontra, menurut pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo, kuncinya ada pada peruntukan dana taktis itu. Jika kejaksaan tak bisa membuktikan dana itu untuk kepentingan umum, upaya penghentian seharusnya dibatalkan. Jika sebaliknya, dana tersebut digunakan untuk kepentingan umum, alasan ini menggugurkan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Beleid itu menyebutkan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus unsur pidananya. "Peruntukannya ini yang harus diperjelas," ujarnya.
Anton Aprianto, Anton Septian
Penggunaan Dana Taktis
Duta Besar Indonesia untuk
Thailand 2008
POS PENGELUARAN | BIAYA RP* |
Sewa kendaraan | 5,6 juta |
Bantuan M Tablig | 8,5 juta |
Uang saku | 27,0 juta |
Uang saku magang | 1,7 juta |
Golf | 21,0 juta |
Bantuan tiket ke Yalla | 2,3 juta |
Bantuan tiket ke Jakarta | 13,0 juta |
Persekot kerja Hua Hin | 14,0 juta |
Pembelian oleh-oleh untuk Jakarta | 28,0 juta |
Sobiroh | 2,8 juta |
Cendera mata | 7,0 Juta |
Pengeluaran Phuket | 31,0 juta |
Keperluan ke Jakarta | 24,6 juta |
Biaya pengeluaran di Jakarta | 12,6 juta |
Biaya operasional kantor Agustus-Desember 2008 | 107,5 juta |
Biaya pengeluaran di Jakarta | 48,6 juta |
Biaya penggantian tiket pesawat ke Jakarta | 3,1 juta |
Penggantian kas | 7,6 juta |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo