BURMA bisa jadi bakal ramai lagi. Upaya Jenderal Sau Maung untuk mengesankan suatu pemerintahan demokratis justru memancing suara terpendam meledak keluar. Kata Aung San Suu Kyi, sekjen partai oposisi terbesar Liga Nasional Demokrasi (LND), Minggu pekan ini: "Rakyat mulai berprasangka. Dalam waktu dekat saya rasa cuaca politik bakal makin mendung. Rakyat tak lagi percaya kepada militer." Itulah, antara lain gara-gara Sau Maung sendiri. Untuk memberikan kesan bahwa pemerintahannya menjalankan demokrasi, ia mengundang 45 wartawan asing (termasuk Yuli Ismartono, koresponden TEMPO di Bangkok) untuk meliput keadaan Burma. Selama ini oleh dunia internasional Sau Maung, yang merebut kekuasaan September silam, memang gencar dituding bersikap kejam terhadap pelaku demonstrasi yang menuntut demokrasi tahun silam. Kekejaman Sau Maung menyebabkan sebagian besar mahasiswa pelaku demonstrasi lari -- sebagian bergabung dengan gerilyawan, yang lain menerobos perbatasan dan tinggal di Muangthai. Mulai bulan lalu Sau Maung mengimbau agar para mahasiswa itu kembali. Ia berjanji tak akan memberikan sanksi apa pun. Antara lain karena janji itu bila Pangab Muangthai belum lama ini datang ke Rangoon mengantarkan 350 mahasiswa Burma yang lari ke Muangthai. Mula-mula acara pertemuan antara wartawan asing dan mahasiswa yang kembali berjalan mulus. Mereka pada umumnya mengaku kembali secara sukarela karena rindu kampung dan tak betah hidup di rimba. Mereka juga membantah berita penahanan dan penyiksaan oleh pihak militer. Tapi di Kota Taunggyi, skenario penguasa untuk memberi citra baik itu berantakan. Seorang mahasiswa tiba-tiba menginterupsi keterangan pejabat militer. Yakni soal aksi penembakan oleh pihak tentara terhadap demonstran. "Itu tidak betul. Tentara menembaki kami sementara kami tak melakukan provokasi apa pun," teriak Myo Myint Tun, 21 tahun, mahasiswa jurusari filsafat. Teriakan ini disambut tepuk tangan meriah oleh para mahasiswa lain yang hadir. Para pejabat tampak terkejut dan bingung. Keinginan Myint Tun "untuk berbicara sendiri" pun terpaksa dituruti. Maka, dialog terbuka antara pihak mahasiswa dan pihak militer, disaksikan wartawan asing -- suatu hal di luar acara kunjungan para wartawan berlangsung. Peristiwa di Taunggyi itu memperkuat dugaan, meski mereka yang kembali tak ditahan, mereka terus diawasi ketat oleh pihak militer. "Mereka memang tidak menahan saya, tapi keluarga saya ditakut-takuti," kata seorang mahasiswa. Yang lain menimpali, "Siapa bilang keadaan sudah membaik? Kami masih ketakutan terus." Sementara itu, Rabu pekan lalu, Aung Lwin, Ketua Front Demokrasi Mahasiswa Burma -- organisasi mahasiswa seluruh Burma yang pertama -- yang kini masih mengungsi menuduh pemerintah Rangoon membunuh 3 mahasiswa yang baru pulang dari rimba. Berita ini didapatnya dari seorang mahasiswa yang kembali lagi ke hutan, setelah tahu 3 orang rekannya, yang sama-sama kembali ke Rangoon dari rimba, mati di penjara Insein, Rangoon. Ironis, rombongan wartawan yang diundang Sau Maung justru menjadi saksi bagaimana penguasa mengontrol ketat aktivitas rakyat, antara lain adanya larangan berkumpul lebih dari 5 orang dan masih adanya jam malam. Letkol. Ye Htut, Ketua Bagian Penerangan Kementerian Pertahanan Burma, kepada TEMPO mengakui bahwa sebagian pegawai pemerintah yang terlibat demonstrasi sudah dibebastugaskan. Tapi dalam hal jumlah, Ye Htut membantah kabar yang menyebutkan lebih dari 200.000 pegawai yang di-"pensiun"-kan itu. Menurut dia, kurang dari 500 orang. Dan kini rakyat menyangsikan janji Sau Maung untuk menyelenggarakan pemilu. Kalaupun pemilu jadi dilaksanakan, rakyat sangsi apakah bakal berlangsung bersih dan bebas seperti yang dijanjikan. Sebab sekarang saja partai oposisi LND diperlakukan secara tak adil Aliran listrik dan air ke markas-markas LND dihentikan. Kunjungan Suu Kyi, sekjen LND. di daerah-daerah dihalang-halangi dengan cara menangkapi pengurus LND daerah. Selain itu, parpol dilarang memasang papan nama partai. Alasannya, "Dengan 180 parpol d Burma kini, pemerintah menganggap papan-papan nama itu agak berlebihan," kata Ye Htut. Ada perkecualian, memang. Bagi Partai Kesatuan Nasional (PKN, dulu Partai Sosialis Burma), partai yang didukung pemerintah, segala pembatasan tak berlaku. Inilah yang menimbulkan dugaan bahwa pemerintah tak akan membiarkan partai lain menang selain PKN. Itu semua menyebabkan negara-negara donor (Jepang, Jerman Barat, dan AS) menghentikan bantuannya. Yakni sejak September silam, saat Sau Maung menindas para demonstran. Ke-3 negara bersedia melanjutkan bantuan itu bila Sau Maung menyelenggarakan pemilu. Mungkin telanjur bersikap keras, Sau Maung -- dalam wawancaranya dengan Asia Week -- menyatakan bahwa bantuan US$ 500 juta per bulan itu tak banyak berarti. Kenyataannya, kondisi perekonomian Burma makin parah. Harga-harga kebutuhan hidup melangit, pasar gelap terus berkembang, tingkat hidup rakyat kian merosot. Dan bisakah suara rakyat terus dibungkam? Belakangan terdengar tuntutan dibukanya kembali sekolah dan perguruan tinggi yang ditutup sejak Juni tahun lalu, yang oleh pemerintah dianggap sebagai pusat dan motor aksi protes. Jawaban pemerintah terhadap tuntutan tersebut, yang disiarkan lewat radio Rangoon, jelas dan tegas: "Akan dikenakan sanksi berat terhadap pihak yang tidak setuju sekolah-sekolah dltutup. Maka, dalam 4 hari terakhir ini, sementara imbauan agar mahasiwa pulang terus dilancarkan, diberitakan leblh dan 1.000 warga sipil Burma menyeberang ke Muangthai. Apalagi yang hendak dilakukan Sau Maung?Yuli Ismartono (Ranggon) & Farida Sanjaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini