SEDANG musim pulang kandang tampaknya. Setelah tentara Soviet ditarik dari Afghanistan, lalu Vietnam dari Kamhoja, tentara Kuba pun ditarik dari Angola. Tanpa ramai-ramai, tanpa perundingan internasional yang berulang-ulang, tiga pihak meneken perjanjian penarikan itu: Kuba, Angola, dan Afrika Selatan, Desember tahun lalu. Tahap pertama, 10 Januari, 3.000 dari 50.000 tentara dipulangkan. Kuba pun, negeri komunis yang tak begitu mesra dengan Soviet, mengikuti jejak pembaruan yang ditiupkan Gorbachev? Benar. Tapi adakah itu dilakukan dengan rela atau terpaksa, tampaknya hal kedualah yang lebih mungkin. Lihatlah, di Ibu Kota Havana, ketika menyambut mereka yang pulang, sikap Presiden Fidel Castro sungguh dingin. Maklumlah, dahulu Castro kerap bersumpah bahwa tak akan menarik pasukannya dari negeri di pantai barat Afrika ini, jika rezim apartheid Afrika Selatan belum tumbang. Tiga belas tahun lalu, untuk membela rezim Marxis di Angola dan melindas musuh-musuh Angola, antara lain rezim rasialis di Afrika Selatan, Kuba mengirimkan pasukannya. Lalu apa yang terjadi? Menjelang akhir abad ke-20 kini, tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa sektor ekonomi menjadi bahan pertimbangan utama untuk berubahnya kecenderungan politik sebuah negeri. Soviet dan sejumlah negara Eropa Timur, seperti diketahui, kini lebih membuka diri (Gorbachev makin mengendurkan sistem pertanian kolektif, dan makin mendorong pemilikan tanah dan panen oleh petani sendiri Polandia, yang bermaksud merangkul kaum buruh untuk membicarakan ekonomi, kini tengah menjajaki diakuinya serikat buruh bebas Solidaritas). Memang, sang pemimpin berjenggot dalam perayaan peringatan 30 tahun revolusi Kuba awal bulan lalu dengan tegas menolak pembaruan ala Uni Soviet. "Kami akan menjaga kemurnian ideologi Revolusi, berdasarkan prinsip Marxis-Leninisme," kata sang pemimpin besar revolusi berapi-api. "Karena itu, kami tak mungkin main mata atau menggunakan cara yang berbau kapitalis." Sebelumnya, sang Commodante pun telah menerapkan yang disebutnya "Fidelisimo". Yakni kampanye besar-besaran Castro untuk "memperkuat revolusi", dengan cara mengoreksi kesalahan dan kecenderungan negatif. Semua itu berarti langkah Castro telah bersilang dengan kebijaksanaan Uni Soviet. Ini menimbulkan dugaan pecahnya persekutuan Moskow-Havana. Washington pun getol meniupkan masalah perbedaan antara kedua negara tersebut. Tetapi tiba-tiba saja Kuba dengan tak banyak ribut bersedia menarik pasukannya dari Angola. Artinya, Kuba tetap menghormati saran Soviet. Tampaknya, kedua pihak -- Kuba dan Soviet -- masih saling membutuhkan. Beruang Merah tetap menganggap, di luar Eropa Timur, Kubalah kubu sosialis terkuat. Kehilangan Kuba akan memperlemah posisi kubu Soviet. Sementara ini, pihak Kuba tentulah sangat memperhitungkan bantuan Soviet bila hendak menyimpang jauh dari Gorbachev. Yang dipertaruhkan adalah nasib 10,5 juta rakyat Kuba. Menurut laporan para wartawan, kehidupan ekonomi di Kuba memang lagi suram. Antrean panjang untuk memperoleh catu bahan makanan tampak di mana-mana karena meroketnya harga barang-barang. Sementara itu, kondisi -- perumahaan di seantero Kuba makin buruk. Suara-suara ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahnya mulai santer terdengar. Kata Kobcrto Fernandez, 23 tahun, scorang mahasiswa, "Di sekolah mereka mengajar kami untuk selalu mengingat persamaan dan keadilan. Lalu kami lihat para pemimpin partai hidup di rumah-rumah besar dengan mobil sendiri. Itu, sih, namanya bukan sosialisme. Dengan kondisi dalam negeri seperti itu, tentu Castro tak akan gegabah mengambil risiko. Ia tak ingin melihat munculnya "revolusi" di dalam negeri. Ia pun tak ingin kehilangan bantuan US$ 5 milyar -- hampir 30% dari seluruh pemasukan Kuba -- yang dikirimkan Moskow tiap tahun. Sebagian dari bantuan Kremlin itu dalam bentuk subsidi gula. Yakni Soviet membeli produksi gula Kuba dengan harga jauh di atas pasar. Selain itu, dari Kremlin juga datang bantuan militer. Sejak 1980, diduga Soviet sudah memasok perangkat perang senilai lebih dari US$ 4 milyar. Soviet tampaknya memandang penting Kuba dipersenjatai sekuat mungkin. Misalnya, Castro memiliki lebih dari 1.000 tank -- jumlah yang menakjubkan untuk sebuah negeri yang kira-kira hanya dua kali luas Singapura. Maka, kuat dugaan bahwa Castro telah terpaksa memenuhi anjuran Soviet untuk menarik tentaranya dari Angola. Pemimpin Kuba yang kini berusia 63 tahun itu untuk sementara melupakan sifat keras kepalanya. Tapi tetap sulit ditebak yang akan dilakukan Castro terhadap sekutunya kini. Dahulu dekat setelah ia menggulingkan Batista -- presiden pertama Kuba merdeka pada 1959, Castro mencoba menjalin hubungan dekat dengan Amerika Serikat. Hanya karena kunjungannya ke AS tertunda, dan Soviet membeli gula Kuba dalam jumlah besar serta melatih pilot-pilot Kuba mengemudikan MiG, Castro yang waktu itu masih rajin mengisap cerutu berbalik bersekutu dengan Soviet. Lalu, di awal 1980-an, Castro pernah mencoba "mencicipi kapitalisme". lima tahun sebelum Gorbachev melahirkan perestroika dan glasnost, Castro membuka kebijaksanaan baru: mengijinkan warganya memiliki dan menjual rumah sendiri. Ia pun membuka pasar bebas. Petani diizinkan menjual langsung hasil panen mereka ke tangan konsumen, tak lagi melalui perusahaan negara. Dasar Castro yang sulit ditebak, pada 1986 semua pembaruan itu dihentikannya. pasalnya, tingkat hidup para petani cepat meroket, dan menimbulkan kesenjangan sosial. Seorang petani bawang putih waktu itu bisa mengantungi US$ 50.000 per tahun, atau sama dengan tiga tahun gaji seorang insinyur, dokter, dan tenaga profesional yang lain. Bila kemudian ia kembali ke sistem komunisme kuno, diduga karena ia takut kehilangan kontrol terhadap rakyatnya. Sikap Castro kini tampaknya akan bertahan lama. Yakni sampai terjadi perubahan ekonomi di Kuba. Perubahan ke arah lebih baik atau buruk, tetap akan mendorong Castro mengatur strategi baru: akankah ia lebih jauh atau lebih dekat ke Moskow.Farida Senjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini