"DINDING Demokrasi" kecil-kecilan muncul di Beijing, pekan lalu. Lebih dari 50 poster, sebagian berwarna, tiba-tiba terpampang di dekat pintu kantin Universitas Normal, di ibu kota RRC itu. Isinya mengecam kebijaksanaan di bidang pendidikan, dan kenaikan harga yang diakibatkan program pembaruan ekonomi Cina. Kejadian ini tidak berdiri sendiri. Pertengahan bulan lalu, sebuah demonstrasi mini meletus di Universitas Beijing. Ratusan mahasiswa berarak sambil membakar petasan, kemudian menempeli dinding dengan poster Aksl ini dilancarkan karena pimpinan universitas memutuskan untuk memadamkan listrik di asrama mahasiswa pada pukul 11 malam, demi penghematan. Di Universitas Nanjing, Mei lalu, polisi malah sempat didatangkan. Di kota tempat pemakaman Sun Yat Sen itu, mahasiswa memprotes kebijaksanaan menteri pendidikan. Menurut mereka, dana untuk perguruan tinggi tidak mencukupi, dan status lulusan universitas kurang dihargai secara layak. Setelah kasus Universitas Normal, Renmin Ribao (Harian Rakyat), organ resmi Partai Komunis Cina (PKC), segera mengimbau anggota partai untuk ikut mencopoti poster dari dinding. Koran ini menyebut tindakan para mahasiswa sebagai "sisa-sisa Revolusi Kebudayaan". Tetapi, menurut seorang mahasiswa yang tak mau menyebutkan namanya, "Justru pada era sekarang ini saya pikir kritik boleh-boleh saja." Di bawah Deng Xiaoping, "kritik" memang tampak berkembang di media massa. Yang jelas, dua harian (Gongren Ribao dan Zhungguo Shaonianbao), serta dua majalah (Dazhong Dianying dan Renmin Wenxue) masing-masing dibredel sekitar 10 tahun di masa Revolusi Kebudayaan, diizinkan terbit kembali. Dari 773 koran yang kini terbit di seluruh RRC, tercatat oplah 270 juta eksemplar. Sedangkan oplah 3.415 majalah 1,5 juta. Koran terbesar adalah Renmin Ribao, yang terbit sejak Juni 1948. Dengan delapan halaman, koran ini dicetak 5,5 juta tiap hari. Kantor cabangnya terdapat di 21 negeri. Rubrik di koran-koran juga berusaha mengikuti langkah "liberalisasi". Semakin banyak saja harian yang membuka rubrik film,fashion, masak-memasak, atau dekorasi interior, yang nyaris tabu di masa Mao Zhedong. Yang paling seru adalah rubrik "kontak pembaca", tempat rakyat biasa melempar unek-unek di luar jalur birokrasi. Chen Guodong, sekretaris PKC Shanghai, d depan para wartawan setempat memang mengatakan, "Misi media massa ialah meliput sisi gelap masyarakat." Menurut dia "Orang tidak begitu takut kepada atasannya bila melakukan kesalahan." Tetapi, bila kesalahan itu diberitakan, mereka pasti gentar. Dan rubrik "kontak pembaca" tampaknya efektif untuk tujuan ini. Liputan menyelidik (investigative reporting) juga mulai membudaya. Tahun lalu misalnya, Renmin Ribao mengungkapkan kisah Zhao Qingyuan, ahli rekayasa dari Provinsi Henan. Pada 1958, Zhao dituduh "kanan", dan sejak itu sulit mendapat pekerjaan. Dalam sebulan, seratus surat dan telegram pembaca ikut bicara. Pemerintah Kotapraja Kaifeng, tempat mukim Zhao, akhirnya mengucapkan permintaan maaf, dan tawaran pekerjaan untuk Zhao mengalir dari seluruh Cina. Di sisi lain, profesionalisme kewartawanan belum siap betul mengikuti laju reformasi. Sebagian besar dari 300 ribu wartawan di negeri itu kurang dilengkapi pendidikan dan latihan khusus. Kini, sekitar tiga ribu mahasiswa dipersiapkan di 21 perguruan tinggi untuk diterjunkan ke media massa. Dari segi pendapatan, pekerjaan wartawan termasuk menarik. Reporter pemula, yang rata-rata berusia 22-23 tahun, menerima 60 yuan (sekitar Rp 27 ribu). Padahal, biaya makan sebulan hanya 30 yuan, dan sewa kamar 1 yuan. Upah ini jauh di atas pendapatan buruh. "Para wartawan umumnya puas dengan gaji mereka," kata Zang Qiliang, redaktur luar negeri harian Guangming Ribao, kepada wartawan TEMPO Seiichi Okawa yang berkunjung ke sana. Kini, dengan poster mulai bermunculan di beberapa kampus, menjadi pertanyaan pula sejauh mana kritik bisa ditenggang di media massa. Pada 1979, adalah pers yang berdiri di barisan depan kampanye "demaoisasi".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini