Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pulangnya yahudi hitam

Kaum falasha, keturunan yahudi di etiopia yang ikut menderita kelaparan diboyong dalam operasi musa ke israel. shimon peres berjanji bahwa upaya penyelamatan harus berjalan terus. (ln)

19 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH menempuh perjalanan pan jang, serba sengsara dan menegangkan, akhirnya kaum Falasha, keturunan Yahudi di Etiopia, sampai juga di Israel. Seturun dari tangga pesawat di bandar udara Ben Gurion, Tel Aviv, mereka, hampir tanpa kecuali, memandang sekitar dengan mata liar. Rasa lapar, takut dan curiga tampak teraduk menjadi satu. Pemerintah Israel bertindak tidak tanggung-tanggung. Sejak November silam, paling sedikit 7.000 Falasha telah diboyong dari Etiopia dalam operasi rahasia. Disebut Operasi Musa, inilah upaya penyelamatan terbesar yang dilancarkan Israel sejak Operasi Entebbe yang tersohor itu. Sebenarnya, Operasi Musa sudah dimulai empat tahun berselang, tapi tiga bulan belakangan ini kegiatannya meningkat secara luar biasa. Kabarnya karena para Falasha terancam kelaparan seperti pribumi Etiopia lainnya. Berbondong-bondong mereka meninggalkan negeri kerontang itu menuju Sudan, tetangga terdekat. Dari sini pesawat TEA (Trans-European Airways) mengangkut orang-orang malang ini ke Belgia, baru kemudian ke Tel Aviv. Awal Januari, ada 35 penerbangan carter khusus yang lalu mendadak dihentikan. Mengapa? Pihak TEA mempersalahkan pemerintah Sudan, karena mencabut izin mendarat bagi pesawat mereka. Sudan ternyata takut dituduh bekerja sama dengan Israel. Negeri ini tentu saja tidak mau kehilangan sekutu Arabnya, gara-gara Operasi Musa. Tapi sumber kisruh ada pada pejabat Israel sendiri, Dirjen Imigrasi Yehuda Dominitz. Entah karena alasan apa, operasi rahasia itu dibocorkannya. Ia kontan dibebastugaskan, sementara Perdana Menteri Shimon Peres terpaksa memberi penjelasan kepada Knesset (Parlemen Israel). "Kita tidak akan berdiam diri sebelum semua saudara kita dari Etiopia pulang kembali ke tanah air dengan selamat," ucap Peres. Ia berjanji, upaya penyelamatan akan tetap diteruskan, apa pun yang terjadi. Tak lupa ia memuji bekas PM Menachem Begin yang memelopori Operasi Musa, awal 1980. Adapun Falasha yang disebut "saudara kita" oleh Peres itu adalah satu dari 12 puak Yahudi yang hilang, konon, karena penumpasan bangsa Filistin. Menurut Rabbi Kepala Ovadia Yosef, mereka dulu dikenal sebagai suku Dan, yang mendiami daerah Havileh, yang disebut-sebut dalam kitab Perjanjian Lama, terletak di selatan Jazirah Arab. Berdasarkan teori inilah pemerintah Israel mengakui Yahudi Etiopia sebagai warga negara, kendati kulit mereka hitam, rambut mereka keriting, dan praktek agama Yahudinya agak berbeda. Atau boleh jadi juga karena keterasingan mereka. Ciri-ciri fisik Falasha bahkan bisa dikaitkan pada Raja Sulaiman dan Ratu Sheba, permaisurinya nan cantik tapi hitam dan sangat kenamaan di zamannya. Terlepas dari teori yang menyebut Falasha sebagai keturunan Sheba, mayoritas Yahudi berkulit putih di Israel kini memandang saudara mereka yang legam itu dengan rasa prihatin. "Ada persamaannya dengan penghuni kamp konsentrasi," kata Dr. Chaim Hershko dari RS Shaare Zedek. "Peri laku mereka tak ubahnya orang hukuman, menderita guncangan jiwa yang hebat, dan tak mau dipisahkan dari keluarga masing-masing." Tapi orang-orang ini tak lupa berlutut mencium tanah ketika ditunjukkan pada mereka letak kota suci Yerusalem. Diperkirakan ada 10.000-12.000 Yahudi Etiopia kini yang mesti di persiapkan untuk memulai kehidupan baru di Israel. Para dokter sibuk "membebaskan" mereka dari malaria, disentri, tifus, cacingan, kurang gizi semua jenis penyakit yang tidak lagi dikenal di Israel. Anak-anak yang sehat disekolahkan, sejumlah orang dewasa juga sudah ditempatkan di kibbutz. Konon, sebagian besar Falasha buta huruf. Keterbelakangan mereka sedemikian rupa hingga sebuah koran mengibaratkan si hitam itu "orang-orang yang datang dari abad ke-15". Tidak sedikit pula Israel putih yang mempersoalkan masa depan puak Falasha itu. Masalah lapangan kerja, misalnya. Antropolog Jeffrey Halper dari Universitas Yahudi kemudian menyimak adanya prasangka rasial. "Tapi bukan ideologis, cuma karena rasa terasing. Tak akan jadi masalah untuk mengintegrasikan mereka," katanya optimistis. Tapi seorang petugas yang lebih berpengalaman membantah Halper. "Prasangka itu ada," katanya tandas. "Dan cukup serius." Ia pun mengulang apa yang pernah dikatakan seorang anak laki-laki Falasha kepadanya. "Kami Yahudi hitam merasa bahagia menyaksikan adanya Yahudi putih. Tapi saya tidak pasti apakah Yahudi putih merasakan hal yang sama tatkala melihat Yahudi hitam." Pendapat anak itu cukup tajam dan bukan tidak beralasan. Minoritas Yahudi asal Rusia, misalnya, walaupun sudah lebih lama bermukim di Israel, masih agak sulit mencari pekerjaan. Di samping itu, mereka tidak kunjung merasa bahagia di tengah mayoritas Yahudi, padahal kulitnya putih juga. Sementara itu, pemerintah Israel tampaknya tidak akan mundur. Dengan dana US$ 125 juta Shimon Peres akan terus memperjuangkan pengembalian 4.000 Yahudi hitam yang kini terdampar di Sudan dan sekitar 12 000 orang lagi yang masih tertinggal di Etlopla.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus