Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Selamat tinggal mahkamah sri ratu

Peralihan kekuasaan privy council inggris ke mahkamah agung malaysia. tetapi masih tetap menggunakan sistem inggris. (ln)

19 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN Kerbau 1985 tahun keberuntungan kekuasaan yudikatif Malaysia. Sejak 1 Januari mereka tidak lagi berkiblat ke Privy Counal (Mahkamah Agung) Inggris di London. Selama ini, sekalipun sudah 27 tahun merdeka, dalam bidang peradilan, terutama untuk tingkat kasasi, Malaysia masih bergantung pada bekas penjajahnya itu. "Akan sangat aneh bila Malaysia terus menyerahkan masalah peradilannya kepada negara asing, sekalipun negeri itu punya hubungan di masa lampau," kata Menteri Kehakiman James Ongkili selepas pembentukan Mahkamah Agung Malaysia. Hubungan Malaysia dengan Privy Council dikukuhkan lewat akta kehakiman pada 1964. Kekuasaan yang diberikan pada lembaga peradilan Inggris itu untuk mempertimbangkan dan memutuskan kasasi pidana dan perdata yang di ajukan Malaysia. Jika seorang terdakwa warga Malaysia tidak puas atas keputusan pengadilan setempat, selama ini, mereka cuma bisa berurusan di dalam negeri sampai pada tingkat banding. Selanjutnya banding harus ke London. Dengan dibentuknya lembaga MA, menurut ketua MA Tan Sri Salleh Abas, selain tak lagi mengundang cemooh orang, juga warga Malaysia bisa menghemat ongkos perkara. Karena di samping membayar biaya perkara, mereka juga harus mengeluarkan uang tiket. Keuntungan lain, Malaysia dapat mengembangkan masalah hukum agar lebih sesuai dengan kondisi mereka. Sejak merdeka, apalagi di masa lalu, bahasa pengantar yang di pergunakan di pengadilan Malaysia adalah bahasa Inggris. Hal itu, kata seorang pengacara di Kuala Lumpur, karena banyak ahli hukum kurang menguasai bahasa Malaysia. Proses peralihan kekuasaan Privy Council ke MA Malaysia sebenarnya secara berangsur-angsur sudah dimulai sejak tujuh tahun silam. Terhitung 1 Januari 1978, kasus-kasus perdata saja yang dapat diajukan ke tingkat kasasi di London. "Kini semua tingkat perkara bisa diselesaikan di Kuala Lumpur," kata Tan Sri Salleh. Dengan adanya MA, jenjang peradilan di Malaysia menjadi: di tingkat daerah ada Mahkamah Rendah (Session Court) dan Mahkamah Menengah (Magistrate), untuk tingkat pengadilan tinggi ada Mahkamah Tinggi (Superior Court), dan Mahkamah Agung (Supreme Court). Sekalipun sudah melepaskan diri dari Privy Council, menurut Tan Sri Salleh, tidak semua sistem hukum dan peradilan di Malaysia yang sudah lama dianut dihapuskan begitu saja. "Kami akan tetap menggunakan sistem Inggris, karena kami sudah sejiwa dan terbiasa dengan sistem itu," kata Tan Sri Salleh. Di antara yang tetap dipertahankan Tan Sri Salleh dari Privy Council adalah cepat dan tanggap dalam melihat perkara. Sejak sidang pertama, 7 Januari, MA telah memeriksa 30 kasus kasasi. Sidang MA selanjutnya terdiri dari sidang reguler, dua kali sebulan, dan sidang khusus, jika ada masalah yang dianggap rumit dan mendesak untuk diputuskan. Tan Sri Salleh juga memberi jaminan MA tidak akan terpengaruh oleh tekanan pemerintah dalam memberikan keputusan. "Kami bahkan tak segan-segan menghukum pemerintah, kalau lembaga eksekutif terbukti bersalah," katanya. "Tapi, tentu saja keputusan kami harus adil, punya dasar hukum yang kuat, dan bukan berdasarkan sentimen." MA, yang beranggotakan 10 orang, termasuk ketua, dalam pemilihan hakim-hakim agungnya juga mengalami kesulitan. Tak banyak ahli hukum profesional, menurut Tan Sri Salleh, yang bersedia duduk di lembaga tinggi itu. Terutama, karena penghasilan ahli hukum itu sebagai pengacara lebih besar daripada gaji seorang hakim agung. "Tapi dengan anggota yang sekarang Mahkamah Agung sudah cukup kuat," katanya. Mereka yang terpilih, selain Tan Sri Salleh, adalah Tan Sri Abdul Hamid Omar, Tan Sri Lee Hun Hoe, Tan Sri Eusofee Abdoolcader Tan Sri Mohamed Azmi Bin Datuk Haji Kamaruddin, Tan Sri Wan Sulaiman Bin Pawan Teh, Datuk Syed Agil Bin Syed Hassan Barakbah, Datuk George Seah, Datuk Wan Hamzah Bin Mohamed Salleh, dan Datuk Hashim Yeop Sani. Pembentukan MA dengan hakim-hakim agung terpilih itu dikomentari Jaksa Agung Tan Sri Abuthalib Othman sebagai pencerminan keyakinan rakyatnya pada pelaksanaan keadilan di Malaysia. "Buktinya, mereka membolehkan badan peradilan kita membebaskan diri dari Privy Council," kata Tan Sri Abuthalib.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus